Penyair Wawan hamzah Arfan yang lahir di
Cirebon, 8 Juni 1963, di profilnya mencatat mengenai proses kreatif dalam
berkarya dimulai sejak tahun 80-an berupa puisi, cerpen, artikel, dan esai yang
sudah tersebar di beberapa media. Jadi jika dihitung sampai saat ini kurang
lebih sudah 40 tahun dilaluinya. Namun, tidak banyak karya-karyanya berupa buku
tunggal. Bahkan antologi puisi yang berjudul “Perjalanan Berkarat” ini yang
diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka (2021) merupakan buku pertama.
Selebihnya, memang selain tersebar di beberapa media juga terkumpul di antologi
bersama.
Perjalanan Berkarat ini seolah dilahirkan sebagai penghargaan atas proses
dirinya selama menggeluti dan terus aktif menulis khususnya puisi sampai saat
ini. Tidak lain sebagai dokumentasi perjalanan yang "mengasyikkan" dengan segala pahit-manis. Karena
dilihat dari 73 judul puisi yang termaktub dalam antologi puisi tersebut,
hasil dari buah karya dalam rentang waktu September 1985- Mei 2021. Walaupun
dalam pengantarnya Wawan Hamzah menceritakan semua kehadiran buku ini juga
karena ada dorongan dari dua penyair yaitu Rg Bagus Warsono sama Eka
Budianta.
Sebagai penyair yang tinggal di kawasan kota besar, di tengah keramaian dan
kemegahan, sebagaimana dalam wajah puisi-puisinya, sepertinya ia lebih banyak
menepi, menyendiri dengan penuh kontemplatif. Semisal pada puisi yang
berjudul GERIMIS DI WAKTU MALAM sebagai puisi pembuka dan dari sini pembaca
akan merasakan sesuatu keadaan dengan beraneka pengalaman. Mungkin bagi
sepasang kekasih akan merasakan sebuah kemesraan, bagi pedagang yang ada di
pinggir jalan tanpa atap akan merasakan kepanikan dan lain semacamnya. Satu
contoh pembacaan atas puisi Wawan Hamzah Arfan dengan sikap yang tenang dimana
dalam sebuah peristiwa saat gerimis hujan turun di
waktu malam. Tiba-tiba menghalau keramaian. Ia
merekam keadaan yang tiba-tiba berubah dalam waktu yang singkat. semua merapat dan
berubah dalam kesunyian. Lalu lamunkan segala
impian yang artinya semua impian. Dalam kesendirian. Di
sinilah bisa dilihat bagaimana ia lebih memilih sendiri dan tertutup atau bisa
saja tidak menampakkan pada yang lain.
Tenang dalam artian lebih pada sebuah permenungan. Ia juga bisa diibaratkan
seperti perahu. Berlayar di tengah hantaman ombak, kehidupan yang selalu
bersitegang, ia bisa beradaptasi meski harus fokus untuk memegang kendali agar
bisa sampai kepada tujuan. Berikut terdapat pada puisi yang berjudul AKU ADALAH
PERAHU (hal 33)
seperti juga pantai
aku adalah perahu
yang tak pernah habis berlabuh
dalam setiap jelajah
di tengah riuh buih ombak
hatiku hanyut
dicumbui deru angin
yang menyelinap di dada
menelanjangi rasa
kenangan masa kanakku
Cirebon, Februari 1990
Wawan Hamzah Arfan selain menangkap peristiwa yang sedang berlangsung juga
terlempar pada masa lalu-lalunya. Sehingga puisi yang dihadirkan memiliki ciri
yang bertangkai. Misal pada potongan puisi DI TEPI SEPI
waktuku berdiri di tepi sepi
terpukau bayang-bayang masa silam
tenggelam dalam rasaku yang kaku
dingin dan bisu
(hal. 45)
Romantisme masa lalu yang tidak bisa terabaikan begitu saja. Mungkin
sebagai penyemangat atas dirinya juga. Wawan Hamzah Arfan dilihat dari beberapa
puisinya tipikal orang yang mudah bersyukur, tawakal menerima fase-fase
sepanjang perjalanan kehidupannya. Ia pun menuliskannya “barangkali inilah
kenyataan yang kubangun//di antara buih-buih yang berserakan//dari arus
derasnya kehidupan. (hal. 61)
Dilanjut pada halaman berikutnya (hal. 64) puisi dengan judul DALAM TENDA
PENANTIAN
sayang, aku pasrah dalam gairah//melayang dalam tembang elegi esok
pagi//menanti kepastian//dan bukti bahwa kebahagiaan itu ada//bersama
kita//bersama harapan yang masih tersisa.
Begitulah suatu gambaran bahwa ia tawakal meskipun secara teks ditulis
pasrah. Pasrah tidak sama dengan menyerah. Konteks di atas menyimpan
upaya-upaya atau impian-impian yang sebelumnya sudah dirancang sedemikian.
Tetapi, lagi-lagi sebagai manusia yang tidak punya hak kuasa atas hidup ini,
setelah merencanakan dan yakin atas usahanya, persoalan hasil itu bernama
takdir. Dengan kerendahan hatinya ia tulis di bait terakhir mari kita
sudahi penantian ini//dengan keyakinan yang tulus//menyatukan kehangatan jiwa.
Bagi yang memiliki jiwa yang besar, kehidupan yang berliku-liku menjadi
motivasi tersendiri untuk tidak mudah putus asa. Begitu pula di saat kondisi
yang nyaman-menyenangkan, tidak mudah terlena begitu saja. Menyelaraskan akal
dan hati memang tidak semudah menghitung bilangan. Perlu pembiasaan dan
kesadaran kalau kita adalah makhluk yang kecil, yang tidak memiliki kekuatan
apa-apa. Kecuali atas pertolongan yang maha kuasa. Seperti yang tersirat dalam
puisinya yang berjudul DALAM PESONA WANGI-MU (lihat hal. 48), BUNGA DOA (lihat
hal. 50). Berikut saya tampilkan seutuhnya puisi yang berjudul “MEMAKNAI
LANGKAH”
MEMAKNAI LANGKAH
kadang kita lelah melangkah
terperangkap dalam rutinitas
meluluh diburu waktu
menyiasati kepenatan seremoni
sebatas partisipasi
yang tak bisa dimengerti
kadang kita lupa memaknai langkah
ketika peluang berhenti di perempatan
meratapi jarak yang tak berjejak
mengapa kita tak mau juga berbenah?
Cirebon, September 2010
Membaca puisi-puisi Wawan Hamzah Arfan dalam Perjalanan Berkarat juga butuh
perenungan. Penilaian saya atas karya-karya tersebut bukan lantas mau
berlebihan, meskipun tampak sederhana tapi tidak tahu setiap kali membaca
puisi-puisi itu (tidak semua, tapi lebih banyak), saya sebagai pembaca seperti
tidak terpisahkan antara perasaan penulis, suasana lingkungan dan kehadiran
sang pencipta. Sehingga juga memantul pada diri atas rangsangan-rangsangan dari
teks yang berbaris itu, untuk terus mengingat siapakah diri ini dan mau ke mana
selanjutnya. tabik
Asembagus, 20 Mei 2022