Dody
Yan Masfa
KISAH PICISAN
Siapa menjanjikan
kepedihan itu.
Setumpuk di pertanahan tandus.
Beberapa belahan merekah kering.
Lalu banjir datang tak terbendung.
Semua dihempasnya.
Orang lantang meneriakkan bencana.
Orang nyinyir mencibir sindir.
Orang berkuasa bilang bersabarlah.
Orang rakus menjarah makanan.
Orang miskin tak punya tanah,
tergolek lemah di tenda tenda.
Siapa mengingkari janji kepedihan itu.
Tak ada yang mengaku, semua khidmat.
Berdoa, mencatat berapa banyak sudah,
telah disumbangkan.
2021
Dody
Yan Masfa
MENANTI HUJAN SORE
Selalu begitu ia,
berharap ada puisi
bisa ditangkap, dari hujan sore.
Anjingku, senantiasa
berkaca kaca matanya
jika hujan reda, dan tak ada benih syair buat
dirangkainya nanti jelang tidur malam.
Serta merta diacak acaknya tempat tidur
menjadi luapan, entah kesal atau barangkali
amarah sebab gonggongnya bakal
tak indah bermakna.
Aku terkadang heran
menyimak
tingkah laku sang penyair itu.
2021
Eko Nani
Fitriono
TAHUN BARU HIJRAH
Umar bin Khattab namanya,
Orang Islam tentu banyak mengenalnya,
Bukan karena pemimpin sejarahnya,
Tapi mutu dan rasa merakyat jadi acuan hidupnya,
Berawal dari seorang jahat hidupnya,
Lalu menjadi Muslim akhirnya,
Umar musuh Islam sebelumnya,
Disadarkan oleh Taha nama suratnya;
Surat yang ada dalam al-Qur’an
Sebuah kitab suci yang mengilhami hidup barunya,
Dalam keadaan marah bercampur
dendam
Muhammad sang Nabi dicarinya,
Ingin ia mengoyak baju dan badan Muhammad
Namun ia justru ketemu cinta sejatinya,
Ia, dia ketemu Muhammad sebagai sahabat sejati,
Sahabat yang dijanjikan masuk ke dalam kebaikan kekal bersama,
Yakni surga nantinya di hari kiamat.
Ketika Rasulullah telah tiada,
Terkenang baginya pelajaran berharga,
Umat Islam patut bangga
Melalui hijrah ke Madinah kebangkitan ada,
Maka dibuatlah kalender hijriyah sebagai tanda,
Akan kebangkitan Islam sebagaimana adanya,
Namun kini umat Islam sudah lupa,
Lebih gembira menyambut tahun baru lainnya,
Iya, tahun baru masehi, yang tidak ada kaitannya,
Sehingga mengenang perjuangan nabipun tidak bergairah
Bagaimana menuju kehidupan yang lebih baik dalam berhijrah
Bila perjalanan kehidupan Nabi saja tidak menggugah,
Ya Nabi maafkan kami,
Kami hanya tau masehi,
Tapi lupa akan hijri,
Bagaimana mau membangun negeri, bila kami enggan meneladani
Seorang Rasul yang telah sukses membangun masyarakat madani,
Dengan Islam sebagai agama yang dipedomani.
Selamat tahun hijriyah,
Tahun memperbaiki diri, demi kehidupan yang berdikari.
Menuju kehidupan yang diridhoi ilahi rabbi.
Elvina
Purwitasari
SEKALA BUMI
Langkah yang selama ini
kurangkai
ternyata hanyalah bentuk dari sebuah kehampaan
Puisi yang selama ini aku tulis
ternyata bermakna sepenggal pengharapan
Aku bermain mata, memandang rindu
memajang rasa kecewa
Tidak cukup kuat rasanya
ketika aku mulai mengingatnya
Rasa-rasanya, aku seperti menelan racun yang
perlahan membuatku mati tanpa ada rasa
tubuhku seakan-akan menjadi perwakilan
dari rasa sakit dan kecewa
Ingin rasanya aku
menjadi bumi
agar setiap hari merasakan pijakannya
tanpa harus takut kehilangan jejaknya
tanpa harus khawatir dengan kepergiannya
Dalam hal ini, rasa
cinta yang dipunya bukanlah
alasan dari kegilaan yang menyakitkan
Namun, kesalahan itu datang dari pengharapan cinta
yang teramat besar kepada Si puan
cinta yang di rajut begitu besar sampai lupa
bahwa maut akan memisahkan
pada akhirnya ketika tidak sesuai harapan
hidup ini dipenuhi oleh ratapan
walau pada akhir tidak bisa dipersatukan
tetap kuterima walau hati menjadi taruhan
Etik
Wahyuningsih
CORONA DAN INTROPEKSI DIRI
Corona,
Engkau datang tiada diundang
Menyusup senyap seperti bala tentara menyerang
Membidik ribuan orang dipenjuru semesta dengan ketakutan
Menyapu bersih riuh canda tawa ditengah keramaian
Ialah Corona,
Mahluk mikroskopik yang tak kasat mata
Menyerang semesta raya tanpa pilih kasih
Kaya miskin, tua muda, pejabat dan juga rakyat jelata
Seolah tenggelam hilang tak berbekas makna
Ada anggapan kau datang
sebagai teguran
Ada pula celetukan karena banyaknya kelalaian
Lupa akan dosa dan kesombongan
Terlena akan diri dengan segala kezaliman
Semua terjadi tanpa
kebetulan
Introspeksi diri sebagai bahan renungan
Disiplin menjaga diri, keluarga dan lingkungan
Tuhan pasti punya rencana yang telah digariskan
Doa terbaiklah yang wajib kita panjatkan
Agar Tuhan selalu memberikan jalan
Fadzil
Shufina
SAMPANG 1997
“Sa’altuka bil ismil
mu’adzhom qodruhu. Bi’ajin ahujin jalla jaluutu jal-jalat"
Kami membaca helai
nafas, malam begitu mencekam
Kami terus membaca
Membaca;
Mata yang waspada, batin yang remuk.
Sambil terbaring, kami
berusaha melafalkan lorong dalam gelap,
Dalam gulita
Kami tak bisa apaapa,
kecuali menyelimuti kecemasan,
Terbaring diamuk angin
Melata, terus menjaga daerah ekstrim ini.
Kami tersimpuh,
Dalam Kota yang gemuruh
Api menjilati langit, dan panas menerpa
Kami sembunyi di bawah kolong, dan
sirine tang membising di kepala
bom seketika pecah.
Kami bagai segerombolan
laron menuju cahaya
"ah ini kiamat sudah tiba"
mata seorang ibu bagai lentera, memendar, dan
di langgar-langgar terang,
lanskap langit malam memburam.
Alam menyusut jadi
kepingan reruntuhan
Udara sesak oleh asap
Celaka!
Segala kecemasan terbang bersama burung malam.
Kiyai merapalkan sebuah
dunia
Tak ada jalan selain kepasrahan pada takdir tuhan
Negara guncang, Kota rapuh
Dan pohon-pohon terbakar.
Kami masih hafal
Detak jantung orang-orang berpacu,
Tangisan anak kecil dijeda malam.
Kami masih hafal rimbun
jalan dan hantu petang
Yang menjajaki nurani,
Mengerdilkan.
"Dalam suasana
kekacauan lebih baik diam
Karena suara adalah doa yang sembunyi berkata pada tuhannya"
suara itu masih
terngiang di kepala
Saat kami membatu di meja makan,
Hanya doa, gemuruhnya
Doa!
Kami masih hafal tahun
dan sejarah 1997
Celana kami sobek dan pasar tutup
Kami meringkih banting muka ke luar jendela
Melihat kota yang terkapar
Serta pecahan lampu sepanjang jalan.
2017
Faiqotul
Himmah
RASA YANG RESAH
Mendung Januari datang
tak diundang
Setelah hujan Desember menyapu kenangan
Akankah februari membawa kebahagiaan?
Ataukah bahkan Maret meraih impian?
Bulan juli terlampau
jauh untuk dinanti
Akankah Juni masih setia untuk dilewati
Mungkin agustus menawarkan sebagai pengganti
Tapi september masihkah untuk diri?
Bulan oktober melayang
jauh ke depan
Nopember bersedia untuk menenangkan
Desember menyapa untuk menawarkan
Akankah siap untuk Januari yang membosankan
Tubuh berdiri menahan
perih
Duduk bersila lantunkan kalam ilahi
Terlentang pun alirkan alam mimpi
Angin berhembus segarkan
dunia
Air mengalir hanyutkan rasa
Api berkobar membakar cinta
Krempyang, 30 Januari
2021
Fathul Muzzat
MATAMU
Aku
benci matamu
sebab teduhnya kalahkan senja,
kilaunya tepis mentari,
kerlipnya kalahkan bulan
Kasih,
sungguh,
Aku benci matamu;
pangkal segala rindu
Palu,
31 Juli 2020
Fathul Muzzat
IBU
Rindu
Menjelma abu
Kala sang waktu
Membaringkanmu
Palu,
18 November 2020
Firman
Wally
KAU KUNANTI
Genggamanmu kunanti
Di bibir pantai
Di lampu-lampu kota
Di setiap tempat yang kita datangi
sebelum menemukan kehilangan
Dan pada bintang
Pada rembulan
Kutitipkan pesan lewat angin malam
yang mencubit kulit cemasku
Berharap kau datang
meramaikan sepi yang mampir silih-berganti
Tahoku, 12 Februari 2021
Foeza
Hutabarat
GONDANG (8)
Dari
balik jajaran pohon kopi di tepi Simarjarunjung
Kehijauan tak berujung walau gerimis terus mengepung
Matamu
jatuh ke kaki bukit menghampar keramba-keramba
Ribuan ikan berkecipak di bawah batang-batang bambu riuh suara
Mungkin
ikan-ikan itu mencari palung-palung 'tuk sembunyi
Panen akan membawa mereka pada dapur-dapur api
Aku
menapak trap tangga dengan langkah separuh tua
Memasuki cafe yang disinggahi para pelacak semesta
Kita
duduk di meja yang menyandar pada dinding kaca
Menghirup kehangatan gorengan dan bandrek gula kelapa
Jauh
di hamparan danau gondang itu masih sisakan suara
Aku dan kau mencabuti sunyi di tatakan hidangan cinta
-
2009
(dimuat di Majalah STORY)
Foeza Hutabarat
PETANG DI HEBRON
melangkah
di jalan basah
gerimis melayang dalam kabut
di
trotoar toko tertutup
berserak butiran kembang es
seperti salju akan turun
negeri
timur tengah tak hanya
pasir, panas dan gunung batu
nafasmu
menyembur uap dingin
kita rapatkan jaket yang rasanya
tak cukup tebal mendekap tubuh
yang jauh dihanyutkan waktu
dari balai lahir
di
makam para nabi
di antara para peziarah
gigil bibir melepas doa
terhijab sunyi
Hebron,
2020
(dimuat Jawa Pos Radar Banyuwangi, Februari 2021)
Foeza Hutabarat
MILAD
: putriku Jilan
biola
yang kau tinggal di sudut kamar
kehilangan senandung
Ay tak bisa memainkannya
ini
hari penting bagi kelahiranmu
rengek tangismu terdengar kembali
memecah udara
delapan belas tahun sudah
kau sibak cahaya demi cahaya
jarak
mengecat kerinduan berwarna pucat
tak ada lilin dan tart bergula
hanya doa berbisik di mihrab sunyi
menyisiri langit
rasa
sayang luruh di hangat air mata
jalan masih jauh kau tempuh
titiknya tak terbaca
Selamat
Milad, Jil
biolamu menunggu kau hiasi suara
-
2018
Hamdan Rajnur
TADARUS ANAK-ANAK
sebelum sampai di ladang
yang lapang
engkau meminta segelintir air mata
diminumnya pada dahaga
pa’ kopa’ èling, elingnga sakoranji
diracik sampai tangan kami luka
permainan itu tak kunjung usai kita gelar
menerima tangis, menerima tawa
sampai pada sekumpulan cerita
Kita selalu asyik
mengejar harapan
pada layang-layangan yang terbang
seperti berburu nasib baik
di antara pagar duri kenangan
kali ini bau keringat
masa kanak-kanak
masih melekat pada baju sinema bermain kita
pèsapèan pappa adalah kendaraan kami
dipacu dengan secepat
angin
menuju musuh untuk dibuat lusuh
dengan berkawan dan beriring
2021
KISAH PICISAN
Setumpuk di pertanahan tandus.
Beberapa belahan merekah kering.
Lalu banjir datang tak terbendung.
Semua dihempasnya.
Orang lantang meneriakkan bencana.
Orang nyinyir mencibir sindir.
Orang berkuasa bilang bersabarlah.
Orang rakus menjarah makanan.
Orang miskin tak punya tanah,
tergolek lemah di tenda tenda.
Siapa mengingkari janji kepedihan itu.
Tak ada yang mengaku, semua khidmat.
Berdoa, mencatat berapa banyak sudah,
telah disumbangkan.
MENANTI HUJAN SORE
bisa ditangkap, dari hujan sore.
jika hujan reda, dan tak ada benih syair buat
dirangkainya nanti jelang tidur malam.
Serta merta diacak acaknya tempat tidur
menjadi luapan, entah kesal atau barangkali
amarah sebab gonggongnya bakal
tak indah bermakna.
tingkah laku sang penyair itu.
TAHUN BARU HIJRAH
Orang Islam tentu banyak mengenalnya,
Bukan karena pemimpin sejarahnya,
Tapi mutu dan rasa merakyat jadi acuan hidupnya,
Berawal dari seorang jahat hidupnya,
Lalu menjadi Muslim akhirnya,
Umar musuh Islam sebelumnya,
Disadarkan oleh Taha nama suratnya;
Surat yang ada dalam al-Qur’an
Sebuah kitab suci yang mengilhami hidup barunya,
Muhammad sang Nabi dicarinya,
Ingin ia mengoyak baju dan badan Muhammad
Namun ia justru ketemu cinta sejatinya,
Ia, dia ketemu Muhammad sebagai sahabat sejati,
Sahabat yang dijanjikan masuk ke dalam kebaikan kekal bersama,
Yakni surga nantinya di hari kiamat.
Terkenang baginya pelajaran berharga,
Umat Islam patut bangga
Melalui hijrah ke Madinah kebangkitan ada,
Maka dibuatlah kalender hijriyah sebagai tanda,
Akan kebangkitan Islam sebagaimana adanya,
Lebih gembira menyambut tahun baru lainnya,
Iya, tahun baru masehi, yang tidak ada kaitannya,
Sehingga mengenang perjuangan nabipun tidak bergairah
Bagaimana menuju kehidupan yang lebih baik dalam berhijrah
Bila perjalanan kehidupan Nabi saja tidak menggugah,
Kami hanya tau masehi,
Tapi lupa akan hijri,
Bagaimana mau membangun negeri, bila kami enggan meneladani
Seorang Rasul yang telah sukses membangun masyarakat madani,
Dengan Islam sebagai agama yang dipedomani.
Tahun memperbaiki diri, demi kehidupan yang berdikari.
Menuju kehidupan yang diridhoi ilahi rabbi.
SEKALA BUMI
ternyata hanyalah bentuk dari sebuah kehampaan
Puisi yang selama ini aku tulis
ternyata bermakna sepenggal pengharapan
Aku bermain mata, memandang rindu
memajang rasa kecewa
Rasa-rasanya, aku seperti menelan racun yang
perlahan membuatku mati tanpa ada rasa
tubuhku seakan-akan menjadi perwakilan
dari rasa sakit dan kecewa
agar setiap hari merasakan pijakannya
tanpa harus takut kehilangan jejaknya
tanpa harus khawatir dengan kepergiannya
alasan dari kegilaan yang menyakitkan
Namun, kesalahan itu datang dari pengharapan cinta
yang teramat besar kepada Si puan
cinta yang di rajut begitu besar sampai lupa
bahwa maut akan memisahkan
pada akhirnya ketika tidak sesuai harapan
hidup ini dipenuhi oleh ratapan
walau pada akhir tidak bisa dipersatukan
tetap kuterima walau hati menjadi taruhan
CORONA DAN INTROPEKSI DIRI
Engkau datang tiada diundang
Menyusup senyap seperti bala tentara menyerang
Membidik ribuan orang dipenjuru semesta dengan ketakutan
Menyapu bersih riuh canda tawa ditengah keramaian
Mahluk mikroskopik yang tak kasat mata
Menyerang semesta raya tanpa pilih kasih
Kaya miskin, tua muda, pejabat dan juga rakyat jelata
Seolah tenggelam hilang tak berbekas makna
Ada pula celetukan karena banyaknya kelalaian
Lupa akan dosa dan kesombongan
Terlena akan diri dengan segala kezaliman
Introspeksi diri sebagai bahan renungan
Disiplin menjaga diri, keluarga dan lingkungan
Tuhan pasti punya rencana yang telah digariskan
Doa terbaiklah yang wajib kita panjatkan
Agar Tuhan selalu memberikan jalan
SAMPANG 1997
Kami terus membaca
Membaca;
Mata yang waspada, batin yang remuk.
Dalam gulita
Terbaring diamuk angin
Melata, terus menjaga daerah ekstrim ini.
Dalam Kota yang gemuruh
Api menjilati langit, dan panas menerpa
Kami sembunyi di bawah kolong, dan
sirine tang membising di kepala
bom seketika pecah.
"ah ini kiamat sudah tiba"
mata seorang ibu bagai lentera, memendar, dan
di langgar-langgar terang,
lanskap langit malam memburam.
Udara sesak oleh asap
Celaka!
Segala kecemasan terbang bersama burung malam.
Tak ada jalan selain kepasrahan pada takdir tuhan
Negara guncang, Kota rapuh
Dan pohon-pohon terbakar.
Detak jantung orang-orang berpacu,
Tangisan anak kecil dijeda malam.
Yang menjajaki nurani,
Mengerdilkan.
Karena suara adalah doa yang sembunyi berkata pada tuhannya"
Saat kami membatu di meja makan,
Hanya doa, gemuruhnya
Doa!
Celana kami sobek dan pasar tutup
Kami meringkih banting muka ke luar jendela
Melihat kota yang terkapar
Serta pecahan lampu sepanjang jalan.
RASA YANG RESAH
Setelah hujan Desember menyapu kenangan
Akankah februari membawa kebahagiaan?
Ataukah bahkan Maret meraih impian?
Akankah Juni masih setia untuk dilewati
Mungkin agustus menawarkan sebagai pengganti
Tapi september masihkah untuk diri?
Nopember bersedia untuk menenangkan
Desember menyapa untuk menawarkan
Akankah siap untuk Januari yang membosankan
Duduk bersila lantunkan kalam ilahi
Terlentang pun alirkan alam mimpi
Air mengalir hanyutkan rasa
Api berkobar membakar cinta
MATAMU
sebab teduhnya kalahkan senja,
kilaunya tepis mentari,
kerlipnya kalahkan bulan
sungguh,
Aku benci matamu;
pangkal segala rindu
IBU
Menjelma abu
Kala sang waktu
Membaringkanmu
KAU KUNANTI
Di bibir pantai
Di lampu-lampu kota
Di setiap tempat yang kita datangi
sebelum menemukan kehilangan
Pada rembulan
Kutitipkan pesan lewat angin malam
yang mencubit kulit cemasku
Berharap kau datang
meramaikan sepi yang mampir silih-berganti
GONDANG (8)
Kehijauan tak berujung walau gerimis terus mengepung
Ribuan ikan berkecipak di bawah batang-batang bambu riuh suara
Panen akan membawa mereka pada dapur-dapur api
Memasuki cafe yang disinggahi para pelacak semesta
Menghirup kehangatan gorengan dan bandrek gula kelapa
Aku dan kau mencabuti sunyi di tatakan hidangan cinta
PETANG DI HEBRON
gerimis melayang dalam kabut
berserak butiran kembang es
seperti salju akan turun
pasir, panas dan gunung batu
kita rapatkan jaket yang rasanya
tak cukup tebal mendekap tubuh
yang jauh dihanyutkan waktu
dari balai lahir
di antara para peziarah
gigil bibir melepas doa
terhijab sunyi
(dimuat Jawa Pos Radar Banyuwangi, Februari 2021)
MILAD
: putriku Jilan
kehilangan senandung
Ay tak bisa memainkannya
rengek tangismu terdengar kembali
memecah udara
delapan belas tahun sudah
kau sibak cahaya demi cahaya
tak ada lilin dan tart bergula
hanya doa berbisik di mihrab sunyi
menyisiri langit
jalan masih jauh kau tempuh
titiknya tak terbaca
biolamu menunggu kau hiasi suara
TADARUS ANAK-ANAK
engkau meminta segelintir air mata
diminumnya pada dahaga
pa’ kopa’ èling, elingnga sakoranji
diracik sampai tangan kami luka
permainan itu tak kunjung usai kita gelar
menerima tangis, menerima tawa
sampai pada sekumpulan cerita
pada layang-layangan yang terbang
seperti berburu nasib baik
di antara pagar duri kenangan
masih melekat pada baju sinema bermain kita
pèsapèan pappa adalah kendaraan kami
menuju musuh untuk dibuat lusuh
dengan berkawan dan beriring
Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang
Baca juga: Bagian 1-10