Puisi-Puisi Re Makram
Tiga Orang Anak Jalanan di Penghujung
Ramadhan
Tiga
orang anak jalanan di bawah deras hujan
Berjalan
beriringan mencari keteduhan
Sambil
rengap nafas mereka
Hampir
bersama terengah-engah
Sampai
suatu mesjid di pesisir kota
Tiga
orang anak jalanan mampir segera
Cepat-cepat
ketiganya alas dibuka
Pergi
ke belakang membasuh muka
Tiga
orang anak jalanan berwudu dengan tertibnya
Berniatlah
mereka salat asar
Di antara
rinai dan suara gelegar
Di
gemuruh metropolitan yang berkoar-koar
Tiga
orang anak jalanan di metropolitan
Sembahyang
asar berbarengan
Dengan
anak yang agak tua sebagai imam
Sampai
sembahyang usai; hujan belum reda
Sampai
hujan setengah reda; mereka berdoa
Di
antara untaian surah-surah doa
Ada
semangat dan cita-cita
Buat
nanti malam katanya
Mendulang
lailatul qadar harapnya
Tiga
orang anak jalanan di bawah deras hujan
Menunggu
risalah dan inayah
Menanti
ampunan dan kemenangan
Di
penghujung ramadhan
Sukabumi,
2020
Ribut Kuasa
Malam
kelam di metropolitan
di
banyak tivi telah tersiar
rebutan
kursi, tahta, dan gelar
adegan
nafsu keserakahan
Padahal
ini nuzulul Quran
momen
Ramadan yang sangat langka
penuh
ampunan juga pahala
bagi
mereka umat beriman
Wahai
saudara coba ingatlah
begitu
maut menjadi-jadi
maka
putuslah nilai ibadah
Duhai
Ilahi maafkan kami
Sungguh
celaka hati yang gundah
yang
ramai ribut tiada arti
Sukabumi,
2021
Makna Ramadhan bagi Kami
Rembulan
Ramadhan kelabu oleh awan ledakan. Seorang anak dengan Rifles di tangan kanan. Bersama
sekitar belasan siswa yang gelagapan. Berumur empat belasan. Berlarian di sudut
kota yang dilanda peperangan. Di kegelapan malam hatinya ditetapkan. Tanpa
peduli nyawa dan masa depan. Anak-anak seumuran; tak mengerti makna perang. Anak-anak
seumuran; yang seharusnya bersekolah, menenteng senapan. Demi sebuah kebebasan,
dari belenggu penjajahan; manusia-manusia serakah keduniawian.
Betapakah
Tuhan telah menegur manusia. Dengan kisah-kisah sekitarnya. Sungguh sayang umat
berpaling. Siang dan malam menggumuli jiwa dengan berahi. Pulang dan pergi
membeli dunia tiada henti. Tiada menyaksi, nyawa berarti, lenyap kembali. Setiap
hari.
Karena
Tuhan menyuruh manusia berlomba. Berjihad dengan jalan selain mengadu domba. Menginsyafi
setiap tidur mereka. Terjaga dari kantuk yang menyiksa. Berkerut-kerut ketika
puasa. Mencari makna ibadah dan berdoa. Bagi diri serta seluruh saudara agar
terpelihara dari jurang nista.
Namun,
lebih dari semua kebahagiaan adalah orang yang menang dari peperangan yang
mengilhami malam Ramadhan sebagai saat mengerti keriangan siang.
Anak-anak
di Palestina dan Afganistan. Serta lain negeri yang didera cobaan. Membawa
AK-47 hasil penaklukan. Di antara mesiu yang beterbangan. Percikan darah
melumuri badan. Mayat-mayat yang bertaburan. Serta jiwa dan iman yang melayang.
Itu semua agar tahun depan menginjak Ramadhan. Menjelang bulan penuh ampunan. Tak
perlu lagi ada peperangan. Berganti dengan kedamaian.
Kelak,
bagi kami di sini. Di ujung salam sembahyang tarawih. Diam-diam kami mengamini.
Bahwa benarlah kitab suci. Mengikat persamaan yang manusiawi. Bekerja sama
melipat hati, agar selalu pamrih. Setiap hari.
Sukabumi,
2019
Kisah Anak Jalanan dan Seorang
Dermawan
I
Suatu
sore dikisahkan. Cerita tentang bocah jalanan. Bekas penghuni panti asuhan. Di
sebelah kota metropolitan.
Anak
itu bernama Ujang. Tubuhnya kurus rambutnya panjang. Dari cara bicaranya, kaya
orang kaya. Ujang pernah sekolah. Sampai kelas lima SD, katanya. Ulang tahun
ini ikut puasa. Sama teman lain yang juga dhuafa.
Tiap
hari di bulan penuh hikmah ini. Mereka sahur dan buka pake indomi. Sahur
indominya direbus, buka indominya masih direbus. Maka kenyanglah perut mereka. Oleh
makanan khusus pinggiran ibu kota.
Namun
di hari ini. Malam ke dua tujuh Ramadhan kali ini. Ujang mendapat anugerah
rezeki. Nggak tahu dari mana datangnya. Nggak tahu siapa pengirimnya.
Hari
ini di hari ke dua tujuh. Ramadhan di ujung tahun. Ujang dan teman-teman merasa
heran. Sekaligus senang bukan kepalang. Heran karena di zaman tak berwelas; masih
ada yang mau berbagi. Senang karena di saat-saat ada yang susah; masih ada yang
suka beramal jariyah.
Lalu,
Ujang ajak teman-temannya. Buat mendoakan si fulan. Yang suka memberi dan
mengasihi. Meski nggak tahu dari mana datangnya. Meski nggak tahu siapa
pengirimnya.
“Ya
Allah, Yang Maha Pemberi. Kami bersyukur di hari ini. Kami masih bisa
berseri-seri. Syukur karena mendapat rezeki. Syukur karena di negara yang korupsi.
Di zaman subha begini. Di hati seorang yang manusiawi. Masih ada ternyata hamba-hamba
yang berjiwa”
Maka
Ujang dan teman-teman. Mengambil ayat-ayat Al-Quran. Sebagai doa-doa ampunan. Doa
yang baik bagi si Fulan. Dan ampunan bagi orang-orang, yang lupa pada saudara
seagamanya. Karena biasanya manusia, yang sudah bahagia dunia, lupa terhadap
sesamanya. Karena biasanya manusia, yang lupa sesamanya, sering merasa kesepian.
II
Suatu
sore dikisahkan. Cerita tentang hikmah Ramadhan. Di pinggiran metropolitan. Tentang
anak jalanan dan seorang dermawan. Yang Tuhan rahasiakan.
Sukabumi,
2020
Rindu Kekasih Ramadhan
I
Sebelum
takbir mulia, di penghujung Ramadhan. Tentang asma-asma Rabbul Ta’ala
dikumandangkan. Seorang kekasih. Seorang taulan miskin dari selatan. Berseraian
tasbih. Meraung-raung dengan bibir dikatupkan. Sepenggalah nafasnya seperti
sesak. Karena mengeja seuntai sajak. Untuk harap. Kemudian, seketika telah tiba
hatinya pada keadaan basah kuyup. Oleh peluh tangis doa pada kerinduan malam
beribu bulan. Berikut seluruh pengindraan yang kuncup.
Di dalam
kedekatannya, tapi sepi. Di dalam percakapannya, tapi tersipu. Di dalam haru
cintanya, tapi syahdu. Di dalam malam yang terjaga, semoga. Tercurah mutiara
tiap bulir air mata.
“Duhai
Adirupa! Paras Mahakhayal. Yang membuat tidur terpelihara dalam dzikir. Yang
menjadi nyata dari kata mudah dikenal. Perkenankanlah hamba tetap diam
memanggilMu. Dan tak kumenyatakan segala sesuatu, kecuali sebuah anugerah
kelezatan namaMu.
Allah!
Allah! Allah!
Wahai,
cawan yang penuh anggur CahyaNya. Telah kusiapkan selembar kerudung. Sangat
awas dan tertutup. Isinya; sebias warna yang teramat manis. Untuk Kau mintakan
singkap. Lembut lagi hangat. Agar ku mabuk oleh keriangan. Bertemu dengan-Mu.
Saat nanti.
Allah!
Allah! Allah!
Telah
ku siapkan sebuah tudung suci. Penuh asmara. Penuh cinderamata yang kukemas secara
perlahan. Semenjak 29 hari kemarin.”
Kemudian,
para malaikat –bertaburan-. Berlomba di kegelapan. Saling memperlihatkan segala
rahsiaNya. Untuk membasuh duka-duka yang apik. Kepada masjid-masjid dan
batu-batu kali. Yang subuh itu beri’tikaf semalam suntuk. Yang teguh lidahnya,
tak pernah kantuk. MenyebutMu berderikan. Berkepanjangan. Sebagai simfoni agung
yang mempesona. Beriringan. Bernyanyian. Beraturan. Dan tenggelamlah dalam
letupan harapan.
Allah!
Allah! Allah!
II
Sebelum
takbir mulia, di penghujung Ramadhan. Bergema bersambungan. Berucap dengan
takzim. Seorang kekasih. Seorang taulan miskin yang alim. Tanpa jubah kebesaran.
Bertelanjang duniawi bercahaya, sesaat lamanya. Di antara gelapnya belantara
bumi. Jatuh melapangkan keningnya; hingga doa menggelora. Berkoar-koar. Ke
ujung langit membelah. Dentuman istigasah.
“Hu
Allah! Hu Allah! Hu Allah!
Perkenankan
hati kami kembali. Tempat jiwa dan iman ini. Berjumpa dengan kunci kamarMu. Beserta
segala kehormatannya. Ramadhan depan.”
Sukabumi,
2021
Re Makram, bergiat di Taman Bacaan Masyarakat Kopi Kami di Sukabumi, Jawa Barat.
Menulis fiksi dan esai. Dapat dihubungi di WA 081299494907 atau IG @pan1pra1.
MasyaAllah begitu indah dan syarat makna puisinya..👍👍
BalasHapusUntaian kata yang menyentuh qolbu, siraman penyejuk rohani 👍👍👍
BalasHapusIndah banget... Bagaimana ya... Resep merangkai kata agar bisa penuh makna seperti itu...
BalasHapusMasyaAllah... tenunan kalimat yang elok, pula menggetarkan.
BalasHapusWah, indah sekali puisi
BalasHapus