Cerpen Dian Candra Senopati
“Entara
ka ghabayya Bu Sri?,”
“Engghi
ten, lemmalem polana andi’ kolongan laen bula,” timpal Suhartini pada
Mahyani yang bertanya di sebuab partelon.
Warga
seluruh kampung diundang sang tuan rumah. Mereka datang berbondong-bondong
memenuhi hajat di Desa Kembang Langit. Ibu Sri adalah orang terpandang di
kampung kami. Meskipun dia seorang wanita, relasinya tidak dapat diragukan
lagi. Dia juga dikenal ramah dan murah senyum kepada siapa saja.
Ribuan
undangan yang datang satu persatu memberikan selamat kepada kedua mempelai.
Malna terlihat anggun dengan baju parukat warna putih dibalut samper
leres batek malate, wajahnya sempurna dengan mahkota dikepalanya.
Sedangkan suaminya, memakai baju yang senada. Mereka terlihat pas dan serasi.
Siapa yang tidak kenal dengan Malna, gadis cantik yang diperebutkan banyak
lelaki di kampung kami.
Gamelan tayub terdengar
lamat-lamat. Gawe pernikahan anak ibu Sri berlangsung meriah siang itu. Hari
yang spesial bagi Malna dengan suaminya, Gerhana.
Di
kampung kami, sudah menjadi tradisi perayaan perkawinan selalu ada yang namanya
tayub. Pun di hari perkawinan Malna dengan suaminya. Undangan yang hadir
melebur dengan bunyi kalenengan dan gending-gending pilihan. Penjhung,
ompangan dan polean menjadi ritual pakem sebagai
pelengkapnya.
Wajah
Malna terlihat berseri-seri. Senyum ranum menghiasi bibirnya yang bergincu merah
muda. Bulu mata lentik, jari tangan berhiaskan Hena putih. Mereka berdua
sempurna di atas koadi. Lampu gemerlapan menambah keanggunan dua pasangan
yang siap berlayar di sebuah perahu tak berair.
Tapi
dari itu semua, ada yang bergetar hebat di tubuh Malna. Detak jantungnya bergetak
hebat. Tidak seperti biasanya. “Kenapa debar jangungku tidak seperti
biasanya?,” gumam Malna. Perlahan tangannya dipegang erat Gerhana.
“Kamu
kenapa? kenapa terlihat gelisah,” tanya Gerhana sambil memegang tangan
perempuan yang sudah sah jadi istrinya.
“Tidak
tahu mas, debar jantungku tidak seperti biasanya,” kata Malna, sambil memandang
mata suaminya.
“Ya
sudah, baca shalawat. Biar kamu tenang,” sambil tersenyum gerhana memandang
wajah cantik istrinya itu.
Perhelatan Tayub dan gending-gending pilihan
sudah hampir usai. Undangan sebagian terlihat sudah ada yang pamitan untuk
pulang. Selain itu undangan dari luar kampung terus berdatangan. Sebagian dari
mereka menghampiri koadi Malna dengan suaminya mengucapkan
selamat dan berswa foto.
Waktu
terus berlalu, sinden tayub terus bergoyang, melipat waktu,
mendekatkan jarak pandang sepasang mata Malna dan Gerhana. Hari hampir usai.
Matahari perlahan kembali keperaduan. Acara masih tinggal separuh lagi, ceramah
adat yang akan disampaikan keae kampong. Acara tersebut akan
berlangsung ba’da shalat Isya’.
Malna
dan suaminya langsung masuk kedalam kamar, tempat mereka edandani.
“Kamu kenapa terlihat gelisah tadi di atas koadi,” tanya Gerhana ke Malna.
“sudahlah
mas, nanti aku akan cerita kepadamu,” jawabnya singkat.
Adzan
isya’ di Masjid berkumandang, itu pertanda ceramah adat sebentar lagi akan
dimulai. Undangan sudah ada yang datang untuk menyimak ceramah adat yang akan
disampaikan keae kampong.
Malna
dengan Gerhana kembali dipersilahkan duduk kembali ke singgasana (koadi).
Kali ini dengan balutan kain merah jambu dipadukan dengan pernak-pernik berlian
kristal yang membuat tubuh Malna seakan mengeluarkan gemerlap cahaya. Semua
mata tertuju padanya.
Di
ceramah itu, keae kampong menganjurkan keduanya untuk puasa
Senin Kamis, setiap Jumat manis juga berpuasa, dengan harapan memperoleh
keturunan yang shaleh-salehah. Semua yang hadir menyimak ceramah adat tersebut
dengan saksama dan penuh khidmat.
Selesai
acara itu Ibu Sri memanggil Malna dan suaminya.
“Malna,
Malna, ajak suaminya makan dulu,” ucap
ibu
Sri.
Malam
baru menginjak pukul 21.00 WIB. para undangan kebanyakan sudah pada pulang
setelah menyimak ceramah adat. Selain itu ada sebagian tetangga dan kerabat
yang masih sibuk merapikan perabotan, kursi, lamak dan teker.
Sebagai
sepasang sejoli yang sudah ditakdirkan bersama, sehidup semati di ranjang
bersama, mengarungi dingin dan gelapnya malam. Gerhana tidak pernah bosan
memandang wajah Malna.
“Kamu
kenapa memandangku seperti itu mas?,” tanya Malna heran sambil tersenyum kepada
suaminya.
“Apa
tidak boleh memandang wajah istriku yang cantik ini?,” jawab Gerhana sambil
membalas senyum Malna.
“Cepat
makan gih, selepas itu mandi, segala sesuatunya sudah aku siapkan,”
Tek.
Lampu kamar dihidupkan oleh Malna, tempat tidur bertabur kelopak mawar.
Wewangian memenuhi kamar mereka. Di pojok kamar terlihat tumpukan kado-kado
yang diberikan undangan dan sahabat kedua mempelai. Di samping ranjang yang
dipenuhi taburan kelopak mawar merah ada lemari tulit. Duduklah
Malna disitu, dipeluklah Malna oleh Gerhana. Nafasnya serasa dikejar api.
“Mas,
tunggu dulu,” Malna menoleh kearah suaminya.
“Ada
apa?,” kata Gerhana terheran.
“Aku
takut untuk melakukan ini mas,” kata Malna memandang dalam mata suaminya.
“Aku
tidak berpengalaman melakukannya, soalnya aku pernah baca buku, ada yang
meninggal saat melakukan hal ini, mas. Itu yang membuat aku semakin takut mas,”
Malna tertekun.
Hemz,
Gerhana memegang kedua tangan istrinya. “Tidak akan meninggal, percaya sama
mas,” katanya menyakinkan.
“Mas
dulu juga pernah baca buku pengantar kayak gitu,” lanjutnya mencairkan suasana
ketakutan Malna.
“Memangnya
pernah baca buku apa kamu mas?,” Malna penasaran.
“Sini
duduk disimping mas, dengerin mas akan bercerita,” mintanya ke Malna untuk
duduk disampingnya sambil tersenyum penuh keseriusan.
“Dulu
waktu masih di Pondok, mas beli buku. Semacam buku pengantar pra nikah gitu.
Mas kan tidak banyak tahu soal buku yang layak dibaca atau tidak. Lagi pula mas
bukan kutu buku kan, kamu tahu sendiri. Lepas itu mas bawa ke pondok, lalu mas
baca buku itu diteras pondok. Bener menggoda untuk terus membacanya. Tak lama
setelah itu, aku tidak sadar kalau ada pak kiai. Kemudian beliau bertanya ke
mas, buku apa yang mas baca?. Lalu mas Jawab, bukunya Fredy S. Lalu,
peaarrrrrrr…mas ditampar,” ucap Gerhana.
“Itu
buku jorok mas. Buku itu tidak layak dibaca untuk kalangan milenial seperti
kita,” tegas Malna sambil menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya.
“tahu
gak, keesokan harinya mas nonton Gigolo. Hebat kan mas kan?. Setelah itu mas
diskorsing satu semester oleh pak kiai,” lanjut Gerhana.
“iiiiiihhhh,
jorok amat kamu mas, masak kamu gitu sih, aku tidak tahu lo, kamu kayak gitu
orangnya,” kesal Malna sambil mencubit lengan Gerhana.
“Bercanda,
dari tadi mas bercanda sayang. Biar permaisuriku yang cantik ini tidak murung
lagi, biar perempuan hebatku ini tidak takut lagi,” sambil memandangi dan
mengelus kepala Malna.
“Gimana
kalau aku tetap takut mas?,” tanya Malna sekali lagi.
“Kan
ada mas, ngapain takut,” balas Gerhana.
Dikalahkanlah
jarak yang membentang di antara mereka. Jam dinding terus berputar menuliskan
ketakutan Malna yang benar-benar terlaksana. Ketakutan yang membuatnya gelisah
tak menentu di atas singgasananya. Malam yang mengekalkan gerimis kabut-kabut.
Dari letupan bibir mereka adalah doa perkawinan yang langit.
Bersama
itu pula, masih tersimpan rapat cerita panjang yang belum sempat Malna utarakan
pada lelaki yang menyudahi kemaraunya malam itu. Cerita akan tetap tersimpan
rapat. Serapat kecupan bibir keduanya di malam pertama mereka.
Pelawad|2021
Dian Candra
Senopati adalah penulis lepas yang lahir di keresidenan Sumenep. Saat ini
tinggal dan menetap di Jakarta Selatan. Aktif menulis puisi, cerpen dan artikel
sejak uring-uringan di sekolah menengah atas. Aktif menjadi warga binaan AJI
(Aliansi Jomblo Indonesia).