Lock Down, Look
Down, dan lain-lain
Oleh
Syukur Budiardjo
Sebuah istilah yang sekarang ini populer di
seantero jagad seiring dengan mengglobalnya wabah virus corona ialah istilah lock down. Maka lahir pula sederet
istilah dan kata yang berkaitan dengan itu. Covid-19, corona, social distancing, physical distancing,
disinfektan, work from home (wfh),
dan pandemi.
Selain itu lahir pula sejumlah istilah yang
khas Indonesia. Misalnya Pasien dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala
(OTG), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pembatasan Sosial Berskala
Lokal (PSBL), protokol kesehatan, Alat Pelindung Diri (APD), Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM),
dan Orang dalam Pantauan (ODP). Istilah wabah, cuci tangan, jaga jarak,
masker, dan di rumah saja ikut meramaikannya.
Lock Down = Dikucilkan
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kondisi
dan situasi di Wuhan, China, pada saat pandemi atau wabah corona mulai merebak,
seperti kota mati atau kota hantu. Jalan-jalan lengang. Toko-toko dan
kantor-kantor tutup. Sekolah dan kampus juga tutup karena pelajar dan
mahasiswanya diliburkan. Akses transportasi umum seperti pesawat terbang,
kereta api, dan bus tidak ada. Padahal saat itu orang-orang dari seluruh
penjuru bumi mudik. Mereka hendak merayakan tahun baru Imlek
Orang-orang dilarang bepergian. Mereka tak
dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Hanya melakukan apa saja di dalam
kamar atau rumah. Mereka bertahan di kompleks perumahan, asrama, atau apartemen
tempat mereka tinggal.Tentu saja mereka tak pernah melepas masker yang menutup
hidung dan mulutnya. Mereka harus mematuhi aturan lock down yang diberlakukan pemerintah China.
Lock down bermakna kuncian atau terisolasi atau dikucilkan. Mereka yang
berada di wilayah yang terlock down
tidak akan mendapat akses keluar-masuk atau bepergian ke wilayah mana pun.
Tujuannya agar mereka tidak tertular dan menularkan penyakit. Ketika masa
pandemi Covid-19 atau wabah corona mengglobal, banyak negara di belahan bumi
ini melaksanakan kebijakan lock down
demi keselamatan warganya.
Sampai ke
Indonesia
Wong A Siu tinggal di Wuhan, China, tak
menyadari bahwa ia telah tertular virus corona. Wong A Siu menghadiri resepsi
keluarga atas undangan sahabatnya Kokoromotomo di Tokyo, Jepang. Kokoromotomo
tertular virus corona. Kokoromotomo berkunjung ke Jakarta sekadar berpesiar. Hobinya
yang blusukan dan keluyuran ke tempat-tempat hiburan malam
menularkan virus corona kepada penyanyi kelab malam.
Bunga – sebut saja demikian nama penyanyi di
kelab malam tersebut – tertular virus corona. Bunga sakit karena imunitas
tubuhnya lemah. Suhu tubuhnya sangat tinggi, empat puluh derajat celcius.
Demam. Selain itu, ia juga batuk-batuk dan kepalanya pusing. Hidungnya tak
mampu lagi mencium aroma sate padang yang sedang dibakar dan aroma ikan asin
yang sedang digoreng. Setelah diperiksa oleh dokter melalui tes swab dipastikan bahwa Bunga positif
menderita Covid-19. Karena Bunga seorang penyanyi berwajah cantik, ia disukai
oleh banyak lelaki yang menjadi pelanggan kelab malam tersebut.
Mereka yang sempat berkomunikasi dengan Bunga,
sebelum ia menyadari mengidap Covid-19, Pak Edi, bos perusahaan transportasi
bus, Pak Mulyo, manajer bank swasta terkenal, dan Pak Rudi, seorang pengacara
di ibukota, juga tak menyadari telah tertular Covid-19 dari Bunga. Begitu
seterusnya hingga Covid-19 menyebar dan menular ke mana-mana tanpa bisa diputus
mata rantainya. Sampailah Covid-19 ke Indonesia. Seluruh wilayah di negeri ini
dilanda pandemi corona.
Look Down =
Ndingkluk
Di buku Sedang
TUHAN pun Cemburu (Refleksi Sepanjang Jalan) (Yogyakarta: Sipress, 1994,
halaman 12 – 15) yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib saya menemukan istilah look down. Dalam tulisannya yang
berjudul “Look Up atawa nDangak, Look
Down atawa nDingkluk” Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa jabatan adalah
salah satu pos terpenting untuk peristiwa ndangak-ndingkluk.
Padahal, aslinya rakyat itu posisinya tertinggi. Kedaulatan rakyat itu lebih
tinggi dibanding kedaulatan pemerintah. “Pemerintah itu pembantu rumah tangga
negaranya rakyat.” Jadi ndangak-ndingkluknya
terbalik.
Pos yang lain dari keharusan ndangak-ndingkluk misalnya adalah
satuan-satuan status sosial yang lain, umpamanya gelar, pendidikan, kekayaan,
atau mungkin juga ras. Orang yang punya gelar (akademis ataupun kebangsawanan)
selalu dianggap di atas rata-rata. Dengan demikian manusia rata-rata bersikap ndangak kepalanya. Tak peduli apakah ia
punya fungsi atau reputasi yang sesuai dengan gelarnya atau tidak.
Sementara itu, orang biasa yang tak punya jabatan,
gelar, pendidikan, kekayaan, atau mungkin ras tertentu, cuma bisa look down atau ndingkluk. Mereka tak bisa look
up atau ndangak. Apa boleh buat.
Lauk Daun
= ?
Pandemi Covid-19 atau wabah virus corona
mendorong orang-orang yang memiliki kreativitas mencoret-coret tembok dengan cat pylox meninggalkan tanda tertentu.
Penyekatan atau penutupan gang di suatu tempat saat ini dipasangi papan yang
dibubuhi kata-kata “lauk daun”.
Mungkin maksudnya lock down. Namun, lidah kita lebih akrab dengan lauk daun. Jangan salah paham dengan
ungkapan ini. Tidak terbayang di kepala saya ketika kita sedang makan siang
atau sarapan pagi dengan lauk daun pisang,
apalagi daun pintu. (Di rumah makan
padang kita biasa menyantap daun singkong).
Ternyata wabah virus corona juga memberikan
pengaruh bagi penggunaan bahasa Indonesia. Ada-ada saja. Kita memang kreatif.
Arogansi
Xi Ping
“Tidak ada kekuatan yang dapat mengguncang
pondasi negara besar ini,” kata Xi dalam naskah pidato berbahasa Mandarin, yang
diterjemahkan secara resmi oleh media pemerintah, dikutip dari CNBC, Selasa (1/10/2019).
“Tidak ada kekuatan yang bisa menghentikan
orang-orang China dan bangsa China untuk terus maju,” lanjutnya pada pidato HUT
yang ke-70 Kemerdekaan RRC. Dengan percaya diri yang berlebihan tampak Xi Ping
menunjukkan arogansinya kepada dunia.
Empat bulan setelah pernyataan itu keluar dari
mulut orang nomor satu di China, virus corona merebak. Pejabat resmi Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya Covid-19.
Tepat pada tahun baru China, Imlek, 25 Januari
2020, China diguncang monster corona. Mereka tak dapat merayakan malam tahun
baru seperti pada tahun-tahun sebelumnya yang berlangsung meriah setelah para
perantau dari seluruh penjuru bumi mudik ke kampung halamannya.
Wuhan. Di sana monster corona diduga berasal.
Kelelawar yang mereka konsumsi ternyata terinfeksi corona. Lalu Wuhan ditutup.
Bagaikan kota hantu atau kota mati, tak ada lalu lalang manusia dan kendaraan.
Semua moda transportasi berhenti.Mereka bersembunyi di kamar. Melakukan aktiviitas
di rumah.
Seperti Pageblug
Seperti pageblug,
dongeng yang pernah saya dengar dari ibu ketika saya masih kanak-kanak, corona
terus merangsek. Menjarah ke mana-mana. Hampir tak ada negara di dunia ini yang
lolos dari incaran corona. Semua orang ketakutan.
Pageblug? Semacam wabah penyakit yang menakutkan. Karena pada pagi hari
seseorang sakit, sore harinya meninggal. Jikalau sore hari mereka sakit, pagi
harinya mereka menemui ajal.
Suami kelilangan istri. Istri kehilangan
suami. Anak kehilangan orang tua. Orang tua kehilangan putra atau putrinya.
Orang-orang kehilangan sanak saudaranya. Di seluruh pelosok dunia, korbannya
mencapai sangat mencemaskan.
Di negeriku, petingginya kebingungan, antara
menutup sebuah kota atau tidak. Bagaikan makan buah simalakama. Jika tidak
ditutup, orang-orang akan mati. Jika ditutup, perekonomian mati.
Orang-orang di negeriku juga sulit diatur.
Sudah ada perintah dari pejabat kesehatan agar mereka tinggal di rumah, tetapi
mereka nekat bepergian. Monster corona mendapat kesempatan menjelajah ke
mana-mana menularkan virusnya.
Sudah puluhan dokter dan perawat yang
meninggal dunia karena tertular corona dari pasien yang dirawat di berbagai
rumah sakit. Sebuah tragika yang mengkhawatirkan dan mengenaskan. Menakutkan
dan menyedihkan.
Covid-19 mener or siapa pun. Di kelas sosial
mana pun. Kaya-miskin. Di kota dan di desa. Rakyat biasa juga pejabat
berpengaruh. Tak peduli, wabah corona mengincar tanpa tebang pilih atau tandpa
pandang bulu. Setiap saat terdengar bunyi sirine ambulans.
Sementara itu, mobil ambulans menyibak gerimis
pagi. Bunyi sirine meraung tak henti-henti. Mobil dikawal pak polisi. Meminta
sedikit ruang dari pengguna jalan untuk berlari. Di dalamnya terdapat peti
mati. Berisi jenazah yang meninggal malam tadi.
Ketika masih hidup almarhum adalah seorang
pejabat. Virus corona menyerangnya hingga sekarat. Ia tak tertolong hingga
hidupnya pun tamat. Apa boleh buat. Meski semua diupayakan kuat-kuat. Nyatanya
hidup hanya menunda kiamat.
Di sepanjang perjalanan dari rumah sakit
jenazah hanya diam membisu. Cuma arwahnya yang meratap dan menangis pilu.
“Kenapa mobil mewahmu tak membawamu?” Begitu suara-suara gaib bertanya tanpa
ragu. Sebuah pertanyaan yang mengharu biru.
“Mengapa Tuan, ketika hayat masih dikandung
badan, Tuan mati-matian mencari sesuatu yang tak dibawa mati, hingga Tuan kini
berada di dalam peti mati?” Begitu suara-suara gaib bertanya bertalu-talu.
Seolah pertanyaan yang membelenggu.
Apakah almarhum dikebumikan di taman makam
corona? Tidak demikian tentunya. Ia dimakamkan di tanah keluarga. Di samping
rumahnya yang seperti istana. Hingga istri dan anaknya dapat menjenguknya kapan
saja.
Hal-hal
Ganjil
Pandemi Covid-19 menimbulkan hal-hal yang
ganjil di negeri ini. Ini tampak dari tanggapan masyarakat dan pemerintah
terhadap wabah corona. Perilaku dan cara berpikir yang aneh muncul sehingga
berakibat kontraproduktif.
Corona menjadi kambing hitam ketika berita
duka menyelimuti sebuah keluarga. Orang yang meninggal dunia karena bukan
terinfeksi virus corona, dicap pula sebagai korban wabah corona. Padahal mereka
sakit jantung, asam lambung, atau stroke.
Para narapidana yang telah menjalani dua
pertiga hukuman, dilepas dari penjara. Rupanya monster corona mampu membuat
orang-orang kehilangan aka sehatnya. Lumpuh berpikir logisnya.
Pengambilan secara paksa jenazah korban
terinfeksi virus corona oleh keluarga korban terjadi di berbagai rumah sakit.
Penghadangan mobil ambulans yang membawa jenazah korban virus corona, juga
terjadi di banyak tempat.
Tes Covid-19 digalakkan di mana-mana. Ada yang
dibiayai oleh anggaran pemerintah dan ada pula yang dibiayai oleh masyarakat
sendiri. Tes Covid-19, seperti tes antigen dan PCR, dan surat keterangan bebas Covid-19
terindikasi menjadi ladang bisnis yang menggiurkan.
Para pencoleng ekonomi. dan spekulan dagang
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Harga masker melonjak seribu persen.
Kita tak tahu hingga kapan wabah corona
meneror penduduk bumi. Kita juga tak tahu kapan obat dan vaksin virus corona
ditemukan pada saat itu. Namun, sekarang ini telah ditemukan vaksin. Pensusuk
Republik ini layaknya telah mengikuti vakdin pertama dan kedua, juga vaksin booster. Hal-hal ganjil yang
mempengaruhi pola pikir dan perilaku kita, senantiasa muncul ke permukaan
sebagai dampak pandemi Covid-19.
Sementara itu, tersebutlah di dalam berita di
televisi dan media sosial YouTube,
para penjual obat anti corona. Konon mereka telah menemukannya. Padahal, para
ahli farmakologi sedang mengembangkan usahanya untuk membuatnya ketika itu.
Penjual obat pertama menawarkan obat herbal
berupa cairan di dalam botol kecil. “Dengan rajin meminumnya, daya tahan tubuh
akan terjaga,” katanya. “Virus corona menjadi tak berdaya. Mati dan lenyap”,
katanya lagi. Namun, harganya mahal sekali. Tak terjangkau oleh masyarakat
kebanyakan. Konon penemunya bergelar profesor.
Penjual obat kedua menawarkan kalung anti
corona. Berbahan pokok kayu putih. “Dengan mengenakan kalung ajaib ini, virus
corona tak dapat mendekat”, katanya. “Si virus akan menyingkir”, katanya lagi.
Tak disebutkan berapa harga kalung anti corona ini. Mungkin mahal, mungkin
murah, bisa jadi. Konon penemunya bergelar menteri.
Penjual obat ketiga menawarkan pengobatan
alternatif. “Buah kelapa hijau menjadi medianya. Setelah dibelah, diambil air
kelapanya”, katanya. “Dengan meminum air kelapa hijau dan diiringi pembacaan
ayat-ayat suci, virus corona tak menyambangi seseorang”, katanya lagi. Harganya
terjangkau siapa saja. Konon penemunya bergelar haji.
Rupanya apa yang ditawarkan oleh para penjual
obat anti corona hanya spekulasi belaka. Sebab para ahli obat di seantero jagat
sedang bereksperimen di laboratorium. Mereka berusaha keras menemukan vaksin
dan obat anti corona.
Namun, sekarang ini kita bisa tersenyum
setelah vaksin dan obat anti-corona telah ditemukan. Vaksinasi massal diadakan
di berbagai tempat dan kapan saja. Meskipun demikian, kampanye 5 M (Lima
Em): Memakai masker; Mencuci tangan; Menjaga jarak; Menghindari kerumunan;
dan Mengurangi mobilitas, layaknya masih
harus selalu kita perhatikan.
Kita tidak boleh abai karena pandemi Covid-19
belum dinyatakan endemi oleh pemerintah. Demikianlah.
Cibinong, 28 Mei i 2022
====================
Syukur
Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di
DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan
Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor
sejumlah antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki
Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda
Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di
Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru
(2018). Akun Facebook,
Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo. Email
budiharjosukur@gmail.com.Tinggal di Cibinong,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16913.