Cerpen Dian Candra Senopati - Ngabula

Cerpen Dian Candra Senopati
NGABULA

Foto oleh lalesh aldarwish dari Pexels


 
“Entara ka ghabayya Bu Sri?,”
 
Engghi ten, lemmalem polana andi’ kolongan laen bula,” timpal Suhartini pada Mahyani yang bertanya di sebuab partelon.
 
Warga seluruh kampung diundang sang tuan rumah. Mereka datang berbondong-bondong memenuhi hajat di Desa Kembang Langit. Ibu Sri adalah orang terpandang di kampung kami. Meskipun dia seorang wanita, relasinya tidak dapat diragukan lagi. Dia juga dikenal ramah dan murah senyum kepada siapa saja.
 
Ribuan undangan yang datang satu persatu memberikan selamat kepada kedua mempelai. Malna terlihat anggun dengan baju parukat warna putih dibalut samper leres batek malate, wajahnya sempurna dengan mahkota dikepalanya. Sedangkan suaminya, memakai baju yang senada. Mereka terlihat pas dan serasi. Siapa yang tidak kenal dengan Malna, gadis cantik yang diperebutkan banyak lelaki di kampung kami.
 
Gamelan tayub terdengar lamat-lamat. Gawe pernikahan anak ibu Sri berlangsung meriah siang itu. Hari yang spesial bagi Malna dengan suaminya, Gerhana.
 
Di kampung kami, sudah menjadi tradisi perayaan perkawinan selalu ada yang namanya tayub. Pun di hari perkawinan Malna dengan suaminya. Undangan yang hadir melebur dengan bunyi kalenengan dan gending-gending pilihan. Penjhung, ompangan dan polean menjadi ritual pakem sebagai pelengkapnya.
 
Wajah Malna terlihat berseri-seri. Senyum ranum menghiasi bibirnya yang bergincu merah muda. Bulu mata lentik, jari tangan berhiaskan Hena putih. Mereka berdua sempurna di atas koadi. Lampu gemerlapan menambah keanggunan dua pasangan yang siap berlayar di sebuah perahu tak berair.
 
Tapi dari itu semua, ada yang bergetar hebat di tubuh Malna. Detak jantungnya bergetak hebat. Tidak seperti biasanya. “Kenapa debar jangungku tidak seperti biasanya?,” gumam Malna. Perlahan tangannya dipegang erat Gerhana.
 
“Kamu kenapa? kenapa terlihat gelisah,” tanya Gerhana sambil memegang tangan perempuan yang sudah sah jadi istrinya.
 
“Tidak tahu mas, debar jantungku tidak seperti biasanya,” kata Malna, sambil memandang mata suaminya.
 
“Ya sudah, baca shalawat. Biar kamu tenang,” sambil tersenyum gerhana memandang wajah cantik istrinya itu.
 
Perhelatan Tayub dan gending-gending pilihan sudah hampir usai. Undangan sebagian terlihat sudah ada yang pamitan untuk pulang. Selain itu undangan dari luar kampung terus berdatangan. Sebagian dari mereka menghampiri koadi Malna dengan suaminya mengucapkan selamat dan berswa foto.
 
Waktu terus berlalu, sinden tayub terus bergoyang, melipat waktu, mendekatkan jarak pandang sepasang mata Malna dan Gerhana. Hari hampir usai. Matahari perlahan kembali keperaduan. Acara masih tinggal separuh lagi, ceramah adat yang akan disampaikan keae kampong. Acara tersebut akan berlangsung ba’da shalat Isya’.
 
Malna dan suaminya langsung masuk kedalam kamar, tempat mereka edandani. “Kamu kenapa terlihat gelisah tadi di atas koadi,” tanya Gerhana ke Malna.
 
“sudahlah mas, nanti aku akan cerita kepadamu,” jawabnya singkat.
 
Adzan isya’ di Masjid berkumandang, itu pertanda ceramah adat sebentar lagi akan dimulai. Undangan sudah ada yang datang untuk menyimak ceramah adat yang akan disampaikan keae kampong.
 
Malna dengan Gerhana kembali dipersilahkan duduk kembali ke singgasana (koadi). Kali ini dengan balutan kain merah jambu dipadukan dengan pernak-pernik berlian kristal yang membuat tubuh Malna seakan mengeluarkan gemerlap cahaya. Semua mata tertuju padanya.
 
Di ceramah itu, keae kampong menganjurkan keduanya untuk puasa Senin Kamis, setiap Jumat manis juga berpuasa, dengan harapan memperoleh keturunan yang shaleh-salehah. Semua yang hadir menyimak ceramah adat tersebut dengan saksama dan penuh khidmat.
 
Selesai acara itu Ibu Sri memanggil Malna dan suaminya.
 
“Malna, Malna, ajak suaminya makan dulu,” ucap
ibu Sri.
 
Malam baru menginjak pukul 21.00 WIB. para undangan kebanyakan sudah pada pulang setelah menyimak ceramah adat. Selain itu ada sebagian tetangga dan kerabat yang masih sibuk merapikan perabotan, kursi, lamak dan teker.
 
Sebagai sepasang sejoli yang sudah ditakdirkan bersama, sehidup semati di ranjang bersama, mengarungi dingin dan gelapnya malam. Gerhana tidak pernah bosan memandang wajah Malna.
 
“Kamu kenapa memandangku seperti itu mas?,” tanya Malna heran sambil tersenyum kepada suaminya.
 
“Apa tidak boleh memandang wajah istriku yang cantik ini?,” jawab Gerhana sambil membalas senyum Malna.
 
“Cepat makan gih, selepas itu mandi, segala sesuatunya sudah aku siapkan,”
 
Tek. Lampu kamar dihidupkan oleh Malna, tempat tidur bertabur kelopak mawar. Wewangian memenuhi kamar mereka. Di pojok kamar terlihat tumpukan kado-kado yang diberikan undangan dan sahabat kedua mempelai. Di samping ranjang yang dipenuhi taburan kelopak mawar merah ada lemari tulit. Duduklah Malna disitu, dipeluklah Malna oleh Gerhana. Nafasnya serasa dikejar api.
 
“Mas, tunggu dulu,” Malna menoleh kearah suaminya.
 
“Ada apa?,” kata Gerhana terheran.
 
“Aku takut untuk melakukan ini mas,” kata Malna memandang dalam mata suaminya.
 
“Aku tidak berpengalaman melakukannya, soalnya aku pernah baca buku, ada yang meninggal saat melakukan hal ini, mas. Itu yang membuat aku semakin takut mas,” Malna tertekun.
 
Hemz, Gerhana memegang kedua tangan istrinya. “Tidak akan meninggal, percaya sama mas,” katanya menyakinkan.
 
“Mas dulu juga pernah baca buku pengantar kayak gitu,” lanjutnya mencairkan suasana ketakutan Malna.
 
“Memangnya pernah baca buku apa kamu mas?,” Malna penasaran.
 
“Sini duduk disimping mas, dengerin mas akan bercerita,” mintanya ke Malna untuk duduk disampingnya sambil tersenyum penuh keseriusan.
 
“Dulu waktu masih di Pondok, mas beli buku. Semacam buku pengantar pra nikah gitu. Mas kan tidak banyak tahu soal buku yang layak dibaca atau tidak. Lagi pula mas bukan kutu buku kan, kamu tahu sendiri. Lepas itu mas bawa ke pondok, lalu mas baca buku itu diteras pondok. Bener menggoda untuk terus membacanya. Tak lama setelah itu, aku tidak sadar kalau ada pak kiai. Kemudian beliau bertanya ke mas, buku apa yang mas baca?. Lalu mas Jawab, bukunya Fredy S. Lalu, peaarrrrrrr…mas ditampar,” ucap Gerhana.
 
“Itu buku jorok mas. Buku itu tidak layak dibaca untuk kalangan milenial seperti kita,” tegas Malna sambil menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya.
 
“tahu gak, keesokan harinya mas nonton Gigolo. Hebat kan mas kan?. Setelah itu mas diskorsing satu semester oleh pak kiai,” lanjut Gerhana.
 
“iiiiiihhhh, jorok amat kamu mas, masak kamu gitu sih, aku tidak tahu lo, kamu kayak gitu orangnya,” kesal Malna sambil mencubit lengan Gerhana.
 
“Bercanda, dari tadi mas bercanda sayang. Biar permaisuriku yang cantik ini tidak murung lagi, biar perempuan hebatku ini tidak takut lagi,” sambil memandangi dan mengelus kepala Malna.
 
“Gimana kalau aku tetap takut mas?,” tanya Malna sekali lagi.
 
“Kan ada mas, ngapain takut,” balas Gerhana.
 
Dikalahkanlah jarak yang membentang di antara mereka. Jam dinding terus berputar menuliskan ketakutan Malna yang benar-benar terlaksana. Ketakutan yang membuatnya gelisah tak menentu di atas singgasananya. Malam yang mengekalkan gerimis kabut-kabut. Dari letupan bibir mereka adalah doa perkawinan yang langit.
 
Bersama itu pula, masih tersimpan rapat cerita panjang yang belum sempat Malna utarakan pada lelaki yang menyudahi kemaraunya malam itu. Cerita akan tetap tersimpan rapat. Serapat kecupan bibir keduanya di malam pertama mereka.
 
Pelawad|2021
 
 
Dian Candra Senopati adalah penulis lepas yang lahir di keresidenan Sumenep. Saat ini tinggal dan menetap di Jakarta Selatan. Aktif menulis puisi, cerpen dan artikel sejak uring-uringan di sekolah menengah atas. Aktif menjadi warga binaan AJI (Aliansi Jomblo Indonesia).
 
 
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak