Penulis Fataty Maulidiyah
![]() |
Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels |
Karya
sastra merupakan salah satu cara untuk menuangkan berbagai perasaan,
pendapat, dan pikiran dalam sebuah
tulisan yang tersusun dalam kalimat-kalimat yang mengandung keindahan dan menyentuh.
Sebagaimana definisi sastra itu sendiri yang bermakna “Keindahan”. Dan
hal yang dituju oleh sebuah karya sastra baik berupa puisi, cerpen, novel,
prosa dan lain sebagainya adalah hal
yang paling sensitif dari diri manusia
yakni : Hati.
Dan
bagi pemula seperti saya, menulis karya sastra bukanlah hal yang mudah. Tulisan
saya masih dirasa belum bisa mencapai derajat sastra. Masih mirip curhatan,
meskipun sedikit berlindung di balik
kosakata-kosakata sastra. Masih jauh. Saya masih belum menyentuh gaya bahasa yang menjadi elemen
penting dalam karya sastra, meskipun saat ini saya sedang berusaha.
Karya sastra harusnya adalah sebuah gagasan, pendapat, perasaan yang memiliki makna tersembunyi. Ia lebih mendominasi daripada makna yang vulgar dan lugas. Memang menangkap makna dalam sebuah karya sastra memperlambat aktivitas kita dalam memahami pesannya, tetapi justru di sanalah letak intensitas maknanya. (Wiyatmi, Pengantar Kajian Sastra, Yogyakarta: Pustaka, 2006)
Penulis
dituntut terampil dalam menyajikan berbagai rasa dan gaya bahasa dalam menyajikannya, mengajak pembaca
terhanyut dalam untaian kata-kata dan keindahannya. Bertegur sapa dan mengajak
pembaca larut dalam berbagai perjalanan rasa yang dihidangkan penulis. Dan
tentu saja, pesan yang dimaksud penulis harus sampai pada pembaca.
Salah
satu unsur yang dapat membangun karya sastra salah satunya adalah rasa. Rasa
atau perasaan yang begitu saja muncul dari sebuah inspirasi, lalu menimbulkan
perhatian yang dalam untuk segera ditumpahkan, bisa jadi awal mula seseorang
menulis karya sastra. Karenanya seseorang harus bisa menyediakan
diri agar bisa menyerap ilham dari mana pun dan
kapan pun.
Adakalanya
perasaan penulis terlibat cukup jauh. Hal ini sangat penting sebagai salah satu
kekuatan tulisan. Namun hal tersebut tidak bisa serta merta langsung dituangkan
menjadi sebuah karya. Seorang penulis harus memperkaya dirinya dengan membaca
banyak karya sastra, agar tulisannya bisa memiliki kekuatan, energi, dan nilai
yang bisa mempengaruhi pembaca. Seperti menimbulkan perasaan kagum, sedih,
haru, marah dan lain sebagainya.
Dan
unsur rasa inilah yang paling membedakan karya sastra dengan tulisan ilmiah.
Untuk itulah menurut saya, berkarya sastra adalah seni mengolah rasa yang
dilakukan oleh penulis untuk bergerak terus menerus dalam “Tawaf Rasa”. Ia beranjak dari bentuk perasaan satu ke perasaan yang lain. Seorang penulis harus mengasah berbagai rasa dan sudut pandang. Baik
perasaan sendiri, orang lain, atau
membayangkan perasaan benda-benda yang sejatinya tidak mati. Di sanalah
sebuah karya sastra memiliki dinamikanya.
Ada lima hal untuk mengukur, mengetahui
dan menilai unsur rasa dalam sebuah karya sastra.
1. Kebenaran
Rasa
Rasa
yang dituangkan dalam sebuah karya sastra haruslah rasa yang jujur. Haq, tidak
dibuat-buat dan memiliki nilai kekekalan di benak pembaca. Pembaca bisa
merasakan apa yang dirasakan penulis.
2. Kekuatan
Rasa
Kekuatan
rasa dalam sebuah karya sastra adalah terletak pada sastrawan itu sendiri.
Bukan dilihat dari ragam rasa dan
bahasa. Pribadi yang tenang seorang sastrawan lebih berpotensi memberikan
pengaruh pada pembaca. Karakteristik rasa yang ada pada dirinya adalah sumber
kekuatan tulisannya.
3. Kelanggengan
Rasa
Yang
dimaksud adalah kelanggengan rasa pada diri penulis selama ia berkarya. Agar
rasa itu kuat dan berpengaruh pada karyanya. Untuk itulah pembaca akan terus
merasakan kekekalan itu sekalipun pada waktu dan keadaan yang berbeda.
4. Ragam Rasa
Maksudnya
adalah kemampuan sastrawan dalam mentransformasikan kesan-kesan rasa yang
beraneka ragam dalam jiwa pembaca, seperti rasa cinta, rasa semangat, rasa
kagum, rasa simpati, rasa bangga, dan sebagainya. Rasa sastra semacam ini
merupakan bakat yang tidak banyak dimiliki oleh sastrawan.
Para
kritikus sastra sepakat mengatakan bahwa tingkat rasa adalah perbedaan tinggi
rendahnya rasa sastra bagi setiap sastrawan. Perbedaan ini dapat diketahui dari
segi keindahan gaya bahasa (stilistika) yang dipergunakan.
Perlu diketahui sebelum menuliskan sebuah karya, ada bekal yang harus dimiliki seorang penulis untuk berkarya sastra. Menurut pemahaman saya dari berbagai bacaan,
antara lain; (1) Membangun suasana untuk
menghadirkan rasa, (2) Mencari diksi dan kosakata sastra, (3) Membaca karya
sastra untuk meningkatkan sense of linguistic-nya, (4) Memilih sudut pandang
yang baru dan berbeda, dan (5) Keberanian untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan
/karya sastra serta mau memperbaikinya.*
Fataty Maulidiyah, merupakan guru di MAN 2
Mojokerto, menulis kumpulan cerpen, puisi, esai, dan artikel di berbagai Media
Online, Redaktur dan Tim Kreatif di Majalah Elipsis, saat ini tinggal di Kota
Mojokerto
Sepakat, Bu.
BalasHapusMakasihhh telah membaca.. Semoga bermanfaat..
Hapus