SAAT HATIKU
KEHILANGAN SEKOCI KAPAL
Sepuluh tahun
berlayar
dalam cuaca angkuh
di samudera dan ombak liar
lalu jadi hamba uang
dalam saku celana
lepas jangkar
di halaman headline koran
sering kusantap
makanan haram
di hotel-hotel berbintang kelam
sampai ujung kemudinya
salah ambil keputusan
tertipu sang penguasa orde usang
jadilah diriku
terkurung airmata
menulis puisi di dunia sunyi
berjalan dengan tongkat petra buta
sesal dibantingnya di tanah rawa
saat hatiku
kehilangan sekoci kapal
kubaca kembali kitab suci
suara azan subuhhari
disinari api lilin tak suci
masih sembah patung dewa matahari
ajaran bidat ,
seruku penuh amarah
sambil berlari cepat
mendaki perpustakaan bukubuku tua
bertemu pandita dari negeri Belanda
setelah itu
kulirik sepuluh perintah Tuhan
tulang rohani jadi lunak
batin rohani jadi mencair
kapal teduh kembali berlabuh
dengar pekabaran dari Nabi Nuh
rajin kusiram
pohon-pohon iman
dalam rumah lautan dan taman ibadah
yang kadang terbentur karang-karang tegar
di pantai hijau kunyanyikan rebana doa
bertahanlah sampai hari kesudahan
menembus akhir zaman
Pamulang, Selasa
25 Mei 2021
dalam cuaca angkuh
di samudera dan ombak liar
lalu jadi hamba uang
dalam saku celana
lepas jangkar
di halaman headline koran
di hotel-hotel berbintang kelam
sampai ujung kemudinya
salah ambil keputusan
tertipu sang penguasa orde usang
menulis puisi di dunia sunyi
berjalan dengan tongkat petra buta
sesal dibantingnya di tanah rawa
kubaca kembali kitab suci
suara azan subuhhari
disinari api lilin tak suci
masih sembah patung dewa matahari
sambil berlari cepat
mendaki perpustakaan bukubuku tua
bertemu pandita dari negeri Belanda
tulang rohani jadi lunak
batin rohani jadi mencair
kapal teduh kembali berlabuh
dengar pekabaran dari Nabi Nuh
dalam rumah lautan dan taman ibadah
yang kadang terbentur karang-karang tegar
di pantai hijau kunyanyikan rebana doa
bertahanlah sampai hari kesudahan
menembus akhir zaman
tidurku di ranjang api
bantalnya ibu tiri
berkulit putih
bersandal kayu jati
kejam dan sering bersetubuh dinihari
melahirkan bayi-bayi mandul
di kamar mandi
sambil terus berpuisi
kadang terjebak di gubuk-gubuk banjir kali
tanpa nafiri dan petikan kecapi
otakku ditombak nyaris mati !
menunya magadon, dumolit, dan valium
baru nyawaku terlelap
di semak-semak berduri
menyapa derau hujan malamhari
dari seorang perempuan seberang jalan
yang rajin bunuh diri menyilet lengan
tak bisa mati
telinga kiriku terbakar sunyi
dua belas abad perkawinan tertidur lelap
dalam kandang satwa-satwa liar
menjadi mezbah batu penjuru
nyanyian koor menderu riuh
masa kanak'kanak berkalungkan doa
kitab taurat disalibkan di dada
maka genaplah kabar pahit ini
pikiran brutal gelisah basah
sesal terjebak berulangkali
jiwaku cintaku
satu daging
di sekitar akar-akar bumi
kita tanami pohon karet
roh takut makin menjelma
kemana gerangan imanku pergi lagi ?
mari kita berangkat
matahari sudah tinggi
tubuh laut untuk sambut
bagi calon baptisan surga
menabrak rambu-rambu
batas samudera teluk jakarta
lahan kereta api yang ditumbuhi ilalang
suasana perkantoran yang gelap
dampak pandemi covid
tak kunjung berlari
di dermaga batu
bendera merah putih berkibar amat lambat
virus juga sudah disuntik vaksin satu kali
ada orang-orang shooting
adegan menguras air samudera di tanah jawa
menikmati santap siang di bandar kesunyian
suguhan mata uang rupiah
untuk lelaki muda siap hadapi kematian
Pulo Lasman Simanjuntak telah menerbitkan 7 buku antologi puisi tunggal, serta puisinya telah dimuat diberbagai media cetak, media online, dan media sosial. Pada saat ini sebagai Ketua Komunitas Sastra Pamulang (KSP) Kota Tangerang Selatan. Bekerja sebagai wartawan.
Foto oleh Steve Johnson dari Pexels