Adalah tempat berhenti sejenak dari ribuan langkah kaki
Menoleh ke belakang
Lalu menatap lurus ke depan
Setelah sebatang lilin mati
Dihembus madah syukur
Adalah tubuh dengan mentari yang samar
Desir angin tak kentara membelai daun-daun
Redup dan sendu
Mencatat luka, mencatat lencana renjana
November, tubuh yang fana
Ziarah pejalan yang dahaga
Atau kupahami segala nanah, darah Segala gairah
Cabang-cabang rindu jadi candu
Hujan-hujan bertamu
Segala pikiran bertemu
Jadi bayang - bayang semu
Tampak olehku
Ayahku dalam rupa awan putih
Sudikah Ia meminjamkan nafas lebih lama lagi?
Di malam - malam sepi
Pintu kayu tua
Merapuh dimakan usia
Dan riuh tangisanku
Mungkin kau sedang melupakan ingin
Bersua ibu yang telah menjelma angin
Kekasihmu pergi kala malam
tanpa salam
Kau mengecup mesra aroma
Percintaan telah lalu,
Aroma tubuh, peluh
Dan desah lenguh ibu
Yang kini masih lekat
Di sekujur tilam
Di hari - hari merindu
Bolehkah kukirim puisi malam ini?
KEPADA TETANGGAKU
Menengadah langit dari kampung halaman
Rumput tidak sehijau seperti dulu
Bintang bertaburan
Katakanlah dengan nama Tuhanmu
Akan tetapi engkau tak mengerti
Sehingga basah kedua mataku
Jadikanlah mendungmu berujung hujan
SESUAP NASI
Lampu-lampu malam.
Tersirat kata-kata di matanya yang bulat
Aduh ini bukan ucapan cinta.
Dinding-dinding tinggi menjulang
Kaki-kaki tanah semakin berjuang
Lantai licin terhampar
Lumpur-lumpur sampah berserakan
Tulang putih bukan besi berkarat
Namun janji buat hidup sekarat.
Lara di hati akan terngiang direlung janji
Pernah janji?
Iya pernah janji
Itu tak sekuat mengikat
Aduh ini bukan ucapan cinta
Denting waktu pagi hari
Lalu membusuk malam hari
Cari-cari sesuap nasi.
Yang ketika malam dia menghilang
Hanya saja dia berjanji ‘kan pulang
Seseorang yang berjanji ‘kan pulang
Namun, ketika yang dinantikan telah datang
Dia hanya singgah lalu menghilang
Membuat hati merasakan kerinduan
Pada seseorang walau tanpa adanya ikatan
Dan juga tanpa sebuah kejelasan
MENIKAM JEJAK SEJARAH
Ria Yusnita
PADA HUJAN KUBERBISIK
Segala yang kerontang kembali menuai asa untuk menarik napas sejak dini hari
Ranting-ranting bersorak berdendang melagu rindu
Ilalang berseru untuk menadah air pada tempayan
Akar pun menikmati sensasi kenyamanan yang penuh rasa
dedaunan dan dahan pun berbasahan
larut bersama wanginya romansa jiwa; memberi asa
Membelah sunyi menghempaskan bulir luka yang meneggelamkan hati
Aku senyumi engkau yang hinggap di atap hati agar dapat menghanyutkan sampah yang tersangkut di ruang gundah
Hujan, segerakanlah mandikan jiwa-jiwa yang dirundung gelisah
agar bahagia menjejak kisah
Berpandai-pandai mengolah tangisan air
agar terlukis pelangi menyilakan mimpi
SUARA BIDADARI
Merasuk merunduk lewat delusi
Inilah kesucian dan tawadu yang sama
Berjalan menenggelamkan pikir prasangka
Kepadamu kekasih dan imam
Yang selalu menjaga puji puja doa
Terhembus di tiap helaan napasku aku
Agar semua tak buram seketika
Tatap senyum tulus di tiap waktu
Biarkan aku memanggil dengan kasih
Suara paling bidadari yang kau suka itu
Namun kesejatian selalu menemu jalan
Meski tak ada ujung dan pangkal di sana
Kita akan bergandengan menuju nirwana
BOLEHKAH AKU CEMBURU
Meski hanya sesekali
Sebab cemburuku menyimpan sayang
Berharap datang anugrah dengan menyerupaimu
Sebagai keindahan
Lalu tayang pada penanggalanku
Sepanjang waktu, sepanjang aku
Menunggu doa untuk diterbangkan
Agar bila kembali ada namamu
Nama yang membuatku gila
Siapakah dirimu
Bolehkah aku cemburu
selain relief-relief kaligrafi
ada kisah sang ulama
mencari alamat :pulang
sebuah perjalanan keluh-kesah
dari pengembaraan rindu resah
seperti imam-imam dan ayatollah
seperti Amir Hamzah
“pulang kembali aku pada-Mu”
seperti kata Hamzah Fansuri
air dan ombak asalnya Satu
”begitulah tamsil engkau dan Aku”
Kpd. Datuk Kemala
di atas ombak di paras gelombang
bagai kura-kura ke jalan benar
dari tangkahan telur menuju laut berdebur
Jangan seperti rusa di hutan pasir
meski berhias menjadi cantik
cuma berlari kencang di hutan tualang
selalu tersesat di bukit jembalang
Medan, Juni 2020
KELABU
Hari di mana semuanya buta
Tak ada cerita
Kebahagiaan habis dari rencana
Gaib dari kenyataan waktu
:dalam hidupku
Terbang entah ke mana pergi
Seperti menuju kebohongan
: di luar pikirku
Perlahan-lahan berpasir
Habis jadi bebayang
: dimakan waktu
Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang
Baca juga: Bagian 1-10