MENGEMIS
CINTANYA
Sanjung
madah
Menggemah sejagat raya
Luapan cinta tak bernoktah
Membuncah jiwa berjuta seleksa damba
Ahmad nama keramat panutan seluruh
ummat
Dalam ayat suci tersemat
Pemuji tuhan hingga akhir hayat
Muhammad nama warisan dari kakek tersayang
Di depan ka’ba pertama di sebutkan
berharap pujian semesta alam
Ahmad Ya Habibi Muhammad Ya Nurul
qalbi
Tak bosan hamba menengadah
Meminta mengemis cinta
Terukir puja berlinang air mata
Berharap cintanya di hamparan sabana
Penuhi jiwa nan gersang
Dalam goresan masa silam nan kelam
Ganding, 17 Januari 2021
Muhajir Syam
DETIK-DETIK PERPISAHAN
Haji wada’ mencekam merobek
dada pencinta keabadian
Hadirmu menjadi keniscayaan
Lupa hakekat kejadian tiap yang bernyawa pasti bersemayam
Tiap tingkahnya adalah tauladan
Kumpulkan insan adakah gerangan tindak dan ucapan menyakitkan
Semua terdiam tanpa jawaban
Uqasya bangun acungkan tangan
Utarakan rasul mencambuk dalam perang
Rasulpun mendekat beri kesempatan
Sahabat gusar siap mengganti tebusan
Satu persatu maju untuk baktikan cinta pada sang pujaan
Uqasya tak mau memcambuk saat Nabi
berpenutup tubuh
Nabi membuka tanpa ragu sahabat geram terpaku
Saat Uqasya mendekap tubuh
Sembari berucap tak akan ada yang tegah melukai tubuhmu
Wahai Sang Penyelamat ummat
Ku tempelkan tubuhku pada tubuhmu berharap selamat
Dari kobaran neraka kelak di akherat
Ganding, 18 Januari 2021
Muhamad
Yulianto Tianotak
RESAH DAN KENANGAN
Sepertinya resah mulai
bersahabat
melangkah mendekat lalu berjabat.
Kataku,
Selamat datang resah,
ku persilahkan duduk, sebab telah bersedia mampir
tak lupa kubuatkan secangkir air mata dan sepiring kenangan.
Hingga pada lautan malam,
kala aku merayu resah
Terlihat tepian pasrah yang samar-samar
Gelombang pasrah, sebab nantinya ia dilupakan.
Tetapi pada ke sekian kalinya ia tetap datang kemudian mengucapkan selamat tinggal.
Ada bayang hanyut dan
tersangkut oleh kerinduan
Di sebelahnya kenangan mendampingi
Ambon, 18 Februari 2021
Muhammad Akbar
PADA KURSI SANDAR DI PELABUHAN
Saat senja usai dan
selesai melukis langit,
Menyala lampu-lampu jalan, menerangi wajah pelabuhan.
Ada laron putih dan capung tersesat, dermaga dan perahu nelayan.
Laut yang menghanyutkan
perahu dimatamu membawaku jauh,
Memaksa aku membaca kembali peta ditelapak tanganmu.
Dan ketukan sepatu itu adalah bahasa yang tidak pernah ditemukan dalam perdaban manapun.
Pada kursi sandar,
Kita duduk berhadap-hadapan
Aku pungut puisi di bentang alismu
Binar bola mata dan bising kata-kata
Nada dan tawa orang-orang yang merayu tuhan pengap di udara.
"Disini begitu ramai
dan bising" ucapmu
Apakah ada yang lebih ramai dan bising dari cintaku kepadamu?; Ucapku
Malam jatuh, bintang
serupa huruf-huruf
Kau pamit tanpa melambai
Mengucapkan selamat tinggal
Pada cangkir, botol plastik dan kursi sandar
Yang kembali sunyi dan kesepian.
Mbojo, 12 Januari 2021
Menggemah sejagat raya
Luapan cinta tak bernoktah
Membuncah jiwa berjuta seleksa damba
Dalam ayat suci tersemat
Pemuji tuhan hingga akhir hayat
Muhammad nama warisan dari kakek tersayang
Di depan ka’ba pertama di sebutkan
berharap pujian semesta alam
Meminta mengemis cinta
Terukir puja berlinang air mata
Berharap cintanya di hamparan sabana
Penuhi jiwa nan gersang
Dalam goresan masa silam nan kelam
DETIK-DETIK PERPISAHAN
Hadirmu menjadi keniscayaan
Lupa hakekat kejadian tiap yang bernyawa pasti bersemayam
Kumpulkan insan adakah gerangan tindak dan ucapan menyakitkan
Semua terdiam tanpa jawaban
Utarakan rasul mencambuk dalam perang
Rasulpun mendekat beri kesempatan
Sahabat gusar siap mengganti tebusan
Satu persatu maju untuk baktikan cinta pada sang pujaan
Nabi membuka tanpa ragu sahabat geram terpaku
Saat Uqasya mendekap tubuh
Sembari berucap tak akan ada yang tegah melukai tubuhmu
Wahai Sang Penyelamat ummat
Ku tempelkan tubuhku pada tubuhmu berharap selamat
Dari kobaran neraka kelak di akherat
melangkah mendekat lalu berjabat.
Kataku,
Selamat datang resah,
ku persilahkan duduk, sebab telah bersedia mampir
tak lupa kubuatkan secangkir air mata dan sepiring kenangan.
Terlihat tepian pasrah yang samar-samar
Gelombang pasrah, sebab nantinya ia dilupakan.
Tetapi pada ke sekian kalinya ia tetap datang kemudian mengucapkan selamat tinggal.
Di sebelahnya kenangan mendampingi
PADA KURSI SANDAR DI PELABUHAN
Menyala lampu-lampu jalan, menerangi wajah pelabuhan.
Ada laron putih dan capung tersesat, dermaga dan perahu nelayan.
Memaksa aku membaca kembali peta ditelapak tanganmu.
Dan ketukan sepatu itu adalah bahasa yang tidak pernah ditemukan dalam perdaban manapun.
Kita duduk berhadap-hadapan
Aku pungut puisi di bentang alismu
Binar bola mata dan bising kata-kata
Nada dan tawa orang-orang yang merayu tuhan pengap di udara.
Apakah ada yang lebih ramai dan bising dari cintaku kepadamu?; Ucapku
Kau pamit tanpa melambai
Mengucapkan selamat tinggal
Pada cangkir, botol plastik dan kursi sandar
Yang kembali sunyi dan kesepian.
KENANG DAN LEKANG
Terkadang membuat hati terkekang
Seolah ada butir paksaan
Tapi tak menuai kejelasan
Semuanya kan memilih menepi
Sebab setiap ruang telah berlalu
Dan menuntutmu kembali menari
Sekalipun sekeras karang
Keharusanmu adalah menjadi tenang
Dengan membiarkan letih perlahan melekang
KAULAH EMBUN
yang mulai menapaki gelap
ketika senja menepikan silaunya
di sela itu
daun pun beranjak lelap tak berkedip
seperti udara yang menghembuskan
rona kehangatan juga kesejukan
bagi perindu kesetiaan
yang menuntun mimpi menuju pagi
hingga kau hanyutkan
tiap jiwa yang dibelenggu sunyi
yang sangat ingin kudapati
sebagai pengisi hati
seperti halnya langit usai dicampakkan hujan
muncullah pelangi teruntuk bumi yang dicintakan
TUBUH LADANG INGATAN IBU
Untuk seorang gembala rindu
Begitu subur rerumput masa lalu
Utuh kenangan di bawah langit biru
Hanya ada cumbuan mengingat waktu
Ada beragam doa dan harapan
Dada menampung rerindu ingatan
Agar gembala merasakan kehangatan
Nyanyian serta kicau burung bersahutan
Gunung menggenapi gairah rasa kehidupan
Nafas dan ladang-ladang
Gugur daun di tanah lapang
Aku berdiri tegak memandang
Tak ada leluka membuat gersang
Atas tubuh dan ingatan ibu sekarang
Niscaya angin bertiup di tubuhku tenang
Bagi langkah gembala yang arah
Umpama tanah adalah tubuh yang tabah
DI TANAH RANTAU DOA IBU PURNAMA
Ibarat malam yang dipenuhi cahaya
Air mata air simbol nikmat
Nyanyian semesta penyemangat
Adalah doa menjadi cahaya setiap saat
Hanya doa ibu kepada anaknya tanpa syarat
Amsal kehidupan terpedam
Nafsu bergelombang menghantam
Tak ada luka yang bisa diobati temaram
Amarah kehilangan rasa tabah dan tenteram
Ungkapan tak memberikan makna yang mendalam
Obat mujarab masalah dunia
Air mata menjelma hujan di musim lara
Berkali waktu selalu berdoa
Untuk anak-anak yang dilahirkannya
Ungkapan kata tanpa detak
Rindunya seorang ibu tanpa sak
Nyanyian suara rerindu kepada anak
Amat lirih penuh harap tak terdengar isak
Malam menjadi saksi ketabahan tanpa gerak
Ada tuah pada jarak yang terpisah oleh tanah jejak
SEDETIK LAGI RINDUKU BERSUA
harum semerbak mewangi
ditemani bias mentari dari ufuk Timur.
Nyanyian rasa semakin sahdu,
seiring derap langkah kaki yang kian menepi
Bayangmu semakin nampak di pelupuk mata
Rindu yang telah tergadai oleh toga asmara,
kini seterang rembulan, menyinari derap langkah kakiku
menambah energi pengharapan, akan sua di altar rindu.
Jika sua kita terhalang oleh ngarai,
akan kuterjal walau gulita malam mendera.
Jika sua kita terhalang oleh badai samudera,
akan kuarungi walau topan menerjang.
Rinduku telah terpatri dalam bayangmu yang semakin nyata.
Sedetik lagi sua rindu kita berpadu bagai larutan sejati
AKHIR DARI CERITA
Kala senja datang untuk menyapa
Memberikan bumbu keromantisan pada kita
Yang tengah asyik menikmati indahnya berbagi rasa
Seolah ikut serta perihal ini
Tentang cintaku yang kini kian terpatri
Bermula pada saat kita bertemu di Bali
Kini tercatat di hamparan air Pantai Kuta
Ditemani dengan sepasang es kelapa muda
Membuat semua seolah sempurna
Kala diriku mendengar kabar gelebah
Kubawakan seporsi nasi dengan sedikit sambal matah
Untuk dirimu yang ingin pindah
Menikmati keindahan dunia berdua
Walau ini hanya sebatas anganku saja
Yang sesaat lagi hanya tinggalkan cerita
Diiringi tangisku yang kian menerpa
Meratapi sepinya hariku tanpa cinta
Menyaksikan kepergian yang entah kapan kita bisa lagi bersama
Ketika semua tentang kita tinggallah cerita
Namun aku merasa sangat bahagia
Karena pernah bersama walau hanya sementara
CERITA DALAM SECANGKIR KOPI
Kopi pahit yang masih panas sudah menantimu
Asapnya menebarkan harum yang sangat menggoda
Lelah sudah terlalu lama diam dalam jiwa
Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menggoda
Tak lagi bisa memandang apa yang ada di hadapan
Mataku sudah semakin kabur
Tak lagi bisa membedakan halusinasi dan kenyataan
Temani aku habiskan kopi yang sudah kubuat hari ini
kabut selaksa sutra halus
tutupi serat-serat jiwa manusia
dengan segala metafora bermakna
intepretasi kalbu tertutup kabut
Kini tersibak penuh daya
bayang-bayang semu sirna
hilangkan jejak-jejak berliku
tak jua sirna segala gundah
angin bawa kekuatan cinta
hinggapi makhluk yang peduli
dengan segala nuansa harapan
Menggelora merasuki kekuatan jiwa
Menghadapi hantaman badai menerpa
Takdir cinta meraih hasrat diri
Termenung jiwa dengan rupa nasib
Napak tilas perjalanan hidup
Citra diri menggapai intepretasi kehidupan
Senja memerah meratap hasrat menggelora
Semburat pesona alam, mencengkram kuat
Detik-detik kehidupan memiliki makna
Bergemuruh dan bergejolak
Pergulatan nasib mengharap asa nan cerah
Songsong dan tautkan jiwa-jiwa lemah
Memburu peluru kehidupan pada jiwa syahdu
Purnama cinta menyambut sang rembulan
Tersipu malu di balik kerimbunan awan
LINGKARAN IMPIAN BINTANG
Mungkinkah akan berbeda
Saat usia kita jelang 20 tahun
Kita berpikir masa adalah milik kita
Saat bintang di penghujung usia 30 tahun
Kita mulai bertanya apakah masih milik kita
telah kita hasilkan sampai saat ini
Apapun keinginan hati yang ingin diwujudkan
Maka pasti akan ada jalan untuk sampai ke tujuan
Jika lafaz doa tidak pernah putus kita lantunkan
Jika hati tidak pernah berhenti memintal harapan
Jika impian tidak sejenak pun pernah pupus
Hidup adalah kado istimewa yang Allah titipkan
Hidup adalah satu kanvas besar
Kita harus melukiskan yang terbaik
Sampai masa kita benar-benar berakhir
Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang
Baca juga: Bagian 1-10