DUET DENGAN MAUT
Darah berdesir
Urat nadinya menyembul
Berona biru, membayang darah
Berpacu kerasnya melodi bahaya
Bergelayut manja pada rintangan
Berduet mesra dengan sang maut
Menambah duet makin bergelora
Tak peduli nyawa tertaruhkan
Demi derasnya gejolak adrenalin
Dekapan maut semakin mesra,
Duet itu, kini jadi abadi
Dalam sebuah romansa
TUNA NETRA JUZ II
MaHa Mangkudilaga
AKHIR DONGENG DESEMBER
sebaris namamu berusaha kueja
menjadi puisi paling bahagia
tanpa jeda bermalam-malam di kamar
kucium bekas harum parfummu
di antara lengan panjang bajuku
degup jantung rindu paling aduh
di setiap lembar-lembar kertas
yang lembab
adalah caraku menuliskan
seluruh isak masalalumu
dan sebuah buku bergambar
pohon gugur daunnya
menyeka hari-hari kita
dalam kisah kasih yang purba.
DI LANGIT KOTAMU
penentuan cuaca pada setiap
tanggal-tanggal berguguran
menentukan ke mana arah hijriyah
mengayuh mimpi ke peluk masehi
di setiap kelokan jalan berdebu
malam dan seekor kalelawar
saling berebut nasib di punggungku
puisiku belajar memanah bulan
sejengkal jarak
musim-musim yang jatuh
di tanganku melepuh waktu
si setiap doa magribku
sesekali melepas cemas
isyaku yang hilang terkubur batu-batu.
PEMANTIK CAHAYA
Paras rupa serta kata menemani jiwa raga
Untuk suatu bukti jiwa dharma
Serupa asal sebuah cahaya
Jarang didengungkan
Padahal kerap datang menerangi
Jiwa muasal peradaban
Melebur pada semesta alam
Izinkan aku menetaskan namamu
Di lembar kertas dengan bahasa pena
Sekadar mengenang, walau engkau tak berkenan
NEGERI WARNA-WARNI
- Wasiat Gus Dur
Aku tak ingin melihatmu cengeng
Mengaduh tapi ikhtiar belum kau rengkuh
Seperti pemalas mendengkur di dalam loteng
Seakan gagah sejatinya rapuh
Aku tak ingin melihatmu lemah
Tiarap dihantam perubahan yang congkak
Lalu menodong Tuhan dengan jiwa pasrah
Mirip pemabuk mengandalkan arak
Tegarlah melangkah
Walau sekedar mengisi perut masih susah
Aku ingin kau bangkit
Walau kemiskinan masih membelit
Aku ingin kau terus melaju
Walau kadang negara menelantarkanmu
Kita ditakdirkan sebagai bangsa yang kuat
Asal kepribadian luhur moyangmu rajin kau rawat
Asal tanah tumpah darahmu kau peluk dengan khidmad
Aku yakin bangsamu akan berdiri gagah
Dengan warna-warni yang bersinar rekah
Warna-warni adalah kekuatan
Perbedaan adalah nutrisi yang menyehatkan
Maka, bila kau ingin agar bangsamu tegak berdiri
tegar meski diterpa angin dari segala penjuru bumi
Kau harus saling menguatkan, bukan meniadakan
Kau harus saling mewarnai, bukan menghapus jati diri
Marwanto
JANGAN KAU CEMASKAN
Masihkah kau cemas dengan hujan
Seperti yang kau isyaratkan di buku harianmu
Yang pernah kubaca, sekali tapi terbawa dalam mimpi
Padahal lihatlah rumput di halaman itu
Telah bertahun-tahun meranggas kekeringan
Hidup segan, dan ia belum hasrat untuk mati
Seperti yang kau kabarkan pada murung matamu
Saat melihat merpati bercumbu di atas dahan kenanga
Padahal malam akan segera susut kelabu
Tanpa rembulan menyunggingkan sinarnya
Dan alam raya, kita tahu, akan jadi neraka yang tergesa
Memang beginilah bumi adanya
: tinggal menyisakan pertanyaan
Dan akan semakin tua, semakin tua saja nona
Jika kau masih cemas dengan purnama
KENANGAN BERSAMAMU
Di kota gudeg Yogyakarta
Ku duduk manis di bangku belakang
Menikmati laju Avanza
Suara merdu kla project
Membuatku semakin terlena
Melambungkan angan waktu itu
Menembus alam kenangan lalu
Bergandengan tangan berjalan beriringan
Tergambar berbagai lukisan kegembiraan
Ditemani secangkir kopi hangat
Itu dulu, dan kini
Kuhibur diriku dengan potret wajahmu
GENANGAN RINDU
Seolah-olah memanggil namanya
Hujan pun turun, mengalir deras
Mengirim pada sebuah kenangan manis
Akan rindu yang tak pernah habis
Menyatu dalam kubangan
Bak genangan rindu berbalut kasih
Yang kau patri dalam lubuk hati
Derai nafasku berhembus hanya untukmu seorang
Denyut nadiku berdetak teratur
Searah dengan rinduku yang tak pernah luntur
CINTA DAN HARAPAN
Menyejukkan sampai ke hati
Tiupan angin berembus
Membelai wajahku dengan halus
Bersandar riang menghilangkan dahaga
Bersamamu aku bahagia
Menikmati indahnya dunia
Sayup-sayup kudengar bisikan rindu
Antara kau dan aku berbaur menjadi satu
Seiring langit yang kian membiru
Membentang luas mimpi dan harapan
Hadapi semua tantangan
Raih dia dengan segenap perjuangan
ATMOSFER INSPIRASI
melantun syahdu menembus relung hati
mengalir melalui urat nadi
dari setiap kata yang tersurat
tertuang makna yang tersirat
biarlah puisi menjadi naluri sebagai atmosfer inspirasi
pecahkan setiap kebuntuan nalar
menghubungkan antara peristiwa dan logika
teruji dari setiap saji yang ada
berlabuh pada diksi yang utuh
HARI BERANAK
Di mana puncak kita merenung
Kala itu ketika kita berada di sebuah tempat
Yang gelap
Yang di mana, kaki kita hanya bisa kita dekap
Genap sembilan bulan yang lalu
Suatu yang kita sebut tobat
Akan hadir untuk menjadi kiblat
Sehingga para peminta uang di masjid yang biasa duduk di jalanan, menangis meronta-ronta
sehingga para orang tinggi tak perlu bingung lagi untuk membagikan uang mereka kepada para fakir
Karena lima ratus perak, kini cukup untuk sepuluh golongan mereka
Berpikir dua kali?
Aku tarik orang-orang di sekitarku dengan isak
Mereka membalas dengan senyum yang serupa rasa sirsak
Di sanalah hadir sebuah hari yang seharusnya bercap "Hari Beranak"
Namun karena, aku yang mereka rayakan, jadilah jenama "Hari Jadi"
Ya, walau mereka tau, isak perempuan yang lubangnya sudah koyak itu, lebih getir dari punyaku
Tapi siapa peduli?
Setiap tahun aku bisa mencicipi kue gratisan
Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang
Baca juga: Bagian 1-10