Puisi-Puisi 100 Penyair dalam Buku Parsel 21 Maret Bagian 41-50

 

DUET DENGAN MAUT
 
Jantung berdegup
Darah berdesir
Urat nadinya menyembul
Berona biru, membayang darah
 
Hentakan kaki tak henti berlari
Berpacu kerasnya melodi bahaya
Bergelayut manja pada rintangan
Berduet mesra dengan sang maut
 
Tatap rayu penghadir pesona
Menambah duet makin bergelora
Tak peduli nyawa tertaruhkan
Demi derasnya gejolak adrenalin
 
Rintangan kian menggoda
Dekapan maut semakin mesra,
Duet itu, kini jadi abadi
Penakluk bahaya tinggal cerita
Dalam sebuah romansa
Bertaburkan puja
 
 
Lubet Arga Tengah
TUNA NETRA JUZ II
 
Kepada usia yang harus aku tempuh pelan-pelan. Dari tahun yang cukup menandakan petang. Ingin kulepaskan panggilanku yang balita dengan memotong kepala kelamin yang mulanya sungguh tak direlakan. Di selangkangan seperti ada yang aneh. Jalanku tak selumrah dahulu. Harus memberikan jarak dengan sejengkal tangan. Agar tidak bersapaan dengan kain sarung yang kupakai
 
Setiap bangun tidur ibuku membilas dengan air hangat. Menghilangkan perih-geli yang serupa digerubung semut. Tawa kecil terdengar dari suara ibu. Bila kutanya selalu bilang tidak apa-apa.
 
Ada bagian-bagian yang tak selalu kutahu. Di luar perasaan punya derita sendiri. Tertawa yang terdengar itu hanya katanya. Menenangkan diri menjadi ilmu utama untuk mengumpatkan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun tak tahu bagaimana wajah cinta.
 
 
MaHa Mangkudilaga
AKHIR DONGENG DESEMBER
 
di antara senyum basah bibirku
sebaris namamu berusaha kueja
menjadi puisi paling bahagia
 
tiada reda hujan di luar
tanpa jeda bermalam-malam di kamar
kucium bekas harum parfummu
di antara lengan panjang bajuku
 
sesekali mendengar suara gemuruh
degup jantung rindu paling aduh
 
meninabobokkan kata-kata
di setiap lembar-lembar kertas
yang lembab
adalah caraku menuliskan
seluruh isak masalalumu
 
sementara, di cermin yang dingin
dan sebuah buku bergambar
pohon gugur daunnya
menyeka hari-hari kita
dalam kisah kasih yang purba.
 
Annuqayah, 2020
 
  
MaHa Mangkudilaga
DI LANGIT KOTAMU
 
kemungkinan engkau sudah paham
penentuan cuaca pada setiap
tanggal-tanggal berguguran
menentukan ke mana arah hijriyah
mengayuh mimpi ke peluk masehi
 
redup lampu-lampu lelah mengejar usia
di setiap kelokan jalan berdebu
malam dan seekor kalelawar
saling berebut nasib di punggungku
 
sementara, di langit kotamu yang jauh
puisiku belajar memanah bulan
sejengkal jarak
musim-musim yang jatuh
di tanganku melepuh waktu
 
masihlah namamu kutambatkan
si setiap doa magribku
sesekali melepas cemas
isyaku yang hilang terkubur batu-batu.
 
Annuqayah, 2020
  
 
Maria Delvi Silalahi
PEMANTIK CAHAYA
 
Seragam mewangi itu aku pajang dalam sukma
Paras rupa serta kata menemani jiwa raga
Untuk suatu bukti jiwa dharma
Serupa asal sebuah cahaya
 
Engkau jarang dinyanyikan
Jarang didengungkan
Padahal kerap datang menerangi
Jiwa muasal peradaban
Melebur pada semesta alam
 
Gelar engkau pudar, jarang dalam ingatan
Izinkan aku menetaskan namamu
Di lembar kertas dengan bahasa pena
Sekadar mengenang, walau engkau tak berkenan
  
 
Marwanto
NEGERI WARNA-WARNI
- Wasiat Gus Dur
 
Dulurku..
Aku tak ingin melihatmu cengeng
Mengaduh tapi ikhtiar belum kau rengkuh
Seperti pemalas mendengkur di dalam loteng
Seakan gagah sejatinya rapuh
 
Dulurku..
Aku tak ingin melihatmu  lemah
Tiarap dihantam perubahan yang congkak
Lalu menodong Tuhan dengan jiwa pasrah
Mirip pemabuk mengandalkan arak
 
Dulurku..
Tegarlah melangkah
Walau sekedar mengisi perut masih susah
Aku ingin kau bangkit
Walau  kemiskinan masih membelit
Aku ingin kau terus melaju
Walau kadang negara menelantarkanmu
 
Dulurku..
Kita ditakdirkan sebagai bangsa yang kuat
Asal kepribadian luhur moyangmu rajin kau rawat
Asal tanah tumpah darahmu kau peluk dengan khidmad
Aku yakin bangsamu akan  berdiri gagah
Dengan warna-warni yang bersinar rekah
 
 
Dulurku..
Warna-warni adalah kekuatan
Perbedaan adalah nutrisi yang menyehatkan
Maka, bila kau ingin agar bangsamu tegak berdiri
tegar meski diterpa angin dari segala penjuru bumi
Kau harus saling menguatkan, bukan meniadakan
Kau harus saling mewarnai, bukan menghapus jati diri
 
 
Wisma_Aksara, Desember 2020


Marwanto
JANGAN KAU CEMASKAN
                                               
Masihkah kau cemas dengan hujan
Seperti yang kau isyaratkan di buku harianmu
Yang pernah kubaca, sekali tapi terbawa dalam mimpi
Padahal lihatlah rumput di halaman itu
Telah bertahun-tahun meranggas kekeringan
Hidup segan, dan ia belum hasrat untuk mati
 
Masihkah kau cemas dengan purnama
Seperti yang kau kabarkan pada murung matamu
Saat melihat merpati bercumbu di atas dahan kenanga
Padahal malam akan segera susut kelabu
Tanpa rembulan menyunggingkan sinarnya
Dan alam raya, kita tahu, akan jadi neraka yang tergesa
 
Masihkah kau cemas dengan hujan…
Memang beginilah bumi adanya
: tinggal menyisakan pertanyaan
Dan akan semakin tua, semakin tua saja nona
Jika kau masih cemas dengan purnama
  
Kulonprogo, 2007
 
 
Maryani
KENANGAN BERSAMAMU
 
Sore ini kudatang lagi
Di kota gudeg Yogyakarta
Ku duduk manis di bangku belakang
Menikmati laju Avanza
 
Terdengar sayup-sayup
Suara merdu kla project
Membuatku semakin terlena
Melambungkan angan waktu itu
 
Kususuri sepanjang jalan Malioboro
Menembus alam kenangan lalu
Bergandengan tangan berjalan beriringan
Tergambar berbagai lukisan kegembiraan
 
Di bangku itu kita bercanda
Ditemani secangkir kopi hangat
Itu dulu, dan kini
Kuhibur diriku dengan potret wajahmu
  
Blora, 8 Januari 2021
 
  
Mas’idah
GENANGAN RINDU
 
Gemuruh petir menggelegar
Seolah-olah memanggil namanya
Hujan pun turun, mengalir deras
Mengirim pada sebuah kenangan manis
Akan rindu yang tak pernah habis
 
Ku lihat genangan setelah hujan
Menyatu dalam kubangan
Bak genangan rindu berbalut kasih
Yang kau patri dalam lubuk hati
 
Ku ingin luapkan,
Derai nafasku berhembus hanya untukmu seorang
Denyut nadiku berdetak teratur
Searah dengan rinduku yang tak pernah luntur
 
Aku yang setia menunggu tanpa batas waktu
 
 
Gresik, 20 Februari 2021
  
 
Meria Fitriwati
CINTA DAN HARAPAN
 
Senyum yang kauberi
Menyejukkan sampai ke hati
Tiupan angin berembus
Membelai wajahku dengan halus
 
Rindang daunmu menghalangi teriknya
Bersandar riang menghilangkan dahaga
Bersamamu aku bahagia
Menikmati indahnya dunia
 
Kicauan burung bernyanyi begitu merdu
Sayup-sayup kudengar bisikan rindu
Antara kau dan aku berbaur menjadi satu
Seiring langit yang kian membiru
 
Tataplah ke depan
Membentang luas mimpi dan harapan
Hadapi semua tantangan
Raih dia dengan segenap perjuangan
 
Pesisir Selatan, 16 Februari 2021
  
 
Mugie Ryand
ATMOSFER INSPIRASI
 
Puisi akan menggemakan syairnya
melantun syahdu menembus relung hati
mengalir melalui urat nadi
dari setiap kata yang tersurat
tertuang makna yang tersirat
biarlah puisi menjadi naluri sebagai atmosfer inspirasi
 
Arungi setiap jengkal majas yang tertoreh
pecahkan setiap kebuntuan nalar
menghubungkan antara peristiwa dan logika
teruji dari setiap saji yang ada
berlabuh pada diksi yang utuh
  
 
Muhaimin Rizal
HARI BERANAK
 
Mungkin kalian kerap kali bingung
Di mana puncak kita merenung
Kala itu ketika kita berada di sebuah tempat
Yang gelap
Yang di mana, kaki kita hanya bisa kita dekap
 
Di sana tempat sebuah batang menggeliat
Genap sembilan bulan yang lalu
 
Kini, di saat-saat
Suatu yang kita sebut tobat
Akan hadir untuk menjadi kiblat
 
Di sanalah seorang yang kita akan panggil "Ibu", beranak
 
Suaranya mampu untuk membuat pilar-pilar masjid ambyar seketika
Sehingga para peminta uang di masjid yang biasa duduk di jalanan, menangis meronta-ronta
 
Genggamannya mampu untuk memecah lima ratus perak menjadi berkeping-keping,
sehingga para orang tinggi tak perlu bingung lagi untuk membagikan uang mereka kepada para fakir
Karena lima ratus perak, kini cukup untuk sepuluh golongan mereka
 
Dan hatinya mampu untuk mengajak para bajingan menjadi pseudo-keji
Berpikir dua kali?
 
//
 
Saat aku keluar dari tempat puncak perenungan
Aku tarik orang-orang di sekitarku dengan isak
Mereka membalas dengan senyum yang serupa rasa sirsak
 
Kian keras aku menangis, kian lebar mereka tersenyum
Di sanalah hadir sebuah hari yang seharusnya bercap "Hari Beranak"
Namun karena, aku yang mereka rayakan, jadilah jenama "Hari Jadi"
Ya, walau mereka tau, isak perempuan yang lubangnya sudah koyak itu, lebih getir dari punyaku
Tapi siapa peduli?
Setiap tahun aku bisa mencicipi kue gratisan
 
Bondowoso, 19 Juli 2020


Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang

Baca juga: Bagian 1-10
                   Bagian 11-20
                   Bagian 21-30
                   Bagian 31-40
                   Bagian 51-60
                   Bagian 61-70
                   Bagian 71-80
                   Bagian 81-90
                   Bagian 91-100
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak