Penulis Necis dan Penulis Tragis oleh Syukur Budiardjo | suarakrajan.com

Penulis Necis dan Penulis Tragis
Oleh Syukur Budiardjo
 
Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels

Hanya yang bermental baja yang berani mengambil risiko hidup sebagai penulis atau pengarang semata. Penulis sebagai profesi dapat dihitung dengan jari. Sebab, di negeri ini literasi masih menjadi barang luks, tidak seperti sembako. Budaya baca dan tulis masih sangat perlu diperjuangkan.
 
Umumnya yang suka menulis adalah para profesional, misalnya guru, dosen, wartawan, dokter, pengacara, dan cerdik cendekiawan. Seandainya tulisan yang dikirim ke media massa ditolak oleh redaksi, mereka tidak berputus asa. Bukankah mereka sudah mendapat penghasilan tetap setiap bulan untuk menghidupi keluarganya?
 
Sebenarnya siapa pun dapat menjadi penulis profesional. Layaknya mereka berniat menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai penulis semata atau penulis murni. Penulis murni bernafas panjang, menjadi penulis sampai akhir hayat.
 
Penulis Bukan Pengetik
Penulis akan memberdayakan otak dan tangannya dengan maksimal sehingga menghasilkan karya tulis yang layak dibaca oleh siapa pun. Dengan otak dan tangannya ia bekerja menganyam kata dan menyulam kalimat sehingga menghasilkan produk yang siap dipasarkan kepada sidang pembaca, yaitu tulisan.
 
Sampai akhir hayatnya Bung Karno dan Bung Hatta terkenal sebagai penulis. Mereka adalah penulis teks proklamasi yang sangat terkenal itu, sedangkan pengetik teks proklamasi tersebut adalah Sajuti Melik, wartawan zaman revolusi. Jadi, penulis berbeda dengan pengetik.
 
Kita tahu bahwa Presiden Abdurrahman Wahid itu tidak dapat melihat. Akan tetapi, artikel ilmiah populernya merajalela di mana-mana, misalnya di harian Kompas dan majalah Tempo. Rupanya sang mantan presiden itu meminta tolong jasa pengetik. Gus Dur malafalkan naskah karangannya itu secara nyaring, sedangkan pengetik bekerja mengetik ide dan gagasan Gus Dur menjadi sebuah naskah yang akan dikirimkan ke media massa cetak.
 
Itu sebabnya, penulis berbeda dengan pengetik. Penulis bekerja secara maksimal  memberdayakan anugerah Allah  yang tidak ternilai harganya itu -- otak. Pengetik layaknya hanya bekerja sesuai dengan perintah. Ia hanya mengetik naskah yang disodorkan kepadanya, baik menggunakan mesin tik manual maupun komputer.
 
Penulis Itu Pengetik Plus
Saya menyebut penulis sebagai pengetik plus. Layaknya pengetik, ia memberdayakan tangannya untuk mengetik di depan layar komputer. Meskipun demikian, ia juga memberdayakan otaknya untuk menuangkan ide atau gagasannya sehingga terwujud tulisan kreatif dan akademik.
 
Siapa pun dapat menjadi penulis asalkan memiliki niat dan tekad yang bulat, kemudian diwujudkan dengan laku menulis. Kalau tak menghasilkan tulisan yang diekspos dan dibaca orang lain, ia bukan penulis, tetapi pengetik. Sejak Nabi Adam hingga Adam Malik, penulis terabadikan melalui karya tulisnya.

Saya salut kepada mereka yang mau dan mampu menulis di media sosial, seperti Fecebook.
Tulisan mereka umumnya berupa status untuk dibagikan kepada kawan atau sahabat. Sebagai anggota grup yang disukainya, ia mampu menulis puisi, cerpen, opini dan tulisan apa pun yang tentu saja bermanfaat bagi kawan atau sahabat. Meski tidak memperoleh honorarium pemuatan, mereka rajin mengekspos tulisannya.
 
Meski tidak memperoleh honorarium pemuatan (yang berkorelasi dengan tujuan dan manfaat ekonomis), penulis di media sosial telah mengekspos idenya melalui tulisan. Dengan demikian mereka menjangkau tujuan dan manfaat yang berkorelasi dengan aspek ekspresi, terapi, prestasi, prestise, dan dakwah. Namun, tidak sedikit dari mereka yang kemudian membukukan karya tulisnya menjadi antologi dengan berbagai variatifnya. Kemudian diterbitkan, baik oleh penerbit mayor maupun oleh penerbit indie. Buku-buku antologi karya mereka terpajang di rak-rak buku di sejumlah toko buku di seantero tanah air.
 
Penulis Murni
Apakah Anda ingin menjadi penulis murni? Nah, pertanyaan ini memerlukan pemahaman sungguh-sungguh dan mendalam. Sebab, di negeri ini penulis murni belum memperoleh penghargaan yang memadai, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Hingga akhirnya hayatnya penulis sekaliber Korrie Layun Rampan mengeluhkan betapa sangat menyakitkannya perlakuan yang ia yang terima dari penerbit. Karena royalti yang seharusnya menjadi haknya dipermainkan, dipotong, atau malah tidak diberikan.
 
Dunia perbukuan kita juga mencemaskan. Pemerintah tidak mau tahu. Tak ambil pusing. Masyarakatnya juga masih rendah tingkat gemar membacanya. Jumlah penduduk yang banyak bukan jaminan bagi kesejahteraan penulis.
 
Saya pernah menonton drama di TVRI pada tahun 1980-an yang dimainkan oleh Teater Gadak Gidik . Ceritanya masih nyantol di otak saya. Sang suami yang pekerjaannya penulis murni berkonflik dengan istrinya. Karena ekonomi rumah tangganya morat-marit. Ia mengetik tulisannya ketika genting rumahnya bocor. Air hujan mengguyur ke dalam rumah.
 
Penulis murni di negeri ini bisa dihitung dengan jari. Karena mereka memang tak banyak dan hanya mereka yang sanggup melakoninya. Misalnya  Remy Sylado, Tere Liye, Eka Kurniawan, Dewi Lstari, Andrea Herata, dan Asma Nadia. Karya tulis mereka rata-rata best seller. Nama mereka tidak asing lagi bagi masyarakat. Akan tetapi, bagaimanakah dengan para penulis dan pengarang yang namanya belum dikenal khalayak?
 
Jika diperhatikan, para penulis di Indonesia yang ;berumur panjang; dan tampak eksistensinya rata-rata bekerja di berbagai bidang. Mereka adalah dosen, guru, dokter, pegawai negeri, karyawan perusahaan, dan wartawan. Mereka memperoleh penghasilan tetap sehingga dapur rumah tangganya senantiasa mengebul.
 
Menjadi penulis terkesan gagah dan keren. Itu bagi penulis yang tak bernyali kecil dan Bermental dekil. Meskipun terseok-seok di lahan ekonomi karena tak bergelimang  uang. Jadi, berpikirlah ulang jika Anda ingin berkecimpung di bidang tulis-menulis secara total. .Jangan sampai Anda menyesal di kemudian hari. Sebab, sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tiada berguna.
 
Belajar dari Korrie
Penulis, pengarang, sastrawan, dan kritikus sastra Korrie Layun Rampan yang namanya berkibar di era 1980-an dan 1990-an, mengeluhkan betapa buruknya penghargaan yang diberikan oleh pemerintah/penerbit kepada para penulis pada saat ini. Pengakuan terbuka ini dituliskan olehnya sebagai artikel yang dimuat di Harian Kompas edisi Rabu, 11 November 2015, di rubrik, Opini, halaman 6. Judulnya “Pengarang dan Honorarium.”
 
Masygul memang setelah kita membacanya. Pada era otonomi daerah dan pasar bebas, penulis atau pengarang seolah terpuruk. Sebab pemerintah daerah tak memiliki niat baik untuk menempatkan buku sebagai kebutuhan pokok dan penting dalam pembangunan di daerahnya. Birokrasi pemda lebih terfokus membangun infrastruktur jalan, jembatan, dan gedung. Padahal, bangsa beradab layak menempatkan buku setelah sandang, pangan, dan papan, sebagai kebutuhan yang harus terpenuhi.
 
Penerbit besar juga tak mau mengambil risiko untuk menerbitkan buku yang jumlahnya di bawah sepuluh ribu eksemplar. Belum lagi sikap penerbit yang curang karena membayarkan honorarium atau royalti yang sudah disunat jumlah eksemplar yang terjual. Bahkan, banyak pula penerbit yang tak membayarkan honorarium atau royalti kepada penulis.
 
Keadaan ini tentu berbeda dengan era pemerintahan Orde Baru. Sebab pada masa ini diluncurkan Proyek Inpres Buku. Pada zaman ini penulis atau pengarang mengalami zaman gemilang. Hasil penjualan buku yang dibeli oleh pemerintah pusat oleh penulis atau pengarang dapat digunakan untuk membeli rumah, mobil, atau sawah.
 
Honorarium pemuatan tulisan atau karangan di media cetak pun tidak seberapa. Hanya satu-dua media massa cetak yang memberikan penghargaan yang memadai. Rata-rata honornya kecil. Bahkan, ada pula media massa cetak lokal yang tidak memberikan honorarium kepada penulis atau pengarang yang tulisan atau karangannya dimuat di media massa cetak lokal tersebut. Padahal honor bukan horor.
 
Dengan ratusan buku karyanya, jika Korrie Layun Rampan tinggal di Amerika Serikat, layak kaya raya. Akan tetapi, karena tinggal di negeri ini, ia masih mengharapkan subsidi untuk menulis. Ironis! Tragis!
 
Mimpi Penyair
Sudah sejak lama para pekerja seni berharap agar karyanya memperoleh penghargaan yang tinggi dari pemangku kepentingan. Ini juga tak terlepas dari seni sastra, khususnya puisi. Para penyair sering bermimpi tentang harga sebuah puisi yang nilai nominalnya mencapai jutaan rupiah.
 
Pada suatu ketika,  teman saya yang memiliki hobi suka menulis puisi menyampaikan mimpinya kepada saya. Ia bermimpi bahwa harga sebuah puisi bisa mencapai setengah miliar rupiah atau lima ratus juta rupiah. Uang yang tidak sedikit tentunya. Kami lalu berdiskusi. Kemudian saya membuka kembali ingatan, pengalaman, dan pengetahuan tentang penghargaan terhadap puisi. Banyak lembaga, baik milik pemerintah maupun swasta, yang memberikan penghargaan terhadap buku kumpulan puisi.
 
Seorang pengusaha media massa cetak nasional memberikan penghargaan terhadap buku antologi puisi yang ditulis oleh penyair pemenang lomba buku antologi puisi terbaik tiap tahun pada peringatan Hari Puisi. Nilainya kalau dijumlahkan memang ratusan juta rupiah, tetapi tidak sampai satu miliar rupiah atau lebih. Pusat Perbukuan, Badan Pembinaan Bahasa, Dewan Kesenian Jakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga memberikan penghargaan. Namun, nilainya cuma puluhan juta rupiah.
 
Beberapa grup puisi dan lembaga kesenian juga mengadakan lomba menulis puisi. Hadiahnya kalau dijumlahkan nilainya mencapai ratusan ribu rupiah. Bahkan, tidak sedikit yang tak memberikan hadiah uang tunai. Hadiah bagi para pemenang adalah pulsa dan paket penerbitan atau pembelian buku. Ada juga lomba menulis puisi yang memungut uang pendaftaran. Dengan demikian, hadiah bagi para pemenang tentu bisa mencapai jutaan rupiah. Ini tentu bisa dimaklumi karena uang yang terkumpul dari para peserta lomba tentu tidak sedikit
 
Kembali kepada hadiah setengah miliar rupiah bagi sebuah puisi yang menjadi mimpi teman saya itu. Jika puisi pemenang merupakan puisi panjang terdiri atas 500 kata, harga satu kata tentunya satu juta rupiah. Akan tetapi, jika puisi pemenang panjangnya 100 kata, harga satu kata bisa mencapai lima juta rupiah.
 
Sungguh penghargaan yang tiada terkira. Bayangkan, satu kata dalam 100 kata dalam sebuah puisi harganya lima juta rupiah. Tentu uang sebanyak itu bisa digunakan untuk menikah, membeli rumah dan kendaraan, juga umroh ke Arab Saudi. Selebihnya bisa ditabung.
 
Hadiah terbesar bagi sastrawan diberikan kepada pemenang NOBEL SASTRA pada setiap tahunnya. Pada tahun 2014 hadiahnya senilai 1,1 juta dollar US atau sekitar 11 miliar rupiah
(jika kurs satu dollar US terhadap rupiah nilainya Rp. 10.000,00). Sastrawan yang memenangi NOBEL SASTRA tentu saja telah menghasilkan banyak buku yang terdeteksi melalui rekam jejaknya dalam berkarya selama puluhan tahun.
 
Penyair Malaysia, Siti Zainon Ismail (70) dinobatkan sebagai Sastrawan Negara ke-14 Malaysia. Penulis yang menjadikan Aceh sebagai kampung keduanya tampak bahagia dan atas anugerah tersebut, Siti Zainon dapat hadiah dari negara sebesar Rp 1.88 milyar. Ini tentu hadiah yang sangat besar, apalagi bagi para penulis di Indonesia..(CakraDunia.Co, 14 November2021). Bandingkan dengan penghargaan yang diterima oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutrdji Calzoum Bachri. Pada perayaan Hari Puisi 2021 ia dinyatakan sebagai Penyair Adiluhung 2021 oleh Panitiia. Ia mendapat hadiah sebesar 40 juta rupiah. Kita memang suka bermimpi yang neko-neko atau aneh-aneh.. Opo tumon? Apakah ini hanyasebuah mimpi para penulis puisi?
 
Pajak dan Bajak
Betapa memprihatinkannya penghargaan yang diterima oleh penulis dari pemangku kepentingan, ditandai dengan penolakan Eka Kurniawan sebagai penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019, untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru. Meskipun ia  mendapat pin dan uang tunai 50 juta rupiah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Dalam  surat terbuka, bertanggal 9 Oktober 2019 (mbludus.com) Eka Kurniawan merespon pemberian hadiah tersebut dengan menulis surat terbuka. “Reaksi saya secara otomatis adalah, “Kok, jauh banget dengan atlet yang memperoleh medali emas di Asian Games 2018 kemarin?” Sebagai informasi, peraih emas memperoleh 1,5 miliar rupiah. Peraih perunggu memperoleh 250 juta. Pertanyaan saya mungkin terdengar iseng, tapi jelas ada latar belakangnya.”
 
Para penulis atau pengarang tentu layak mengeluhkan perlakuan yang diterima dari pemangku kepentingan. Selain  kena pajak, buku-buku karyanya juga kena bajak. Ini tentu sangat memprihatinkan, terutama bagi penerbit kecil  dan pengarang belum terkenal. Padahal, layaknya pemerintah memberikan perlindungan kepada mereka ini.
 
Dalam penutup surat terbukanya, Eka Kurniawan selanjutnya menulis, “Saya tak ingin menerima anugerah tersebut, dan menjadi semacam anggukan kepala untuk kebijakan- kebijakan Negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja kebudayaan, bahkan cenderung represif.”
 
Di negeri ini  penulis atau pengarang dan karyanya dirundung sepi. Tidak seperti dunia hiburan dan olah raga. Tidak ada gemuruh tepuk tangan dan gelimang uang. Sayang! Pengarang atau penulis terlihat necis. Namun, sejatinya  tragis.
 
Cibinong, 21 Mei 2022
 
====================
Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo. Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16913.
Email budiharjosukur@gmail.com
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak