Puisi-Puisi Ita Puspita Sari
Parade Masa Silam.
Setiap orang pasti pernah mengurung dirinya sendiri
Lebih sempit dari sekotak kandang kelinci
Lebih parit dari ingatan yang mengalir dan terseok-seok.
Dalam jerit dadaku, ia memanjang, menjorok ke kekacauan
Barangkali berusaha memuntahkan masa silam
Atau merambat ke dermaga paling dalam.
Sunyi selalu mengimani jelantah ingatan yang mendekati api
Seperti kanak-kanak melempar bola dan mengenai bengis masa depannya
Sementara yang memantul adalah bayang kesepian, ia gawang bagi masa silam.
Sejarah buruk selalu bisa dimenangkan.
Kukatakan pada bapak ibuku,
Bahwa masa depan semacam nganga periuk lapar kebersamaan
Kulihat segalanya menghilang, bahkan yang bernama impian
Aku tak memiliki apapun selain anggota tubuh dan sekotak kandang sempit
di telingaku, demi menolak caci maki mulut sendiri.
Katakanlah sedikit saja, aku hidup sebagai apa?
Dari masa kanak pengetahuanku buruk tentang hubungan keluarga
Sebab aku sibuk berkabung atas luka-luka sendiri
Merapal nyanyi sunyi saban malam
Hingga ruang mempersempit gerak mimpiku yang hutan
Kini tinggal sekotak kandang berdendang kesepian.
Kombung, 2022
Kepada Lelaki yang Memberi Ampun pada Dosanya Sendiri.
Ingatan berdialog di malam hari
Sahut menyahut dengan kenangan dari rabas ke genang
Apa yang bisa kupertanyakan, selain maksud kau datang
menarik-narik lengan kenyataan
Dan pernyataanmu bah membiak harap
Padahal kau tahu bahwa nasib buruk bisa berwajah apa saja
Ia belada yang menunggu kakimu berserah diri hingga mampus,
Hingga harap-harap menjadi kurus.
Jangan merawat sepiku
dan membiarkannya menyusu dalih tanpa titik koma itu
Berhenti membangun jembatan yang menghubungkan pintu keyakinan
dengan gedung masa silam
kelak kita tak bisa lebih jauh lagi melintasi
bahkan sebelum sampai di ujung paling api.
Pernikahan bukan hanya tumbal dari kesepian
Untuk mengkhusyuki ijab qabul kau butuh kesiapan
Tapi ujung lidahmu masih saja kail
Menangkap ikan-ikan lain dengan geliat cacing selicin ingin
Sedang perutku masih rakus kosakata
Berebut tulus yang umpan, berebut hilang yang jejal.
Kenangan lanskap di mataku-matamu
Agar kita sama-sama bisa merawat rebak kesunyian
Dan melupakan dari mana asal kepastian yang gemar menolak rencana
Sebab takdir selalu biru di masing-masing lahannya
Ini cemas bagimu, dan dosa bagiku.
Lalu kita iman pada keduanya.
Lebih sempit dari sekotak kandang kelinci
Lebih parit dari ingatan yang mengalir dan terseok-seok.
Dalam jerit dadaku, ia memanjang, menjorok ke kekacauan
Barangkali berusaha memuntahkan masa silam
Atau merambat ke dermaga paling dalam.
Seperti kanak-kanak melempar bola dan mengenai bengis masa depannya
Sementara yang memantul adalah bayang kesepian, ia gawang bagi masa silam.
Sejarah buruk selalu bisa dimenangkan.
Bahwa masa depan semacam nganga periuk lapar kebersamaan
Kulihat segalanya menghilang, bahkan yang bernama impian
Aku tak memiliki apapun selain anggota tubuh dan sekotak kandang sempit
di telingaku, demi menolak caci maki mulut sendiri.
Dari masa kanak pengetahuanku buruk tentang hubungan keluarga
Sebab aku sibuk berkabung atas luka-luka sendiri
Merapal nyanyi sunyi saban malam
Hingga ruang mempersempit gerak mimpiku yang hutan
Kini tinggal sekotak kandang berdendang kesepian.
Sahut menyahut dengan kenangan dari rabas ke genang
Apa yang bisa kupertanyakan, selain maksud kau datang
menarik-narik lengan kenyataan
Dan pernyataanmu bah membiak harap
Padahal kau tahu bahwa nasib buruk bisa berwajah apa saja
Ia belada yang menunggu kakimu berserah diri hingga mampus,
Hingga harap-harap menjadi kurus.
dan membiarkannya menyusu dalih tanpa titik koma itu
Berhenti membangun jembatan yang menghubungkan pintu keyakinan
dengan gedung masa silam
kelak kita tak bisa lebih jauh lagi melintasi
bahkan sebelum sampai di ujung paling api.
Untuk mengkhusyuki ijab qabul kau butuh kesiapan
Tapi ujung lidahmu masih saja kail
Menangkap ikan-ikan lain dengan geliat cacing selicin ingin
Sedang perutku masih rakus kosakata
Berebut tulus yang umpan, berebut hilang yang jejal.
Agar kita sama-sama bisa merawat rebak kesunyian
Dan melupakan dari mana asal kepastian yang gemar menolak rencana
Sebab takdir selalu biru di masing-masing lahannya
Ini cemas bagimu, dan dosa bagiku.
Lalu kita iman pada keduanya.
Kombung, 2022
Padahal malam lebih diam dari kamar
Cemas mulai keluar masuk di telinga
Bersalipan dengan sesak tanya.
Ia menyerang kakimu yang hampir tak berfungsi
Tapi tetap kau paksa seimbangi kedua telapaknya
Demi membawa lari bunyi surga untukku.
Tangis Emak menjadi-jadi
Mengalun deras dari lisannya,
“Duh, Gusti..” “Duh, Gusti..’
Sampai kau lupa bahwa bermula dari sekuncup duri
Ataukah muasal pedihmu memang tumbuh dari tanah lapang
yang menyimpan benih ketakutan
Sementara doa katak selalu terdengar kuping awan
Ia pinta kesedihan dilarungkan
Suburkan kelopak matamu di sana
Sebagai mekar tabah rahasia.
Selepas memetik tubuhmu yang aib
Segala indra mengenalmu sebagai bau pesing dan anyir
Sampai mereka tak bisa membedakan
Dari mana tercium aroma begitu memabukkan
Dari kuning hatimu atau dari kering hatinya.
ITA PUSPITA SARI,
lahir di Sumenep, 01 Januari 2002. Sebagai Mahasiswi aktif di IAIN JEMBER,
prodi Bahasa dan Sastra Arab. Puisi-puisinya dimuat di beberapa antologi
bersama. Juga dimuat di beberapa media. Saat ini, aktif sebagai petani
KALENTENG (Kompolan Kesenian Lenteng). WA: 081998429468, ig: @ipuspitata,
e-mail: itapuspitasariii01@gmail.com.
👍🏽👍🏽
BalasHapus