Morfosintaksis Teks Akad Nikah

Artikel: Buhadi Den Anom
MORFOSINTAKSIS TEKS AKAD NIKAH

Foto oleh Michael Burrows dari Pexels


Morfosintaksis ialah perpaduan antara morfologi dan sintaksis dengan pola ritme yang erat dalam tataran lingustik yang digunakan untuk mengurai gramatikal secara bersamaan dengan mempertimbangkan kriteria morfologi dan sintaksis sekaligus.

Secara etimologi kata morphe berasal dari bahasa Yunani bermakna “ bentuk”, logos artinya ilmu. Jadi morfologi adalah ilmu bentuk atau ilmu tata bentuk. Sedangkan secara terminologi, morfologi ialah sebagai kajian tentang morfem-morfem dan pengaturannya dalam pembentukan kata. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mengkaji seluk beluk morfem dan kata.
Dalam linguistik Arab, morfologi dikenal dengan ilmu saraf atau al-tasrif yaitu perubahan bentuk asal kata menjadi bermacam-macam pola untuk mendapat makna yang berbeda, para pakar saraf memberi definisi dengan pandangan berbeda, tapi pada tataran aksi adalah sama.
Al-Kailany menyatakan tasrif (morfologi) adalah:
 
اعلم ان التصريف فى اللغة التغيير وفى الصناعة تحويل الاصل الواحد الى امثلة مختلفة لمعان مقصودة لاتحصل الا بها                                                
“Ketahuilah, bahwasannya yang dinamakan tasrif (morfologi) secara bahasa adalah perubahan. Sedangkan secara istilah adalah pengkonversian asal bentuk yang satu pada bentuk yang berbeda-beda, guna menghasilkan beberapa makna yang dimaksud, yang mana tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan bentuk yang berbeda-beda itu”.[1]
 
Syekh Musthafa Al-Ghulayainy mendefinisikan ilmu saraf atau morfologi adalah:
 
فالصرف علم باصول تعرف بها صيغ الكلمات العربية واحوالها التى ليست باعراب ولا بناء                                                                          
 “Saraf (morfologi) adalah ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengetahui pola-pola kalimat dan kondisi bentuknya” (perubahan bentuk dan kondisi tetap sebuah kata).[2]
 
Ilmu saraf dalam bahasa Indonesia disamakan dengan morfologi. Secara sederhana ilmu saraf membahas tentang perubahan-perubahan kata dari satu kata menjadi sejumlah kata yang mempunyai arti tersendiri. Sebagai contoh yakni perubahan bentuk verba  نكح “nakaha” (menikahi) menjadi berubah bentuk verba انكح “ankaha“  (menikahkan). Perubahan tersebut hanya identitas leksikalnya saja. Sedangkan status katagorinya tetap. Lain halnya dengan perubahan dari نكح menjadi ناكح (orang yang menikahi) yang berubah tidak hanya identitas leksikalnya tetapi juga status kategorialnya.

Walaupun morfologi dan saraf secara terminologi berbeda, tetapi secara fungsional sama. Keduanya sama-sama membahas proses pembentukan kata. Namun ada sedikit perbedaan antara morfologi Indonesia dan Arab. Dalam proses pembentukan katanya saraf lebih kompleks dibadingkan dengan bahasa Indonesia.

Adapun sintaksis  berasal dari bahasa Yunani yaitu “sun” artinya bersama-sama dan “tattein“ menempatkan. Sintaksis secara etimologi adalah menempatkan bersama-sama kata-kata  sehingga menjadi kelompok kalimat. Sedangkan secara terminologi adalah studi dan aturan-aturan dari hubungan kata satu sama lainnya sebagai penyatuan gagasan dan sebagai bagian-bagian dari struktur-struktur kalimat, studi dan ilmu bangun kalimat.

 Menurut Ramlan, pengertian sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.[3] Lebih sederhananya sintaksis merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji tentang struktur internal kalimat. Struktur internal kalimat yang dibahas adalah frasa, klausa, kalimat dan wacana. Dengan demikian  ada tiga tataran gramatikal  yang menjadi ranah kajian yakni, bagaimana cara pengaturan frasa, klausa, kalimat dan wacana.

Dalam bahasa Arab, pengaturan antar dalam kalimat atau antar kalimat dalam klausa atau wacana merupakan kajian ilmu nahu atau dalam istilah kontemporernya disebut gramatikal bahasa Arab atau sintaksis. Bahkan hubungan itu tidak hanya menimbulkan makna gramatikal, tetapi juga mempengaruhi struktur kalimat dan baris akhir masing-masing kata yang kemudian disebut dengan I’rab.

Dinukil dari buku Matan Jurmiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, nahu adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hukum kata bahasa Arab ketika tersusun dalam kalimat dari segi i’rab dan mabninya, termasuk sebab-sebab pembatalan hukum dan penghapusan kata ganti.[4]

Syekh Mustafa Al-Ghalayainy, pakar nahu, dalam bukunya yang bertitel Jami’u Al-Durus menjelaskan:

 والاعراب (وهو ما يعرف اليوم بالنحو) علم باصول تعرف بها احوال الكلمات العربية من حيث الاعراب والبناء 
                                                     
“Ilmu tentang prinsip-prinsip yang menjelaskan keadaan atau status  kata-kata berbahasa Arab dari segi i’rab (perubahan bentuk atau bunyi harakat pada akhir kata) dan bina’ (kondisi tetap sebuah kata).”[5]
 
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan, bahwa sintaksis mendeskripsikan bagaimana kalimat dibangun dari kosakata. Selain itu dalam sintaksis juga menjelaskan kelas kata apa yang memiliki potensi untuk menempati posisi tertentu dalam kalimat, jenis-jenis kalimat, dan perubahan kalimat. Unsur bahasa yang termasuk  di dalam sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.

Dengan berpijak pada kerangka teori inilah, struktur terjemahan teks akad nikah dianalisis dengan konstruksi berafiksasi melalui morfosintaksis. Pembahasan dimulai dengan proses morfologi “ankaha” yang berpola “af’ala” ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna “menikahkan” yang dalam bahasa Indonesia disebut mengalami berkonfiks. Sedangkan kata “zawwaja” berpola “fa’ala” bermakna “mengawinkan”. Kemudian dilanjutkan dengan analisis sintaksis pada bentuk dan fungsi konstruksi tersebut dalam struktur kalimat “Ankahtuka ibnati fatimah” sebagai cuplikan mini dari struktur teks akad nikah.

Hal terpenting ketika hendak merangkai dan menyusun kata menjadi kalimat efektif, maka kehadiran morfosintaksis  sangat menentukan dalam penempatan preposisi, konfiks, sufiks, dan kata kerja dalam struktur teks akad nikah, sehingga antara penutur dan mitra tutur terjadi kepahaman makna dan efek yang ditimbulkannya.

Morfosintaksis untuk mengetahui perubahan morfologi morfem dan kata sekaligus fungsi, kategori, dan peran kata dalam struktur kalimat. Terkait kajian ini hanya fokus dan dibatasi pada morfemis kata “ankaha” dan “zawwaja” sebagai sentral kalimat dalam teks akad nikah.

Intinya morfologi dan sintaksis adalah satu kesatuan komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sebagaimana diketahui morfosintaksis lebih mengacu pada pembagian kelas-kelas kata dan fungsi, kategori, dan peran.      
 
Proses Morfologis Ankaha dan Zawwaja

Proses morfologis kata “ankaha” yang dibentuk dari kata “nakaha”. Dalam bahasa Arab ada dua prinsip dasar yaitu akar dan pola. Secara struktur dan semantik, leksikon bahasa Arab berkaitan dengan akarnya. Maksud dari akar adalah akar sebuah kata. Kata nakaha mempunyai asal na, ka, ha. Dari asal ini nantinya akan melahirkan beberapa pola atau bentuk kata. Contoh kata nakaha berubah ankaha dengan pola wazan af’ala. Pada saat sebuah kata mengalami pola lain, sebenarnya ia telah mengalami proses morfologis.

Proses morfologis ada dua fungsi yaitu fungsi gramatik dan fungsi semantik. Fungsi gramatik adalah fungsi yang berhubungan dengan ketatabahasaan, sedangkan fungsi semantik adalah fungsi yang berhubungan dengan makna. Proses morfologis pada kata “ankaha ini mempunyai dampak makna gramatikal dan makna morfologis. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh maka diperlukan alat untuk mengurai morfologis verba “ankaha” dengan  dua pendekatan. Di antaranya dengan pendekatan morfofonemik dan morfosemantik. Pendekatan morfofonemik digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan fonem dalam proses morfologi, misalnya kata “nakaha” menjadi “ankaha”. Berbeda dengan morfofonemik, pendekatan morfosemantik digunakan untuk mengkaji struktur morfologi berikut makna yang terkandung dalam struktur tersebut.

Proses morfemis dalam kajian ini adalah pada teks akad nikah yang fokus pada kata انكح (ankaha) dan زوّج  (zawwaja) yang menjadi titik sentral pemaknaan yang mempunyai dampak gramatik pada terjemahan teks akad nikah yang diterjemahkan ke bahasa indonesia. Maka untuk menghasilkan makna gramatikalnya harus mengikuti bentuk pola (wazan) agar nampak maknanya. Nakaha, yankihu, nikahan yang berarti nikah atau menikahi.[6] Dengan pola af’ala kata nakaha menjadi ankaha dapat diketahui bahwa perubahan kata nakaha menjadi ankaha dalam proses morfofonemik ini, ialah dengan penambahan fonem hamzah qath’i. Begitu pula dalam proses makna  morfosemantiknya menimbulkan makna yang berbeda pula dari bentuk asalnya, kecuali dari struktur morfologisnya sedari awal nakaha adalah kata kerja transitif. Dengan pola diatas, saya hanya ingin memastikan bahwa verba انكح masuk katagori dalam fi’il muta’addi (yang butuh pada dua objek).

Adapun pola tersebut diantaranya pola افعل, pola ini dibentuk dengan menambahkan prefiks hamzah qath’i di awal kata yang berimplikasi mengandung makna benefaktif. Contoh, saya menikahkan Fatimah kepada Ali.

Sedangkan pola فعّل, ditandai dengan modho’af penggandaan huruf tengah pada akar kata. Dan makna yang dikandungnya adalah benefaktif dan kausatif. Contoh زوج   (mengawini),  زوّج  (mengawinkan). Maka dengan demikian pola  افعل  dan  فعّل  dapat membentuk kalimat kata kerja aktif transitif (muta’addi) yaitu butuh kepada dua objek juga.

Muta’addi (verba aktif transitif) ada kalanya butuh kepada satu objek (ekatransitif) atau dua objek (dwitransitif). Verba aktif ekatransitif adalah kalimat verba yang berobjek dan tidak berkelengkap yang mempunyai tiga unsur wajib yakni subjek, predikat, dan objek.
Coba perhatikan tabel di bawah ini

Ekatransitif

Dwitransitif

1.     Zainuddin menikahi Zaenab

 

2.     Saya memakan nasi.

1.    Ibu menawarkan Rina kue lapis

 

2.     Saya menikahkan Fatimah kepada Ali.

 

 
Verba aktif ekatransif pada contoh kalimat di atas masing-masing adalah menikahi dan memakan. Di sebelah kiri tiap-tiap verba itu berdiri subjeknya dan di sebelah kanan adalah objeknya. Dalam kalimat aktif ekatransitif urutan kata dalam kalimatnya adalah subjek, predikat dan objek. Tentu saja ada unsur tidak wajib seperti keterangan tempat, waktu dan alat, yang dapat ditambahkan pada kalimat ekatransitif. Adapun kalimat verba aktif dwitransitif adalah kalimat aktif yang mengandung unsur-unsur objek dan pelengkap sekaligus.

Pada kalimat aktif dwitransitif (1) Ibu (subjek) menawarkan (predikat) Rina (objek) dan Kue lapis (pelengkap). Kalimat dwitransitif seperti di atas umumnya dinamakan makna peruntung atau benefaktif. Adapun kalimat aktif dwitransitif (2) Saya (objek) menikahkan (predikat) Fatimah (objek)  dan kepada Ali (komplemen atau pelengkap). Dan kalimat dwitransitif seperti ini bermakna benefaktif. Misalnya, seperti teks akad nikah “Saya menikahkan Fatimah kepada Ali”. Menikahkan yakni; “melakukan perbuatan akad nikah untuk orang lain" dengan makna benefaktif.

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini akan menentukan makna yang dimaksud dalam sebuah tuturan, oleh karena itu dalam bahasan afiksasi bahasa Indonesia ini dibatasi pada proses afiksasi pada konfiks “me-kan” dan  sufiks akhiran “kan”.
Fungsi konfiks me-kan ialah untuk membentuk kata kerja aktif transitif. Adapun makna konfiks me-kan salah satunya adalah benefaktif. Sedangkan sufiks atau akhiran-kan merupakan imbuhan yang ditempatkan di bagaian akhir tanpa adanya awalan dari sebuah kata yang salah satu fungsinya membentuk kata kerja pasif zero. Terkait dengan kata “nikah” yang dalam tata bahasa Indonesia ketika mendapat imbuhan awalan  “me” dan  mendapat imbuhan akhiran “kan” secara morfologis berfungsi sebagai pembentuk kata kerja aktif transitif yang mempunyai makna benefaktif (melakukan pekerjaan untuk orang lain).

Perbandingan frasa menikahkan dan nikahkan dalam struktur kalimat terjemah ijab teks akad nikah antara penerjemahan dengan menggunakan strategi struktural dan semantis yang berbasis logika hukum tauliyah dengan terjemahan  tanpa strategi struktural dan semantis yang tidak berbasis logika hukum tauliyah misalnya, contoh berikut ini:
 
Format (1).
 
 Ijab wali (Bapak kandung): “Ananda Muhammad putra bapak Saleh saya menikahkan dan saya mengawinkan kamu dengan putriku yang bernama Fatimah dengan maskawin uang seribu rupiah dibayar tunai”.
 
Format (2).
 
 Ijab wali (Bapak kandung): “Ananda Muhammad putra bapak Saleh saya nikahkan dan jodohkan Fatimah putri kandungku kepadamu dengan maskawin uang seribu rupiah dibayar tunai”.
 
Dari contoh format (1) dalam pengggunaan frasa “menikahkan” secara konstruksi bertumpu pada kata berimbuhan me-kan. Adapun menggunakan kata  yang berimbuhan me-kan dalam struktur kalimat terjemahan teks akad nikah pada frasa menikahkan yang terbingkai dalam contoh format (1) dengan memperhatikan bahwa me- membentuk berita dari bentuk verba aktif transitif dengan -kan. Artinya frasa menikahkan secara semantika makna berpotensi mengandung ihtimal (kemungkinan) bahwa akad itu sudah terjadi atau belum terjadi. Tegasnya verba ankaha yang berwazan af’ala adalah fi’il madhi tapi terjemahan leksikalnya berpotensi makna fi’il mudhori’ dengan arti “menikahkan”. Maka dengan demikian, tidak ada ketegasan makna dalam isi konten redaksi terjemah ijab akad nikah jika menggunakan frasa menikahkan. Ini yang menjadi kurang diperhatikan bagi seorang penerjemah dalam menggali endapan makna  untuk menuju keberakuratan, keterbacaan dan keberterimaan makna dalam tuturan terjemah ijab akad nikah bahasa Arab ke bahasa Indonesia.

Lantas bagaimana dengan format (2) yang menggunakan frasa “nikahkan” dalam terjemahan redaksi ijab nikah. Secara konstruksi frasa “nikahkan” bertumpu pada kata berakhiran “kan” yang berfungsi kausatif yang dalam konteks terjemah redaksi teks akad nikah terstruktur fungsi  kalimat menjadi pasif zero. Seperti contoh kalimat “saya nikahkan fatimah putri kandungku kepadamu”. Ini lebih tegas penekanan maknanya. Coba perhatikan contoh tabel di bawah ini:
 
 

Kalimat Aktif Transitif

Kalimat Pasif Zero

Saya menikahkan

Fatimah putri kandungku kepadamu.

Saya nikahkan

Fatimah  putri kandungku kepadamu.

 
Contoh pada tabel kalimat aktif transitif “ Saya (S) menikahkan (P) Fatimah putri kandungku (O) kepadamu (Pelengkap). Dan contoh kalimat “saya nikahkan fatimah putri kandungku”. Saya (Objek pelaku/O2) nikahkan (P) Fatimah putri kandungku (S) kepadamu (Objek penyerta/O3). Struktur kalimat seperti ini disebut kalimat pasif zero.

Proses kalimat pasif zero ialah dengan rumus O2/objek pelaku harus berdampingan dengan predikat tanpa disisipi kata lain, ingat awalan “di” pada predikat harus dihilangkan dan kalau ada kata konjungsi  langsung letakkan saja di awal, jika tidak maka kalimat tersebut tidak termasuk kalimat baku. Dan kalimat pasif zero bercirikan predikatnya berakhiran “kan” dan tanpa awalan. Tatkala dilihat dari segi bentuk morfologisnya, kalimat pasif zero merupakan bentuk pasif yang menghilangkan ciri khas yang dimiliki bentuk pasif yang terdapat di dalam bahasa Indonesia. Artinya, pada kalimat pasif zero tidak terdapat ciri morfologis verba seperti penggunaan afiks yang terdapat dalam kalimat pasif biasa, tujuannya untuk ketegasan makna. Yang dimaksud dengan ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan penonjolan pada ide pokok kalimat. Dalam sebuah kalimat ada ide yang perlu ditonjolkan. Kalimat itu memberi penekanan atau penegasan pada penonjolan itu.

Yang dimaksud dengan penegasan dalam kalimat adalah upaya pemberian aksentuasi, pementingan atau pemusatan perhatian pada salah satu unsur atau bagian kalimat agar unsur atau bagian kalimat itu dengan mudah dipahami oleh penutur atau mitra tutur. Misalnya, penggunaan verba “nikahkan dan jodohkan” pada terjemahan teks akad nikah.

Menurut Syekh Zainuddin al-Malibari, tidak setiap bahasa selain bahasa Arab dapat dijadikan lafaz nikah, baik untuk ijab atau kabul. Akan tetapi ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh bahasa tersebut. Adapun syarat yang harus melekat pada bahasa selain bahasa Arab di antaranya ialah: Pertama, bahasa yang benar-benar menunjukkan terjemah ijab dan kabul akad nikah secara jelas. Kedua, bahasa tersebut dipahami oleh orang-orang yang melakukan akad nikah (mempelai pria. Wali, atau wakil keduanya, dan kedua orang saksi). [7]

Penggunaan kata kerja nikahkan dan jodohkan telah memenuhi syarat yang diajukan Syekh Zainuddin al-Malibari, dalam konteks bahasa Indonesia kedua kata tersebut mudah dipahami. Penggunaan diksi nikahkan dan jodohkan menimbulkan kesan gerak, melukiskan tindakan. Efektivitas dan efesiensi penggunaan frasa nikahkan dan jodohkan terasa lebih tegas dan padu dalam konteks terjemahan teks akad nikah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Dengan konstruksi nikahkan dan jodohkan, maka struktur kalimat terjemah teks akad nikah lebih tegas maknanya.
 
Sintaksasis Ahkahtuka Ibnati Fatimah

Dalam kajian ini, memfokuskan pada dimensi struktur kalimat. Fungsi yang harus ada dalam suatu struktur kalimat sangat bergantung pada tipe verba yang menjadi pengisi predikat. Secara umum dapat dibedakan adanya predikat yang diisi oleh verba melakukan, verba kejadian, verba keadaan, dan verba  nomina (nomina yang menduduki fungsi predikat). Keempat tipe ini menentukan fungsi-fungsi yang harus hadir, serta makna-makna apa yang dimiliki. Selanjutnya lafaz (انكحتك ابنتي فاطمة) dalam kajian sintaksis dapat kita deskripsikan secara detail dan teliti.

Untuk mengurai makna gramatikal struktur kalimat di atas yang menggunakan bahasa Arab, maka langkah pertama yang harus dipahami adalah  mengetahui struktur kalimatnya harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab tentunya, karena redaksinya menggunakan bahasa Arab.

Oleh karena itu, dengan pendekatan Bait Alfiya Ibnu Malik, sebagai analogi verbal dengan kesamaan struktur pada kalimat( اعطيتك درهما )  sebagai pembanding untuk memudahkan pemahaman secara komprehensif dengan harapan memperoleh pemahaman struktur kalimat, makna gramatikal yang utuh dan dapat menghasilkan makna yang diinginkan oleh penutur maupun mitra tutur yakni keberakuratan, keberterimaan,  dan keterbacaan makna.

Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik dalam karya monumentalnya, menjelaskan tentang rumus fi’il muta’addi (kata kerja yang butuh pada objek). Beliau mengungkai secara detail dengan dentuman nadham bait alfiyah  secara tegas dan cara pengaplikasiannya sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
 
والاصل سبق فاعل معنى كمن * من البسن من زاركم نسج اليمن

“Pada dasarnya ketentuan asal adalah mendahulukan maf’ul bih (objek) yang menjadi fa’il (subjek) secara maknawi, seperti “man” dari rangkaian kalimat “albisun man zarakum nasja al-yamani” البسن من زاركم نسج اليمن  (sungguh pakaikanlah kepada orang yang berziara kepada kalian tenunan Yaman)”.
 
Ketentuan asal adalah mendahulukan maf’ul bih yang secara makna menjadi fa’il. Ini kasusnya ketika ada fi’il yang memiliki dua maf’ul, yang mana salah satu maf’ulnya adalah fa’il secara makna, tapi secara lafaz dia maf’ul. Dan maf’ul yang lainnya   menjadi maf’ul  secara lafaz sekaligus secara makna. Misalnya,  lafaz "من"   maf’ul  yang secara makna menjadi fa’il, tapi secara lafaz menjadi maf’ul pula. Maka secara ketentuan asal peletakannya didahulukan. Sedangkan  نسج اليمن  maf’ul yang secara makna dan secara lafaz juga maf’ul. Tapi boleh didahulukan نسج اليمن  dan mengakhirkan lafadz  "من" itu tidak masalah. Artinya secara struktur kalimat boleh di bolak balik obyeknya selama belum ada suatu hal yang mewajibkannya. Dalam hal ini yang wajib didahulukan adalah maf’ul yang secara makna berstatus  sebagai subjek (maf’ul bi makna fa’il). Selanjutnya, Ibnu Malik menyatakan tentang objek yang secara makna sebagai subjek tetapi secara tingkat kalimat sebagai objek.
 

ويلزم الاصل لموجب عري * وترك ذاك الاصل حتما قد يرى
“Wajib memenuhi asal karena perkara yang mewajibkan. Adapun meninggalkan ketetuan asal tersebut secara wajib itu terkadang diperhatikan”.

Bahwa ketika ada  fi’il  yang mempunyai dua maf’ul bih, yang mana salah satu maf’ul bihnya secara makna adalah fa’il. Sedangkan maf’ul yang lain secara lafaz dan makna menjadi maf’ul. Maka ketentuan asal adalah mendahulukan maf’ul yang secara makna adalah fa’il. Tapi boleh juga maf’ul yang secara makna menjadi fa’il diakhirkan asal tidak ada kesalahpahaman. Kemudian ketentuan asal ini menjadi wajib, jika ada perkara yang menuntut bahwa maf’ul yang secara makna fa’il didahulukan. Seperti contoh kalimat berikut; ( اعطيتك درهما ) ini maf’ulnya (objeknya) yang secara makna adalah subjek, maka wajib didahulukan posisinya.

Secara analogi lafaz ( اعطيتك درهما ) kita bandingkan dengan lafaz ( انكحتك ابنتي فاطمة    ). Secara struktur kalimat lafaz “a’thoituka dirhaman” yang memiliki dua maf’ul (objek). Maf’ul pertama dhamir mukhtab ”ka” (engkau), yaitu seorang laki-laki. Maf’ul kedua adalah ”Dirham” tepatnya nama uang. Dalam struktur kalimat diatas ”ka” memiliki tingkat posisi sebagai maf’ul (objek) dari dhamir mutakallim ”tu” sekaligus menjadi subjek dari kata “Dirham” secara makna. Kemudian Dirham juga berkedudukan sebagai objek (maf’ul) dari dhamir mutakallim “tu” sekaligus  sebagai subjek dari “ka”. Dengan pemahaman, bahwa “ka” sebagai  pihak yang mengambil “Dirham” yaitu objek yang diterimakan subjek kepada “Dirham”. Secara struktur kalimat, seperti ini tidak diperbolehkan mengakhirkan “ka”. Misalnya, “a’thoitu dirhaman ka” Karena objek yang pertama isim dhamir dan objek kedua isim dlahir. Maka secara tingkat wajib didahulukan, seperti contoh “a’thoituka dirhaman” karena sesuai ketentuan asal, dan biar tidak ada kesalahpahaman. Demikian pula dengan lafaz        (انكحتك ابنتي فاطمة) secara struktur kalimat sama dengan lafaz (اعطيتك درهما). Dalam konteks sintaksis Arab, fi’il (kata kerja) yang memiliki dua maf’ul memiliki dua kondisi. Ada yang wajib  mendahulukan salah satu maf’ulnya, ada pula yang menyebutkannya secara bebas, sehingga di antara dua maf’ul yang ada tidak disyaratkan tertib.

Struktur kalimat yang wajib mendahulukan maf’ul (objek) yang bermakna fa’il dikarenakan berkumpulnya maf’ul bih isim dhomir muttashil dan isim dhohir serta khawatir ada kesalahpahaman dalam peletakan posisinya. Konkretnya seperti struktur kalimat  (انكحتك ابنتي فاطمة)dalam perkataan tersebut  lafadz( انكح )  fi’il madhi muta’adhi (transitif) yang butuh kepada dua maf’ul (butuh kepada dua objek). Dan  dhomir mutaharrik marfu’ (tu/ت mutakallim wahda sebagai fa’il yakni wali) dhomir ka/ك  (calon suami) adalah maf’ul  (objek)   pertama, sedangkan  (ابنتي فاطمة) calon pengantin wanita adalah maf’ul kedua. Dalam struktur kalimat seperti contoh ini, tidak dapat dibolak-balik, karena harus mengikuti ketentuan asal. Tapi dalam setiap bahasa memiliki kaidah atau aturan tersendiri, aturan bahasa arab terkadang berbeda dengan bahasa Indonesia. Misalnya dalam bahasa arab ada beberapa jenis kata kerja yang memiliki dua maf’ul (objek) yaitu seperti lafaz ankaha dan zawwaja.

Dari dua contoh di atas, menurut kaidah bahasa arab secara struktur kalimat yang harus didahulukan adalah yang menjadi objek tapi berposisi sebagai pelaku ialah (فاعل فى المعنى).  Artinya dari sisi makna maf’ul awal ini sebenarnya fa’il, orang yang menikahi calon istri, yang disebut (الاخذ للزوجة). Namun secara lafaz ia sebagai objek. Pun demikian dengan kalimat (اعطيتك درهما)  secara struktur kalimat sama. Maksudnya struktur kalimat yang seperti ini  dalam format bahasa Arab, tidak bisa di bolak balik posisi objeknya secara tulisan. Sebab secara kaidah masuk kategori yang wajib mendahulukan objek yang pertama. Jadi secara struktur kalimat sudah sesuai dengan kaidah bahasa Arab sebagaimana ketentuan kaidah bait alfiyah di atas. Namun tatkala menerjemahkan teks akad nikah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia agar maknanya sesuai dengan bahasa sasaran, maka harus menggunakan strategi struktural dan semantis dengan teknik taqdim wa takhir (transposisi) dan tabdil (modulasi) yakni mendahulukan objek yang kedua dan mengakhirkan objek yang pertama serta pergeseran leksikal dan struktural. Artinya dalam menerjemahkan objek yang pertama diposisikan di tempat objek yang kedua. Demikian pula objek yang kedua diposisikan di tempat objek yang pertama dalam terjemahannya agar tidak menyalahi logika hukum tauliyah. Dan pergeseran struktural dari aktif ke pasif guna penegasan makna. Demikian juga teknik modulasi leksikal guna mengungkap makna yang natural sehingga makna gramatikalnya lebih keberakuratan, keterbacaan, dan keberterimaan. Sebagai tamsil coba perhatikan contoh kalimat  di bawah ini:

a.    اعطيتك درهما  (Saya berikan uang dirham kepadamu. Bukan saya berikan kamu kepada uang dirham).
 
b.    بعتك هذا الغنم  (Saya jual kambing ini kepadamu. Bukan saya jual kamu kepada kambing ini.
c.    انكحتك ابنتي فاطمة  (Saya nikahkan Fatimah putri kandungku kepadamu. Bukan saya nikahkan kamu kepada Fatimah putri kandungku).

Selanjutnya dengan tamsil kalimat pemerinci di atas, dapat juga dipahami struktur teks akad nikah dengan konstruksi bahasa Arab tidak ada persoalan menurut kaidah bahasa Arab. Tetapi tatkala diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka harus mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Karena dalam menerjemahkan bentuk tidak harus dipertahankan, namun makna atau isi pesan tidak boleh diubah.
 
Fungsi Kategori dan Peran Sintaksis

Teks akad nikah dalam kajian sintaksis meliputi fungsi, kategori, dan peran yang harus ada dalam struktur teks akad nikah untuk mengetahui seluk-beluk struktur kalimat. Dalam kajian ini akan diurai terjemahan teks akad nikah bahasa Indonesia adalah hasil periksa makna bahasa Arab menuju makna bahasa sasaran yakni bahasa Indonesia. Dalam bahasan ini akan diurai dari aspek fungsi, kategori, dan peran sintaksis bahasa Indonesia terhadap struktur kalimat teks akad nikah dengan pembacaan baru terjemah teks akad nikah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yang berbasis logika hukum tauliyah. Adapun hasil terjemahan tersebut adalah:

Ijab nikah oleh wali sendiri
 
“Ananda Muhammad putra bapak Saleh, saya nikahkan dan jodohkan Fatimah putri kandungku kepadamu dengan maskawin uang seribu rupiah dibayar tunai”.
 
Secara fungsi kalimat redaksi; Ananda Muhammad putra bapak Saleh (Keterangan) Saya (O2/Objek pelaku) nikahkan dan jodohkan (P) Fatimah putri kandungku (S) kepadamu (O3/Objek penyerta).
Sedangkan secara kategori; Ananda Muhammad putra bapak Saleh (Frasa nomina) saya (Nomina) nikahkan dan jodohkan (Verba) Fatimah putri kandungku (Frasa nomina) kepadamu (Frasa preposisional) dengan maskawin uang seribu rupiah dibayar tunai (Frasa preposisional).
Namun tatkala ditinjau dari segi peran dan tugas yang sesuai dengan situasi dan kondisi; Ananda Muhammad putra bapak Saleh (Pelaku) saya (Pelaku) nikahkan dan jodohkan (Perbuatan) Fatimah putri kandungku (Sasaran perbuatan) kepadamu (Peruntung) dengan maskawin uang seribu rupiah dibayar tunai (Alat).
 
Kabul nikah oleh pengantin pria tanpa diwakilkan
 
“Saya terima nikah dan jodoh Fatimah putri kandung bapak...dengan maskawin uang seribu rupiah dibayar tunai”.

Adapun secara fungsi kalimat adalah; Saya (Subjek) terima (Predikat) nikah dan jodoh Fatimah putri kandung bapak.......(Objek) dengan maskawin tersebut dibayar tunai ( Keterangan).

Sedangkan dari segi kategori ialah; Saya (Nomina) terima (Verba) nikah dan jodoh Fatimah putri kandung bapak.......(Frasa Adjektiva) dengan maskawin tersebut dibayar tunai ( Frasa Nomina).
Namun tatkala ditinjau dari segi peran yaitu; Saya (Pelaku) terima (Perbuatan) nikah dan jodoh Fatimah putri kandung bapak....(sasaran perbuatan) dengan maskawin tersebut dibayar tunai (alat).
Perlu ditegaskan kembali, bahwa secara fungsi kalimat redaksi terjemah teks akad nikah “Saya nikahkan dan jodohkan fatimah putri kandungku kepadamu”  adalah kalimat pasif zero yang predikatnya tidak berimbuhan awalan, namun hanya berimbuhan akhiran “kan”. Objek pada kalimat ini adalah objek pelaku yang didampingi predikat berimbuhan akhiran “kan” saja. Tidak sedikit para pembelajar bahasa Indonesia menduga bahwa kalimat pasif zero ini merupakan kalimat imperatif yang melepaskan subjek kalimat. Hal itu terjadi karena adanya pengacauan antara fungsi objek dan peran objek. Jadi, intinya kalimat aktif transitif boleh diubah menjadi pasif zero selama ada alasan yang mutlak yakni guna penegasan makna.

Walhasil, dapat dijelaskan bahwa kata “ankaha” adalah kata kerja (verba) transitif atau dalam lingustik arab disebut fi’il mutaaddi dengan mendapat awalan hamzah qat’i dalam proses morfemisnya yang dapat mengubah makna gramatikalnya. Begitu pula, dengan kata “zawwaja” yang mendapat imbuhan berupa infiks penggandaan huruf tengahnya yang berimplikasi pada makna gramatikalnya pula. Dan secara peran, subyek tidak mesti sebagai pelaku, dan obyek juga tidak mesti sebagai penderita. Tapi tergantung sesuai situasi dan tugas peran masing-masing kalimat, karena selama ini yang kita pahami yang namanya objek pasti objek penderita, padahal tidak demikian, adakalanya sebagai penerima, alat, hasil, dan lain sebagainya. Begitu pula subjek yang kita pahami selama ini, pasti sebagai pelaku. Padahal tidak demikian, adakalanya sebagai penerima bahkan sebagai pengalaman dan lain sebagainya. Demikian pula, peran predikat adakalanya sebagai perbuatan, keadaan, keberadaan, pengenal, jumlah, dan pemerolehan.

Lantas apa perbedaan antara “menikahkan” dan “nikahkan” dalam konteks struktur kalimat terjemah teks akad nikah?. Perbedaannya hanya terletak pada ketegasan makna. Simpulannya, bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks. Sedangkan bahasa yang benar ialah bahasa yang sesuai dengan kaidah. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus dapat efektif menyampaikan maksud kepada lawan bicara. Begitu pula dalam penggunaan redaksi teks akad nikah harus efektif dan tidak mengesampingkan kaidah bahasa.

Berdasar hal itu, maka untuk efektivitas dan efisiensi kalimat dalam terjemah teks akad nikah yang berbasis logika hukum tauliyah yang memenuhi standar derajat yang baik adalah redaksi ijab nikah “Saya nikahkan dan jodohkan Fatimah putri kandungku kepadamu dengan maskawin uang seribu rupiah dibayar tunai”. Dan redaksi kabulnya ialah “saya terima nikah dan jodoh fatimah putri kandung bapak.......dengan maskawin tersebut dibayar tunai”.

Oleh karena itu, penghulu sebagai insan pelaku akad nikah khususnya dan sebagai warga negara umumnya, kita harus dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini bukan berangkat dari ruang kosong, tapi berdasarkan pada UU Nomor 24 Tahun 2009 pasal 33 ayat 1 menyatakan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan pemerintah dan swasta. Dan Perpres Nomor 63 Tahun 2019  pasal 2 ayat 3 menjelaskan tentang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbahasa Indonesia yang baik berarti bahwa kita harus menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan konteks yang selaras dengan nilai sosial masyarakat dan benar yaitu sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Termasuk menggunakan terjemah teks akad nikah bahasa Indonesia harus dengan redaksi yang baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia adalah merupakan tuntutan bagi pelaku akad nikah. Intinya apa yang ditawarkan dalam tulisan ini, dapat dijadikan rujukan dalam pelaksanaan akad nikah dan sebagai solutif terhadap bias makna terjemah teks akad nikah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.
 

                    Teori dan Hasil Penerjemahan Teks Akad Nikah


[1] Al-Kailany Maktabah Sahabat Ilmu, hal 2.
[2] Jami’u Al-Durus Al-Arabiyah, hal 8
[3] Ramlan, M. Morfologi suatu tinjauan deskriptif (CV.Karyono2009), hal. 1
[4] Matan Al-Jurmiyah, cet. Usaha keluarga semarang, hal 2.
[5] Jami’u Al-Durus Al-Arabiyah, cet. Daru Al-Kutub, hal 8
[6] Kamus Munawir, hal 1461
[7] I’anatu Al-Tholibin, hal 318, juz 3, cet. Darul Fikr


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak