Puisi-Puisi
Rini Kihiur
PULANG
Pulang
padamu
Bawa pasir rindu membuih di kakiku
Ke dalam dekap yang merahkan wajah
Menautkan dua pelukan lama terpisah
Kebimbangan
selalu hengkang dari keresahan
Setiap kudapat tatapmu menjatuhkan kerinduan sama
Aku tersedak, mencium aroma kecupan
Yang bersemburat bimbang pada letupan api bahagia
Pulang
padamu
Tanpa kauminta kuhantarkan gelembung-gelembung cinta
Sebuah sajak kasih sayang, kuramu dari kedalaman jarak
Berpendaran seperti cahaya bintang yang tak pernah padam
Dago
Village, 06052022
PULANG
Bawa pasir rindu membuih di kakiku
Ke dalam dekap yang merahkan wajah
Menautkan dua pelukan lama terpisah
Setiap kudapat tatapmu menjatuhkan kerinduan sama
Aku tersedak, mencium aroma kecupan
Yang bersemburat bimbang pada letupan api bahagia
Tanpa kauminta kuhantarkan gelembung-gelembung cinta
Sebuah sajak kasih sayang, kuramu dari kedalaman jarak
Berpendaran seperti cahaya bintang yang tak pernah padam
Raja-raja menggeliat bangun tidur
Matahari sejak dini telah menyaput rumput
Sedang putri sibuk dengan pupur di wajah yang getir
Di tanah Kendan
Cermin berkata, wajahmu rupa-rupa
Terlukis di daun-daun gemulai yang akan berembus angin
Sejarah takkan mencatat upik abu dalam kaputren
Yang hanya menunggu pinangan ksatria
Sembari mengusir bau tubuh mandi kembang tujuh rupa
Terjawab hanya oleh kuku runcing
Raja-raja hanya tersenyum, bangga hanya membaca buku mengolah ladang
Dan putri sibuk merajut benang kusut, sebagai gambaran
Betapa dada ini butuh sentuhan
Dari angin nakal yang ganas menjadi badai liar
Sampai semua ranjang berkisah betapa kamasutra hanya lukisan dampar perawan
Tunduk pada telunjuk
Pinangan datang dari lembah yang menawarkan sunyinya kamar
Di Kendan, angin tertawakan situs cermin peradaban
Menyisakan panggilan raden ayu yang kukunya patah-patah digilas jaman
Kuteguk seperti musafir dahaga
Tapi mengubah diri kemudian
Mewujud padang pasir terhampar ke batas tepian bumi, diriku
Dengan onta yang bingung tersaruk mengejar bayang matahari
Bertilam bantal punuk merindu bulan sebagai penuntun
Menuju airku hilang
Tiada sisa untuk diteguk kemudian
Dan onta-ku terkapar di kota-kota nyanyikan suara pikuk
Menebar duri seperti kaktus tanpa menebar harum zaitun
Tawarkan padaku riak mengusap padang
Tapi kemudian menjelma badai gurun
Berubah beliung memorak-perandakan pasir-pasir,
Menerbangkan cypres jadi tumbuhan bangkai
Dan aku mematai-matai onta berkalung sorban berjalan menyimpang
Tak lagi menuju matahari, menuju kursi-kursi
Sebagai tumpukan api dan bara siap membakar
Lemparkan tasbih berganti dengan kalung janji penjerat leher
Teriakanmu lebih maksiat dari burung bangkai yang tak pernah berdiri di atas mimbar
Cijantung,
18022022
Dan aku mematai-matai onta berkalung sorban berjalan menyimpang
Tak lagi menuju matahari, menuju kursi-kursi
Sebagai tumpukan api dan bara siap membakar
Lemparkan tasbih berganti dengan kalung janji penjerat leher
Teriakanmu lebih maksiat dari burung bangkai yang tak pernah berdiri di atas mimbar
Putar roda keberuntungan sujud
Siapa tahu akan jatuh di angka tiga belas dengan melupakan bilangan lima
Tukarkan pada Tuhan dengan hadiah bunga setaman
Tapi mata kita jadi terpicing
Tajamkan pandangan seperti punya tatap paling pisau
Tumbuki pintu rumah Tuhan menagih janji
Benarkah Dia berhutang pada kita?
Perasa penanam kebaikan bertumpuk, ada yang lupa
Baju bersulam benang berkilau dengan lirikan mencari
Siapa yang tak menganga, akan ditandai
Sebagai musuh abadi yang perlu diperangi - lawan!
Yang akan dibuat leletkan lidah di
pertemuan berikut
Memakai baju kumuh dalam satu kesempatan mengabdi pada yang abadi
Tutupkan botol wewangi, biarkan bau tubuh menguar
Bahna yang lima di abai itu biasa, kau memungut angka kesialan baqa dalam dunia fana
Kita
mengundi berulang, kembali memetik keuntungan di putaran roda
Judi yang berjanji orang-orang akan terbelalak diri kita di bungkus puja-puji
Biarkan hamparan sujud tetap terlipat
Lewatkan mulut mengukir zikir - memilih nyinyir
Muntahkan lukisan gelap hati
Selebihnya perlihatkan mata mencorong pada Yang Maha Pemberi
"Kudapatkan ini dengan keringat sendiri, tiada campur tangan sesiapa."
Cibirkan bibir melupakan kata syukur yang pernah di dengar
Cijantung,
12022022
MENGUNTAI MASA
Di pesisir teguk kopi luak
Terasa adukan getir gelombang
Ombak bergulung menepi berpura gaduh
Menunggu waktu menenggelamkan riuh
Entah, berapa tombak sudah buih menjilat pantai
Pertanda air kian meniti, mungkin siap merangkak lebar meneduhi daratan
Sunda Kalapa, kopi makin ampas di gelas
Tanpa lagi melahirkan buah muda untuk dikupas
Dan keengganan nyiur menyanyi pulau
Jadi desau lemah di pucuk daun hijau
Hanya mata-mata yang coba beringas jadi harimau kota
Dengan lebih banyak getir hiasi alis
Pada nyanyian preman di lampu stopan
Pesisir tak lagi indah dalam pandangan
Ketika padam lampu-lampu kapal yang tidur
Seolah tak lagi ingin menikmati alun gelombang
O, di lorong-lorong priuk dan pasar ular langkah masih mengular
Dan lagu para pemabuk berambut panjang
Mengigau cara jadi bandit besar
Dengan badik di sela pinggang gemetaran
Dia rindu kata tawuran masa muda
Yang bercerita: tentang pahlawan bangunan bernama sekolah
Mengukir nama lain - membenci nama lahir: Aku Jaka Golok!
Dia ukir di aspal veteran
Yang banyak percikan darah
Dan terus memercik sampai tujuh angkatan
Demi nama baik!?
Bahkan nama-nama sekolah tak jadi harum karenanya
Di pesisir ingatan makin getir, seperti kopi luak dan lampu kapal
Memakai baju kumuh dalam satu kesempatan mengabdi pada yang abadi
Tutupkan botol wewangi, biarkan bau tubuh menguar
Bahna yang lima di abai itu biasa, kau memungut angka kesialan baqa dalam dunia fana
Judi yang berjanji orang-orang akan terbelalak diri kita di bungkus puja-puji
Biarkan hamparan sujud tetap terlipat
Lewatkan mulut mengukir zikir - memilih nyinyir
Muntahkan lukisan gelap hati
Selebihnya perlihatkan mata mencorong pada Yang Maha Pemberi
"Kudapatkan ini dengan keringat sendiri, tiada campur tangan sesiapa."
Cibirkan bibir melupakan kata syukur yang pernah di dengar
Terasa adukan getir gelombang
Ombak bergulung menepi berpura gaduh
Menunggu waktu menenggelamkan riuh
Entah, berapa tombak sudah buih menjilat pantai
Pertanda air kian meniti, mungkin siap merangkak lebar meneduhi daratan
Tanpa lagi melahirkan buah muda untuk dikupas
Dan keengganan nyiur menyanyi pulau
Jadi desau lemah di pucuk daun hijau
Hanya mata-mata yang coba beringas jadi harimau kota
Dengan lebih banyak getir hiasi alis
Pada nyanyian preman di lampu stopan
Ketika padam lampu-lampu kapal yang tidur
Seolah tak lagi ingin menikmati alun gelombang
O, di lorong-lorong priuk dan pasar ular langkah masih mengular
Dan lagu para pemabuk berambut panjang
Mengigau cara jadi bandit besar
Dengan badik di sela pinggang gemetaran
Dia rindu kata tawuran masa muda
Yang bercerita: tentang pahlawan bangunan bernama sekolah
Mengukir nama lain - membenci nama lahir: Aku Jaka Golok!
Dia ukir di aspal veteran
Yang banyak percikan darah
Dan terus memercik sampai tujuh angkatan
Demi nama baik!?
Bahkan nama-nama sekolah tak jadi harum karenanya
Di pesisir ingatan makin getir, seperti kopi luak dan lampu kapal
Yang mulai surut di gelas dan di tiang layar
Pasar ular masih nama dan sekolah satu persatu hilang
Engkau masih preman kecil seperti masa lalu
Yang tak pernah jadi bandit besar penguasa kota
Sebab, ada yang lebih bandit - para koruptor - yang tak mampu kamu usik
Sementara laut yang diam terus menampar tanpa gaduh
Siap menggulung harimau-harimau yang sibuk mengaum
Dan engkau, menadah sebungkus nasi demi berteriak atas nama masa lalu
Sungguh aneh, malam tadi pesisir berkisah
Mengumpulkan para pensiunan yang sibuk saling menuding
Tentang cara menggasak lawan - menyayuri dengan rajahan
Sementara pasar ular mulai menguap dan veteran menjadi begitu ngantuk
Dulu katanya:
Ada pesta di tengah jalan - pertemuan dua pentolan
Yang menjahit kekuatan
Aku Jaka Golok dan Aku Joni Gobang
Meneguk kopi luak dari uang recehan lampu stopan
Pesta usai
Tanpa nyanyian nyiur Sunda Kalapa
Minggu Malam
Gladak Tanjung Priok, 30012022
DARE DI DENTING SAPE
Di bawah
langit Borneo
Denting jemari di riak Mahakam
Siang yang riang
Malam nan sendu
Sape betutah tulaang to'awah
Irama di daun-daun rindang - runduk pada alam
Di rimba
nan luas hijaumu, Borneo
Tangkalaluk lingkarkan tubuh, menyanyikan impian
Gadis-gadis berdendang mandau di tangan
Angin bertiup halus
Ke lembah ke danau-danau
Mengiring sampan cumbui lautan
Siapa gerangan jelita mainkan buih Barito
Melukis kota baru
Di kerindangan alas rimba
Dan ranting lengkung mencipta daun payung
Bakal dia menari malam nanti bawah gemintang
Layari nada indah di denting sape
Cijantung,
29012022
DEATH OF A SONET
Sebuah
Sonet empat belas baris pulang ke Italia untuk bertemu mati
Berpulang dalam cinta yang tanpa belas kasih menikam
"Mari kuburkan aku di bawah Menara Pisa
Jangan miringkan aku punya kepala, biar dapat kukidungkan pinta terakhir."
Dalam
detak dada yang kian lemah
Sonet membariskan sekawanan kata rindu
Cinta mengabu di tanah Jakarta
Berhamburan menjadi risau merajam tajam
Di bawah
miringnya Pisa sebuah bayang tertimpa
Tapi tak kunjung bertemu maut malah menari Pizzica
Melepaskan norma-norma tentang mati di padang Salento
Sonet yang tinggal sepenggal nafas melambaikan Tarantella
Terompet malaikat mengumandangkan nafiri panggilan
Melepaskan rindu dendam untuk berkalang di kampung halaman
Bandung
(Dago Village), 27122021
Pasar ular masih nama dan sekolah satu persatu hilang
Engkau masih preman kecil seperti masa lalu
Yang tak pernah jadi bandit besar penguasa kota
Sebab, ada yang lebih bandit - para koruptor - yang tak mampu kamu usik
Siap menggulung harimau-harimau yang sibuk mengaum
Dan engkau, menadah sebungkus nasi demi berteriak atas nama masa lalu
Mengumpulkan para pensiunan yang sibuk saling menuding
Tentang cara menggasak lawan - menyayuri dengan rajahan
Sementara pasar ular mulai menguap dan veteran menjadi begitu ngantuk
Dulu katanya:
Ada pesta di tengah jalan - pertemuan dua pentolan
Yang menjahit kekuatan
Aku Jaka Golok dan Aku Joni Gobang
Meneguk kopi luak dari uang recehan lampu stopan
Pesta usai
Tanpa nyanyian nyiur Sunda Kalapa
Gladak Tanjung Priok, 30012022
Denting jemari di riak Mahakam
Siang yang riang
Malam nan sendu
Sape betutah tulaang to'awah
Irama di daun-daun rindang - runduk pada alam
Tangkalaluk lingkarkan tubuh, menyanyikan impian
Gadis-gadis berdendang mandau di tangan
Angin bertiup halus
Ke lembah ke danau-danau
Mengiring sampan cumbui lautan
Siapa gerangan jelita mainkan buih Barito
Melukis kota baru
Di kerindangan alas rimba
Dan ranting lengkung mencipta daun payung
Bakal dia menari malam nanti bawah gemintang
Layari nada indah di denting sape
Berpulang dalam cinta yang tanpa belas kasih menikam
"Mari kuburkan aku di bawah Menara Pisa
Jangan miringkan aku punya kepala, biar dapat kukidungkan pinta terakhir."
Sonet membariskan sekawanan kata rindu
Cinta mengabu di tanah Jakarta
Berhamburan menjadi risau merajam tajam
Tapi tak kunjung bertemu maut malah menari Pizzica
Melepaskan norma-norma tentang mati di padang Salento
Sonet yang tinggal sepenggal nafas melambaikan Tarantella
Terompet malaikat mengumandangkan nafiri panggilan
Melepaskan rindu dendam untuk berkalang di kampung halaman
Rini Kihiur nama pena dari Rininta Kihiur, gadis kelahiran tahun 2004 di Jakarta. Mahasiswi yang
tengah menimba ilmu hukum di Melbourne Australia adalah putri semata wayang
pemilik akun Cempaka Ayu, dari sang ibu bakat menulisnya didapat. Buku
antologinya yang akan segera terbit bertajuk "Dua Rindu"
berkolaborasi dengan sang sahabat Sanggabuana Respati terdiri dari 700 puisi
terbagi dua genre 'Cinta dan Satire'.