Cerpen Ramli Lahaping
Ayam Jago
Betapa
senangnya Dudung sepulang dari pasar menjelang sore. Ia berhasil mendapatkan
sebotol obat luka dan obat penguat untuk ayam jantannya setelah memenangkan
persambungan sehari sebelumnya. Ia ingin agar ayam jagonya itu segera pulih dan
bugar untuk ia tarungkan kembali. Apalagi, ia lebih mengandalkan ayamnya
tersebut dibanding seekor ayamnya yang lain.
Namun
tiba-tiba, kegembiraan Dudung terusik. Ia jadi kelimpungan setelah menyaksikan sekantong
pakan ayam cadangannya yang sisa seperempat bagian, yang ia gantung di sudut
ruang keluarga rumahnya, telah hilang entah di mana. Itu karena diam-diam, ia
telah menyembunyikan lima butir mutiara hasil penyabungannya di tengah
biji-biji jagung tersebut.
Sungguh,
Dudung tak pernah menyangka kalau penempatan mutiaranya itu akan mendapat gangguan.
Ia sudah sangat yakin kalau langkah penyembunyian di tengah rumahnya itu akan
aman dari tangan orang-orang jahat. Pun, ia yakin itu aman dari campur tangan istrinya
yang memang enggan mengurusi persoalan ayam-ayamnya.
Tetapi
akhirnya, ia tak sanggup dan tak pantas juga menuding siapa-siapa sebelum ia
menyelidiki istrinya sendiri. Apalagi, mereka memang hanya tinggal berdua.
Sebab itulah, dengan perasaan dan pikiran yang kacau, ia segera menemui sang
istri di dapur. Ia berharap saja kalau sang istri hanya memindahkan sekantong
pakan berisi mutiara itu, tanpa sempat mengetahui rahasianya.
Aib
Dudung itu memang mesti selamat dari pengetahuan istrinya. Kalau sang istri
tahu, ia pasti akan mendapatkan berondongan pertanyaan. Padahal, ia sendiri tak
mungkin sanggup untuk jujur bahwa mutiara itu adalah hasil yang ia dapatkan
dari persambungan ayam dan akan kembali ia gunakan untuk bertaruh dengan para
warga nelayan yang lain, yang beberapa memang pencari atau pembudidaya kerang
mutiara.
Sampai
akhirnya, ia bertanya menuding dengan perasaan waswas, "Ibu taruh di mana sekantong
jagung pakan ayamku di depan?"
Sang
istri yang tengah mencuci piring kemudian menjawab dengan santai, "Sudah
aku berikan ke ayam-ayam jago Bapak."
Dudung
sontak mengeluh, "Aduh, kenapa Ibu pakai jagung itu? Kalau Ibu mau kasih
pakan ke mereka, kan ada yang tergantung di dekat kurungannya." Ia lantas
mendengkus lesu. "Lagi pula, pemberian pakan ke ayam-ayam itu, kan urusanku,
Bu. Seharusnya Ibu tidak mengurusinya."
"Ya,
apa salahnya kalau aku kasih pakan ke mereka, Pak? Apalagi, Bapak hampir
seharian di pasar, dan kukira Bapak baru akan pulang saat malam, jadi aku
kasihkan saja makanan sore untuk mereka lebih cepat,” jawab sang istri, sembari
membilas piring. "Soal pakan itu, aku kira jagung di kantongan dekat
kurungan sudah habis. Jadi aku pakai yang di depan. Lagi pula, apa masalahnya?
Toh, sama saja, kan?"
"Ah...!
Masalahnya adalah...," Mulut Dudung tersekat. Ia tak kuasa mengungkapkan
rahasianya sendiri. Ia lantas mengulik dengan balik bertanya, "Apa Ibu
memberikan semua pakan ayam itu untuk mereka?"
"Iya.
Memangnya kenapa?" tanya balik sang istri, kemudian menyusun piring-piring
hasil cuciannya di atas rak.
"Apa
Ibu tidak menemukan sesuatu di antara biji-biji jagung itu?" selidik
Dudung lagi, di tengah kekagokannya menggali informasi.
Sang
istri pun berbalik badan dan menatapnya dengan raut kebingungan. "Sesuatu
apa, Pak? Jagung-jagung itu aku sebar saja ke dalam kurungan ayam-ayam Bapak,
dan aku tidak melihat apa-apa selain biji jagung."
Dudung
sontak jadi makin kalut. Ia lantas menelan segenap tanyanya demi menjaga
rahasianya. "Ah, sudahlah. Yang pasti, aku peringatkan Ibu, jangan lagi mengurusi
persoalan ayam-ayamku itu. Pokoknya, jangan!"
Sang
istri pun memampang wajah keheranan.
Tanpa
berkata-kata lagi, Dudung lalu beranjak menuju ke halaman belakang rumahnya
untuk menengok keadaan di sekitar ayam-ayamnya.
Sesaat
kemudian, Dudung sampai di samping dua kurungan ayamnya. Ia lantas menilik-nilik
ke dalam kurungan tersebut untuk mencari-cari butiran mutiaranya, tetapi ia tak
juga menjumpainya. Ia kemudian menggeser posisi kurungan tersebut beserta
ayamnya untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, namun hasilnya tetapi nihil.
Akhirnya,
untuk beberapa waktu, ia duduk saja sambil memikirkan langkah pencariannya. Perlahan-lahan,
ia pun menduga kalau barangkali butiran mutiaranya telah dilahap ayam-ayamnya
sendiri. Meski ia menilai kalau kebenaran kemungkinan itu kecil, tetapi ia
merasa kalau itu bukan berarti tidak mungkin. Bisa saja ayam-ayamnya berlaku
edan hingga mematuk dan menelannya.
Karena
itu, ia kemudian memutuskan untuk menyela-nyela tahi ayamnya. Kalau butiran
mutiara tersebut memang telah ditelan oleh ayam-ayamnya, pastilah akan keluar
lewat kotoran-kotoran itu. Namun akhirnya, ia kembali kecewa, sebab setelah
berkutat dengan perihal yang menjijikkan, ia tak juga menemukan apa yang ia
cari.
Selama
sekian waktu kemudian, ia kembali berpikir. Tetapi lama-lama, ia tak menemukan
upaya lain selain memeriksa langsung isi pencernaan kedua ayam kesayangannya
itu, yang berarti ia mesti menyembelih mereka. Karenanya, ia lantas
membandingkan harga antara lima butir mutiara dengan dua ekor ayam tersebut.
Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengorbankan ayamnya demi mutiaranya yang
lebih bernilai, sambil berniat membeli ayam pengganti nantinya.
Namun
untuk sementara waktu, ia tak mau gegabah. Ia merasa sepatutnya bersabar dengan
menempuh jalan tengah yang tak berisiko terlebih dahulu. Ia memutuskan untuk menunggu
sampai hari berganti, sampai kedua ayamnya benar-benar selesai mencerna seluruh
makanannya. Ia menaksir kalau barangkali ayam-ayamnya memang belum membuang
kotoran yang beserta butiran mutiaranya tersebut.
Tetapi
di ujung pagi hari ini, ia ternyata tak juga mendapatkan mutiara-mutiaranya di
antara tahi ayam-ayamnya. Benda-benda tersebut seolah-olah tersangkut di dalam
sistem pencernaan mereka. Karena itu, ia pun memantapkan tekad untuk
benar-benar menyembelih mereka. Tanpa menunggu waktu, ia lantas memanggil
istrinya untuk benar-benar menunaikannya.
"Bantu
aku menyembelih dua ayam ini," kata Dudung kemudian, setelah istrinya
datang.
"Kenapa
disembelih, Pak? Bukankah itu ayam-ayam kesayangan Bapak, yang kata Bapak
dahulu baik untuk menjadi pejantan bagi ayam-ayam betina Bapak?" tanya
sang istri, dengan raut heran.
Dudung
lantas mendengkus keras. “Keduanya sudah sangat tua dan berbobot untuk disembelih.
Besok-besok, aku akan beli pejantan pengganti,” balasannya, dengan nada datar yang
masih menyiratkan kekesalan. "Sudah. Ibu bantu saja. Tak usah banyak
tanya. Bukankah Ibu sedari dahulu memang ingin makan daging ayam kampung?"
Sang
istri pun mengangguk. "Baiklah, Pak."
Sesaat
kemudian, kedua ayam tersebut dibawa ke titik penjagalan. Sang istri bertugas
memeganginya, dan Dudung bertugas menyembelihnya. Dan akhirnya, keduanya pun
tewas.
Untuk
urusan selanjutnya, Dudung menyanggupi untuk membersihkannya, sembari meminta
sang istri beranjak untuk mengurusi perbumbuan. Di tengah sendirinya itu, ia pun
mengeluarkan organ-organ pencernaan kedua ayamnya tersebut. Dengan rasa penasaran,
ia lantas membelah bagian tembolok, lambung kelenjar, ampela, dan ususnya
secara keseluruhan.
Namun
lagi-lagi, ia kecewa berat, sebab ia tak juga menemukan butiran mutiaranya. Ia
pun jadi kalut karena ia telah kehilangan butiran mutiaranya sekaligus kedua ayam
jagonya.
Perlahan-lahan,
pikirannya sampai pada kemungkinan yang jauh, bahwa ada orang yang telah iseng
menilik ke dalam kurungan ayamnya, lantas melihat dan mengambil mutiaranya. Siapa?
Ia sendiri tak punya bayangan.
Sejenak
berselang, ia pun mulai bertanya-tanya, kalau barangkali istrinya tengah
mempermainkannya. Tetapi ia ragu sendiri atas kemungkinan itu, sebab ia tahu
kalau istrinya adalah seseorang yang lugu, jujur, dan penurut.
Sampai
akhirnya, ketika hari sudah malam, ia dan istrinya duduk berhadapan untuk
bersantap. Di atas meja, telah tersaji daging ayam dalam bentuk masakan atau
gorengan yang tampak lezat.
Tetapi
untuk itu, Dudung seolah kehilangan selera. Ia tak pernah membayangkan bahwa ia
akan menyantap ayam kesayangannya sendiri.
"Eh,
kenapa diam saja, Pak? Ayo makan. Aku yakin, Bapak pasti suka," ajak sang
istri.
Dudung
pun mendengkus lesu, lantas mencicipi sajian dengan perasaan terpaksa.
"Bagaimana,
Pak. Masakanku enak, kan?" tanya sang istri kemudian.
Dudung
mengangguk saja sembari mengunyah malas.
Diam-diam,
sang istri jadi sangat bahagia. Jauh lebih bahagia ketimbang hari-hari
sebelumnya, sebab rencana besarnya telah berhasil sempurna.***

Ramli Lahaping. Kelahiran
Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog
pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com).
Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Telah menulis cerpen
berjudul “Pedagang Kebencian” yang berhasil menjadi salah satu Cerpen Terpilih
pada Malam Anugerah Ngewiyak Vol, 26 Maret 2022. I. Bisa dihubungi melalui
Instagram (@ramlilahaping).
Foto oleh Julia Volk / pexels.com