Cerita Mini Fataty Maulidiyah - Pelangi yang Jatuh di Atas Pusara | suarakrajan.com

Cerita Mini Fataty Maulidiyah
Pelangi yang Jatuh di Atas Pusara
Foto oleh Cup of Couple dari Pexels



Aku sudah menemaninya selama 16 tahun. Dan setiap  hari raya, dia mengajakku ke sini.  Pemakaman yang kini terlihat sangat tandus dan panas.  Pohon-pohon kamboja yang berada di tengah-tengah lahan pemakaman, dan di tepiannya telah ditebang. Sebelumnya sangat rindang.  Dan aku sangat menyukai kuntum-kuntum kamboja yang berguguran  di atas pusara-pusara.  Tetapi, kini tiada lagi kutemukan kuntum kamboja yang menyentuh tanah dan pucuk-pucuk nisan. Hanya daun-daun kering dari pohon tak bernama. Lagi-lagi aku melihatnya di sana. Membersihkan nisan bertuliskan sebuah nama seorang wanita yang dulu dinikahinya.

Tak hanya nama seorang wanita, tetapi juga almarhum putrinya, yang wafat lebih dulu dari isterinya. Sambil terpejam dia khusyuk melantunkan doa-doa, yang lamat-lamat kuikuti dalam gumam. Gaun merahku berliput penuh debu. Aku bersimpuh tanpa alas. Mendampinginya sebagaimana tahun-tahun yang lalu.  Desir di dada terbit sebentar saja, dan aku memilih menghela napas panjang. Menelan pelan-pelan rasa cemburu. Aku tidak mengerti mengapa hal itu selalu saja terjadi. Padahal, seusai kami salat jemaah tiap harinya, ia selalu menyebut namaku dan anak-anakku, dikiriminya surat Al-Fatihah khusus satu demi satu.

Aku tak pernah mengutarakan  padanya bagaimana  dadaku penuh  gemuruh di saat dia begitu khusyuk memegang nisan itu seraya berdoa. Kecemasan selalu  hadir. Apakah kelak aku akan diperlakukan sama. Ketika, mungkin saja aku lebih dulu meninggalkan dunia yang fana ini. Dan bila halusinasi dan sangkaanku hadir setiap  adegan itu, aku segera menepisnya. Hatiku  bagai dijatuhi butiran salju terutama saat  tangannya menggenggam erat jemariku, dan membimbingku  kembali pulang.  Kembali bersama anak-anak kami.

Pria yang tak lama lagi berusia 60 tahun itu terlihat berjuang meyakinkanku. Bahwa bahtera yang telah kami jalani  akan menemui badai dan ombak. Dia yang telah kehilangan dua jiwa yang paling dicintainya, berharap tidak akan terjadi lagi. Terutama di masa-masa dia tak lagi ingin merasakan kehilangan paling getir.

Dalam lelapnya karena letih, aku melihat keteguhan dan ketabahan di gurat-gurat wajahnya yang beranjak senja. Sorot matanya yang tak lelah memaafkan kesalahan-kesalahanku. Meski terlihat ringkih, aku yakin dengan  kekuatannya untuk menjadi tempatku bersandar.

Memang cinta kami tidak lagi penuh dengan getar-getar dan gairah. Hanya cinta biasa dan sederhana. Tidak meletup bak mesin uap, atau bergelora laksana kembang api yang ditembak di langit gelap. Cinta kami sudah membiasa. Agar hidup kami tidak berat saat saling meninggalkan. Aku yang lebih dulu, atau dia yang lebih dulu meninggalkanku sebagai keniscayaan yang ditulis oleh Tuhan.*

Kota Mojokerto, 4 April 2022
18.43.


                                                

Fataty Maulidiyah, merupakan guru di MAN 2 Mojokerto, menulis kumpulan cerpen, puisi, esai, dan artikel di berbagai Media Online, Redaktur dan Tim Kreatif di Majalah Elipsis, saat ini tinggal di Kota Mojokerto

4 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak