Puisi-Puisi 100 Penyair dalam Buku Parsel 21 Maret Bagian 81-90



Sherly Mayda
JABATAN PEDULI
 
Seorang pemangku jabatan adalah orang yang dipercaya
Memangku jabatan adalah memegang dan
menjalankan amanah
Zaman makin edan ketika kita hanya bisa
menonton pejabat edan
Lupa akan jabatan yang sementara, jabatan penuh hina
jika dijabat oleh mereka yang tak peduli
 
Rakyat berharap kepedulian para pejabat,
peduli dengan kepentingan rakyat,
Peduli dengan kemakmuran rakyat
Peduli akan lingkungan sekitar
yang makin hari tak saling mengenal ajaran agama
dan adat budaya nenek moyang 
 
Rakyat berharap ada jabatan peduli
Tapi zaman makin edan yang menyajikan kepedulian
hanya pada media sosial untuk pencitraan
Nyatanya mereka hanya peduli pada kemewahan,
rumah besar dan mobil dinas bergengsi
 
Sungguh edan pemangku jabatan saat ini semoga kelak mereka paham dan bertemu dengan jabatan peduli kematian yang akan menemaninya seorang diri tanpa sempat berkata:
Salam anti korupsi!
 
 
Siamir Marulafau
AIR KUTAMPUNG SETIAP TAHUN

Di pagi hari yang kabut
mengkristalkan suasana yang memukau
dengan hati yang galau
Tak lagi berkemas karena diselimuti banjir setiap tahun
Sungguh hidup rasanya tergulung dalam
deburan air tak surut
 
Akan ke mana kubuang rasa suntuk ini
Dikerumuni air mengalir dari hulu
Satu pun biduk tak ada yang menjemput
Sementara hujan turun terus menerus
Apakah kotaku, kota metropolitan yang kubangun
dengan gedung pencakar langit
Bertanya selalu pada pak lurah
Awan-awan pun tak mau turun memberi kabar
Kapan hujan itu berhenti
Aku pun tak tahu karena tak begitu perduli
Medan,23-02-2021
 
 
Siti Kholifah
MERINDU SENDIRI
 
Aku tidak pernah punya cara untuk melupakanmu
Melepaskanmu dari ingatanku
Atau sengaja membinasakan seluruh kenangan yang hidup tertinggal di sini
 
Kau boleh saja pergi
Menjauh sesuka hatimu melangkah
Mengosongkan pembicaraan
Sampai menunda segala bentuk temu yang pernah kita idam-idamkan
 
Telah tak ada lagi lagu-lagu rindu yang menyelinap sebelum terlelap
Atau puisi-puisi cinta yang biasanya selalu kautawarkan sebelum purnama genap usia
 
Entah sampai kapan rindu bertamu mengulurkan pilu
Mengajukan pelukan dan genggam jemari yang dulu pernah kaukaitkan
 
Mungkin aku tak lebih dari suhu dingin yang bisa membuatmu menggigil
Hingga kaupergi mencari hangat dari tubuh yang lain.
 
Tintajemari|Juli, 2019
 
 
Siti Nurhalimah
RINDU DALAM MAGMA
 
Kau adalah komponen biotik yang pertama menyentuh Fuad
sinarmu terangi hepar, menjamah hukum Boyle
kala pisah krenasi menjadi substansi
menjalar pada zona subduksi
lantas masih kau tanyakan nukleus cintaku
 
Tanpa sadar cintaku tereksitasi
hingga entalpi kerinduan menggembun
dari rindu bekerja secara amitosis
hingga kendala pun tak mampu mengukurnya
 
Citeureup, 13 Januari 2020
 
  
Sitti Dahlia Azis
SELIMUT MALAM
 
Kain
Malam yang dingin
Aku sendiri
Diam tanpa kasih
 
Tarik kain menutupi tubuh letih
Hujan deras dingin menerkam tulang
Terdengar suara air menerpa jendela kamar
Hayal menerawang  langit kamar diam membisu
 
Malam tanpa ada sinar rembulan
Langit ikut bermuram tanpa bintang
Sendiri menatap sudut di depan sana
Akankah bahagia saat pagi menjelang
 
 
Sri Nuryani
BERLALUNYA KABUT
 
Saat aku sambut kabut dengan senyuman
Perlahan kabut pun menghilang dengan riang
Menyuguhkan alam yang terang benderang
Menghadirkan semangat yang sempat hilang
 
Sungguh, langit tak akan selamanya berselimut kabut
Akan ada masa tepat saat kabut kembali ke peraduan
Membawa serta mendung yang tak lagi menantang
Meninggalkan kenangan kelam yang tak layak disimpan
 
Saat alam kehilangan keceriaan
Mengajak manusia untuk sejenak menundukkan pandangan
Ingatkan jiwa pada Sang Maharahman
Atas segala yang telah dikaruniakan
 
Pun, saat alam kembali bersinar
tanda agar kita tersadar
Bahwa semua yang dunia gelar
tidak akan selamanya berbinar
Kelak satu persatu akan memudar
hingga kembali kepada Sang Pemberi Kabar
Yang setia menunggumu dengan sabar
tak pernah lengah ataupun gusar
Meskipun terkadang kenakalan dirimu terdengar
Tak mengapa jika setelahnya kau bersimpuh
dengan bibir bergetar
 
Kuningan, 10 Februari 2021
  
 
Sri Wahyuni Utami
AIR MATA RINDU
 
Laut luas yang terbentang
Dengan deru ombak yang menghantam
Gelegar rinduku tak bertemu
Walau ombak ketepian kalbu
Kian kuat dan jauh semakin sendu
Rindu yang kurasa semakin menggebu
Aku terbelenggu tiada bertemu
 
Haruskah aku berenang mengarungi lautan
Haruskah kulepaskan ikatan batinku padamu
Haruskah kuterjang ombak yang semakin tinggi
Walau dentungan jantungku selalu untukmu
Inikah rindu yang tak bisa bertemu
Rindu yang menyayat di hati dan mengganggu jiwa
Hanya air mata yang selalu menemani
 
Entah apa lagi yang akan kutulis
Kini air mata mulai menetes
Menetes dan menetes terus
Membasahi kertas ini
 
Mojokerto, 18 Febroari 2021
 
 
Srikandi Indung Sarerea
UNTUK MARGARETHA
 
Laut ini dekat
Sedekap mata dengan pelupuk
Selekat jantung dengan detak
 
Biru ini kamu, bisikku
Membentang
Laksana pelukan
Tak bersekat
: kita
 
Ombak tak pernah bisu
Bercerita tentang jutaan rindu
Nan esok 'kan jadi legenda
 
Debur melebur
Dedo'a tumbuh subur
Melantai di antara ingatan
Yang kini mewujud
Kamu
 
Pangandaran, 11 September 2019
 
  
Srikandi Indung Sarerea
SANDEKALA
: kamu
 
Segaris jingga ditelan gelap
Hadirkan bayang
Yang kemarin sempat kubuat mati
 
--- lambat angin melagu tentang bisikmu. Satu tak harus ahad, angguk tak mesti lillah ---
 
Kelak harus menunggu atau ditunggu
Ingatan tetap tak pernah purna
Meski tlah berkali-kali digiring kecupan nan bising
 
Kita semogakan saja
Mungkin esok hilang
Atau masih ada di segaris
Tersembunyi dalam cekikik tawa
Seraya rintih tangis
 
Ingat sayang,
Bukankah sakit tak harus penyakit?
Kali ini aku yang akan berlalu
Menanggalkanmu dalam sepi
Pada jirat di atas namamu
 
Pajajaran, 25 September 2019
 
  
Sry Indrayani
HENING DALAM SEPI
 
Malam adalah tempat tersunyi yang paling indah
Antara hamba dengan Tuhannya
Di malam yang sepi bercerita dan mengadu
Tentang kesakitan dan kejamnya dunia
//
Malam adalah tempat untuk berlari
Berlari dari kepenatan beratnya cobaan hidup
Di hening malam yang sepi terjaga dari mimpi
Kubasuh wajah dengan air di penghujung sepertiga malam
//
Saat mata banyak terlelap dan terpejam
Bersimpuh dan menadahkan tangan di atas sajadah
Berharap agar segala kepenatan hilang dan pergi
Terbawa angin malam yang dingin
//
Dalam sunyi heningnya malam
Hati tertambat dan terpaku pada kuasa-Nya
Mengharap ampunan atas segala dosa
Sujud dan tahajud khusuk berdoa
//
Sebelum matahari datang dengan sinarnya
Ijinkan aku membelaimu mendekap mesra
 
  
Sultan Musa
MELUKIS DEBAR BULAN
 
Angin berdesir,
mulai bergemuruh puja-pujian
 
Awan berombak,
memanggil bersila sepi
 
Aku pun menari malam
meski sudah menua
Tetap coba petik langit
mengusik lewat perbincangan doa
 
Doaku
 :  bertemaram debar bulan
#2021
 
  
Sultan Musa
BERBISIK PADA MATAHARI
 
Andai saja matahari selalu gelap
dan mengusik semua keteguhan diri
tentang ketekunan
tentang keinginan
dalam mencapai pendirian
 
Andai saja matahari selalu terang
dan memahami semua jawaban hati
tentang ketakutan
tentang keberanian
dalam mendobrak jawaban tersembunyi
 
Tak ada yang salah dengan terang dan gelapnya, matahari
karena terdesak,  ibarat masuk dalam cangkang menutupi
 
#2021
 

Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang

Baca juga: Bagian 1-10
                   Bagian 11-20
                   Bagian 21-30
                   Bagian 31-40
                   Bagian 41-50
                   Bagian 51-60
                   Bagian 61-70
                   Bagian 71-80
                   Bagian 91-100

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak