Cerpen: Daviatul Umam
Malioboro dan Cerita yang Belum Tuntas
Sebenarnya tadi aku ragu untuk mengunggah
fotoku berlatar plang JL. MALIOBORO ini di feed Instagram. Tidak
seharusnya aku berterus-terang kalau foto itu diambil malam ini dan aku masih
berada di sini, saat kau bertanya di DM. Tidak seharusnya pula kau sampai
keluar malam-malam sendirian hanya untuk menemuiku. Bahkan, tidak seharusnya
kita bertemu lagi. Perjumpaan kita di acara lokakarya kepenulisan itu kuanggap
sebagai perjumpaan yang cuma terjadi sekali seumur hidup. Pertama sekaligus
terakhir.
Namun semua ini berjalan tanpa beban dan
rintangan. Kau benar-benar datang setelah lima belas menit dari pesan
terakhirmu kubaca: Tunggu. Jangan dulu pulang. Kau menatapku tajam,
seakan belum percaya kalau seseorang yang duduk di hadapanmu adalah diriku.
Barangkali kau mengira diriku sosok jelmaan Nyi Roro Kidul yang sedang ingin
menghirup udara luar dan menjadi bagian dari keramaian. Atau, barangkali kau
merasa sedang berhalusinasi tinggi sehingga wajah perempuan lain terlihat
serupa wajahku. Atau justru aku yang ke-PD-an?
“Apa kabar?”
“Baik. Kamu?”
“Baik. Boleh duduk?”
Kupersilakan kau duduk di sisiku. Kau mengatur
posisi duduk yang sedikit terganggu oleh adanya papan besi kecil bertuliskan
peringatan physical distancing yang terpatri pada bangku. Ya, mestinya
kita tidak melanggar aturan pemerintah. Lebih-lebih, kita, terutama aku,
mestinya tahu dan mengerti batasan bahwa kita tidak punya hubungan apa-apa.
Bahkan untuk mengaku berteman pun perlu dipertanyakan, mengingat kita hanya
satu kali bertemu dan sudah bertahun-tahun tidak saling bertukar kabar.
Tidak sepatutnya kita sok akrab duduk berdua.
Kurasa ini bangku akan jauh lebih cocok diduduki dua sejoli yang tengah
kasmaran atau pasutri yang asyik menikmati akhir pekan. Bukan kita!
“Mana teman-temannya?”
“Tuh, pada beli sosis.”
“Oh... Ngapain, sih, ke Jogja?”
“Yang jelas bukan untuk ketemu kamu.”
Kau tertawa kecil.
“Kamu pamit? Maksudku, sebelum berangkat ke sini,
kamu minta izin sama...”
“Sudahlah.”
Jawabanmu enteng. Raut mukamu tampak ceria
sekali seolah-olah tak sedikit pun merasa bersalah. Sementara perasaanku bercampur-aduk
antara cemas, tidak enak, merasa berdosa, dan—tidak bisa kumungkiri—juga senang.
Sebenarnya rasa senang ini agak mengganjal.
Tapi mana mungkin aku bisa menampiknya? Bagaimana tidak, kehadiranmu melengkapi
keindahan wisata ini. Tak pernah kubayangkan sebelumnya kita bakal berjumpa di
sini. Duduk berdua sembari memandang orang-orang simpang-siur, muda-mudi bermain
skuter, deretan beberapa andong menunggu penumpang, serta menyimak lagu Surat
Cinta untuk Starla yang dinyanyikan dengan cukup merdu oleh seorang pengamen di
seberang jalan.
“Gimana? Sudah jatuh cinta sama Jogja?”
“Banget. Romantis memang.”
“Jangan ikut-ikutan.”
“Maksudnya?”
“Hanya karena banyak orang bilang Jogja
romantis, kamu juga bilang gitu.”
“Nggak. Emang romantis, kok.”
Andai saja tidak ada kata ‘malu’ di dunia ini,
mungkin tanggapanku itu lebih kupanjangkan lagi: Nggak. Memang romantis,
kok. Asalkan selalu ada kamu di dalamnya. Seperti rayuan-rayuanmu dulu,
seringkali menyelipkan kata-kata lebay di sela-sela percakapan. Aku
rindu keromantisan itu, Yud. Aku rindu!
“Dulu Malioboro jauh lebih ramai dari yang
sekarang, sebelum pemerintah merelokasi.”
“Yang direlokasi apanya?”
“PKL-nya. Mereka dipindahkan ke dua tempat.
Sebagian di teras satu, sebagian lagi di teras dua.”
“Oh...”
“Mau ke kedua tempat itu?”
“Jauh?”
“Dekat. Di sekitar jalan ini juga.”
“Boleh. Tapi aku pamit sama mereka dulu.”
Malam yang sangat istimewa. Kita bisa
jalan-jalan bersama, menyusuri trotoar, menyapa patung-patung, mengamati para
pejalan kaki yang berpasang-pasangan sambil bercakap dan berkelakar.
Pohon-pohon hias yang teduh, batu-batu bulat buatan yang eksotik, tiang-tiang
hijau tua dan gemerlap lampu, menjadi saksi langkah demi langkah kita. Namun
berbeda dengan orang kebanyakan, kita tidak berpegangan tangan. Tidakkah kau
ingin menyentuh tanganku? Sadar, Rin. Sadar!
Kita mengunjungi teras dua terlebih dahulu.
Sebab, katamu, teras dua lebih dekat dari titik posisi kita tadi ketimbang
teras satu. Sebagai pelancong aku mah menurut saja. Menyerahkan semuanya kepada
sang pemandu wisata. Hehe.
“Oh... Di sini rupanya kata-kata ini berada,”
seruku begitu menemukan sebuah tulisan yang menempel pada tembok: Jogja
terbuat dari rindu, pulang dan angkringan. Tampak orang-orang bergantian
berpotret di depan tembok itu.
“Keren, kan?”
“Banget. Puisi siapa dah? Sapardi?”
“Jokpin. Tapi sayang, nama Jokpin gak tertera
di situ.”
“Iya, ya.”
“Ya... Begitulah budaya kita. Asal comot aja.”
“Hmm... Fotoin aku, yuk.”
Setelah beberapa kali jepretan, kau tunjukkan
hasilnya padaku. Siiip... Sepertinya kau cocok jadi fotografer. Eh,
tidak. Kau cukup menjadi penyair saja. Hanya label itu yang paling cocok buat
orang yang punya tampang mistis sepertimu. Duh, aku jadi kangen puisi-puisi
persembahanmu untukku. Walaupun mustahil rasanya kau akan menganggit
diksi-diksi puitis untukku lagi. Aku bukan lagi inspiratormu.
Kemudian kita beranjak memasuki bangunan teras
dua. Menaiki eskalator, melihat-lihat kaus oblong tertulis Jogja, Yogyakarta,
Malioboro, di bagian depannya, daster-daster batik, berbagai macam tas dengan
model nyentrik, gantungan kunci yang unik dan lucu-lucu—yang kesemuanya khas
dan murah-murah. Seumur hidup, baru kali ini aku mendapati diskon harga kaus, seratus
ribu dapat enam.
“Ada yang cocok?”
“Lumayan banyak. Tapi belinya besok-besok aja
sama teman-teman.”
“Loh. Emangnya mau berapa lama di sini?”
“Mungkin tiga atau empat hari.”
Teramat singkat sebetulnya. Untunglah malam
ini kau menemaniku sehingga waktu liburku di Jogja terasa panjaaang sekali.
Masih banyak wisata yang ingin kukunjungi bersama teman-teman. Parangtritis,
Prambanan, Ratu Boko, hutan pinus, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, tidak
mungkin kau ikut ke tempat-tempat itu. Tidak mungkin. Cukup malam ini saja.
Biar catatan dosaku tidak semakin menumpuk.
“Ini, mau?”
“Apa tuh?”
“Bakpia. Pasti kamu suka.”
Kau membelikanku sekotak bakpia. Lantas kau
mengajakku keluar, duduk di bangku halaman, tak jauh dari tembok yang memuat
kutipan puisi Jokpin itu. Persis seorang ayah yang tengah memanjakan anak
semata wayangnya, kau bukakan kotak bakpia untuk kucicipi isinya. Tanpa kuduga,
tiba-tiba kau hendak menyuapiku. Spontan aku memalingkan muka.
“Jangan berlebihan, Yud.”
“Maaf.”
Tanganmu urung. Kau letakkan sebutir bakpia ke
tempat semula. Lalu aku memungut dan menggigit sebutir bakpia yang sama, yang
baru saja kau letakkan itu.
“Enak?”
“Banget.”
“Banget terus dari tadi.”
“Hehe. Kamu makan juga dong.”
“Aku gak suka bakpia.”
“Bohong.”
“Beneran.”
“Aneh.”
Kau bilang, kau juga tidak suka angkringan. Angkringan
itu sebuah lapak PKL berjualan aneka menu sederhana, seperti nasi kucing,
gorengan, dan kopi seduh, yang menjadi tongkrongan favorit anak-anak muda,
utamanya mahasiswa, jelasmu. Lebih dari itu, lanjutmu, kau tidak begitu suka
Jogja. Alasanmu simpel dan bagiku kurang logis: kau risi setiap kali mendengar
Jogja diromantisasi. Kau yakin, orang-orang yang mengatakan Jogja itu romantis karena
termakan doktrin pendahulunya. “Padahal, nyatanya, Jogja punya sisi-sisi kelam
yang sampai saat ini belum juga teratasi.”
“Terus, kenapa kamu bisa bertahan hidup di
Jogja?”
“Ya karena doktrin itu. Hahaha.”
“Dih.”
Tak terasa, ternyata sudah hampir larut malam.
Teman-temanku tentu sudah terlalu lama menungguku. Tapi kenapa mereka tidak ada
yang meneleponku? Aku harus segera kembali ke tempat tadi. Namun kau malah
mencegahku.
“Sebentar. Kamu punya pacar?”
“Penting?”
“Penting.”
“Aku udah mau menikah.”
“Yang benar aja.”
“Serius.”
“Aku gak rela.”
“Kenapa? Emangnya kamu aja yang boleh nikah?”
Aku terburu-buru, Yud. Kenapa kau baru
membahas ini sekarang? Di lain sisi, aku ingin ‘sesuatu’ di antara kita
cepat-cepat terurai. Supaya kita saling melupakan dengan tenang, tanpa
menyisakan keganjilan secuil pun di kepala masing-masing. Kendati perasaan
tidak bisa dibohongi, lambat-laun aku akan tetap menghapusmu dari ingatanku dan
benar-benar pergi dari hidupmu.
Kita telah memilih jalan yang berbeda. Itupun
kau sendiri yang berbelok duluan. Maka kau harus bertanggungjawab atas jalur
pilihanmu sendiri. Begitupun aku.
“Orang mana?”
“Penting?”
Sudahlah, Yud. Aku paham betul ke mana arah
pembicaraanmu. Kau tidak berhak mengharapkanku lagi. Aku pun tidak berhak
berharap lebih. Berduaan begini saja kita sudah melewati batas yang fatal.
Jangan semakin memperparah keadaan. Aku tidak ingin mewarisi peran Lidia Danira
dalam serial Layangan Putus itu.
“Kamu masih muda, Rin. Jangan tergesa-gesa
menikah.”
“Justru enak. Banyak pahala.”
“Menikah bukan hanya soal pahala.”
Ucapanmu ada benarnya juga. Bagaimana aku bisa
menikah jika aku masih sepengecut ini? Pahala dari mana?
“Menikahlah denganku.”
“Gila kamu, Yud.”
“Kita gila bersama-sama.”
“Nggak. Kamu aja.”
“Please!”
“Pulanglah. Istrimu pasti khawatir.”
“Kisah kita belum selesai, Rin.”
Baiklah. Bersambung. Semoga Tuhan
menamatkannya dengan happy ending.
Sumenep, 2022
Daviatul Umam, penulis kelahiran Sumenep, Madura. Menempuh
pendidikan terakhirnya di MTs. 1 Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Buku
puisinya, Kampung Kekasih (2019), tidak mendapatkan penghargaan apa pun.
IG: @daviatul.umam
Ditunggu lanjutannya, suhu.😎👍
BalasHapus