5 Puisi Re Makram | suarakrajan.com

Puisi-Puisi Re Makram
Tiga Orang Anak Jalanan di Penghujung Ramadhan
 
Tiga orang anak jalanan di bawah deras hujan
Berjalan beriringan mencari keteduhan
 
Sambil rengap nafas mereka
Hampir bersama terengah-engah
Sampai suatu mesjid di pesisir kota
Tiga orang anak jalanan mampir segera
 
Cepat-cepat ketiganya alas dibuka
Pergi ke belakang membasuh muka
Tiga orang anak jalanan berwudu dengan tertibnya
Berniatlah mereka salat asar
Di antara rinai dan suara gelegar
Di gemuruh metropolitan yang berkoar-koar
Tiga orang anak jalanan di metropolitan
Sembahyang asar berbarengan
Dengan anak yang agak tua sebagai imam
Sampai sembahyang usai; hujan belum reda
Sampai hujan setengah reda; mereka berdoa
Di antara untaian surah-surah doa
Ada semangat dan cita-cita
Buat nanti malam katanya
Mendulang lailatul qadar harapnya
 
Tiga orang anak jalanan di bawah deras hujan
Menunggu risalah dan inayah
Menanti ampunan dan kemenangan
Di penghujung ramadhan
 
Sukabumi, 2020
 
 
Ribut Kuasa
 
Malam kelam di metropolitan
di banyak tivi telah tersiar
rebutan kursi, tahta, dan gelar
adegan nafsu keserakahan
 
Padahal ini nuzulul Quran
momen Ramadan yang sangat langka
penuh ampunan juga pahala
bagi mereka umat beriman
 
Wahai saudara coba ingatlah
begitu maut menjadi-jadi
maka putuslah nilai ibadah
 
Duhai Ilahi maafkan kami
Sungguh celaka hati yang gundah
yang ramai ribut tiada arti
 
Sukabumi, 2021
 
 
Makna Ramadhan bagi Kami
 
Rembulan Ramadhan kelabu oleh awan ledakan. Seorang anak dengan Rifles di tangan kanan. Bersama sekitar belasan siswa yang gelagapan. Berumur empat belasan. Berlarian di sudut kota yang dilanda peperangan. Di kegelapan malam hatinya ditetapkan. Tanpa peduli nyawa dan masa depan. Anak-anak seumuran; tak mengerti makna perang. Anak-anak seumuran; yang seharusnya bersekolah, menenteng senapan. Demi sebuah kebebasan, dari belenggu penjajahan; manusia-manusia serakah keduniawian.
 
Betapakah Tuhan telah menegur manusia. Dengan kisah-kisah sekitarnya. Sungguh sayang umat berpaling. Siang dan malam menggumuli jiwa dengan berahi. Pulang dan pergi membeli dunia tiada henti. Tiada menyaksi, nyawa berarti, lenyap kembali. Setiap hari.
 
Karena Tuhan menyuruh manusia berlomba. Berjihad dengan jalan selain mengadu domba. Menginsyafi setiap tidur mereka. Terjaga dari kantuk yang menyiksa. Berkerut-kerut ketika puasa. Mencari makna ibadah dan berdoa. Bagi diri serta seluruh saudara agar terpelihara dari jurang nista.
 
Namun, lebih dari semua kebahagiaan adalah orang yang menang dari peperangan yang mengilhami malam Ramadhan sebagai saat mengerti keriangan siang.
 
Anak-anak di Palestina dan Afganistan. Serta lain negeri yang didera cobaan. Membawa AK-47 hasil penaklukan. Di antara mesiu yang beterbangan. Percikan darah melumuri badan. Mayat-mayat yang bertaburan. Serta jiwa dan iman yang melayang. Itu semua agar tahun depan menginjak Ramadhan. Menjelang bulan penuh ampunan. Tak perlu lagi ada peperangan. Berganti dengan kedamaian.
 
Kelak, bagi kami di sini. Di ujung salam sembahyang tarawih. Diam-diam kami mengamini. Bahwa benarlah kitab suci. Mengikat persamaan yang manusiawi. Bekerja sama melipat hati, agar selalu pamrih. Setiap hari.
 
Sukabumi, 2019
 
 
Kisah Anak Jalanan dan Seorang Dermawan
 
I
Suatu sore dikisahkan. Cerita tentang bocah jalanan. Bekas penghuni panti asuhan. Di sebelah kota metropolitan.
 
Anak itu bernama Ujang. Tubuhnya kurus rambutnya panjang. Dari cara bicaranya, kaya orang kaya. Ujang pernah sekolah. Sampai kelas lima SD, katanya. Ulang tahun ini ikut puasa. Sama teman lain yang juga dhuafa.
 
Tiap hari di bulan penuh hikmah ini. Mereka sahur dan buka pake indomi. Sahur indominya direbus, buka indominya masih direbus. Maka kenyanglah perut mereka. Oleh makanan khusus pinggiran ibu kota.
 
Namun di hari ini. Malam ke dua tujuh Ramadhan kali ini. Ujang mendapat anugerah rezeki. Nggak tahu dari mana datangnya. Nggak tahu siapa pengirimnya.
 
Hari ini di hari ke dua tujuh. Ramadhan di ujung tahun. Ujang dan teman-teman merasa heran. Sekaligus senang bukan kepalang. Heran karena di zaman tak berwelas; masih ada yang mau berbagi. Senang karena di saat-saat ada yang susah; masih ada yang suka beramal jariyah.
 
Lalu, Ujang ajak teman-temannya. Buat mendoakan si fulan. Yang suka memberi dan mengasihi. Meski nggak tahu dari mana datangnya. Meski nggak tahu siapa pengirimnya.
 
“Ya Allah, Yang Maha Pemberi. Kami bersyukur di hari ini. Kami masih bisa berseri-seri. Syukur karena mendapat rezeki. Syukur karena di negara yang korupsi. Di zaman subha begini. Di hati seorang yang manusiawi. Masih ada ternyata hamba-hamba yang berjiwa”
 
Maka Ujang dan teman-teman. Mengambil ayat-ayat Al-Quran. Sebagai doa-doa ampunan. Doa yang baik bagi si Fulan. Dan ampunan bagi orang-orang, yang lupa pada saudara seagamanya. Karena biasanya manusia, yang sudah bahagia dunia, lupa terhadap sesamanya. Karena biasanya manusia, yang lupa sesamanya, sering merasa kesepian.
 
II
Suatu sore dikisahkan. Cerita tentang hikmah Ramadhan. Di pinggiran metropolitan. Tentang anak jalanan dan seorang dermawan. Yang Tuhan rahasiakan.
 
Sukabumi, 2020
 
 
Rindu Kekasih Ramadhan
 
I
Sebelum takbir mulia, di penghujung Ramadhan. Tentang asma-asma Rabbul Ta’ala dikumandangkan. Seorang kekasih. Seorang taulan miskin dari selatan. Berseraian tasbih. Meraung-raung dengan bibir dikatupkan. Sepenggalah nafasnya seperti sesak. Karena mengeja seuntai sajak. Untuk harap. Kemudian, seketika telah tiba hatinya pada keadaan basah kuyup. Oleh peluh tangis doa pada kerinduan malam beribu bulan. Berikut seluruh pengindraan yang kuncup.
 
Di dalam kedekatannya, tapi sepi. Di dalam percakapannya, tapi tersipu. Di dalam haru cintanya, tapi syahdu. Di dalam malam yang terjaga, semoga. Tercurah mutiara tiap bulir air mata.
 
“Duhai Adirupa! Paras Mahakhayal. Yang membuat tidur terpelihara dalam dzikir. Yang menjadi nyata dari kata mudah dikenal. Perkenankanlah hamba tetap diam memanggilMu. Dan tak kumenyatakan segala sesuatu, kecuali sebuah anugerah kelezatan namaMu.
Allah! Allah! Allah!
Wahai, cawan yang penuh anggur CahyaNya. Telah kusiapkan selembar kerudung. Sangat awas dan tertutup. Isinya; sebias warna yang teramat manis. Untuk Kau mintakan singkap. Lembut lagi hangat. Agar ku mabuk oleh keriangan. Bertemu dengan-Mu. Saat nanti.
Allah! Allah! Allah!
Telah ku siapkan sebuah tudung suci. Penuh asmara. Penuh cinderamata yang kukemas secara perlahan. Semenjak 29 hari kemarin.”
 
Kemudian, para malaikat –bertaburan-. Berlomba di kegelapan. Saling memperlihatkan segala rahsiaNya. Untuk membasuh duka-duka yang apik. Kepada masjid-masjid dan batu-batu kali. Yang subuh itu beri’tikaf semalam suntuk. Yang teguh lidahnya, tak pernah kantuk. MenyebutMu berderikan. Berkepanjangan. Sebagai simfoni agung yang mempesona. Beriringan. Bernyanyian. Beraturan. Dan tenggelamlah dalam letupan harapan.
 
Allah! Allah! Allah!
 
 
II
Sebelum takbir mulia, di penghujung Ramadhan. Bergema bersambungan. Berucap dengan takzim. Seorang kekasih. Seorang taulan miskin yang alim. Tanpa jubah kebesaran. Bertelanjang duniawi bercahaya, sesaat lamanya. Di antara gelapnya belantara bumi. Jatuh melapangkan keningnya; hingga doa menggelora. Berkoar-koar. Ke ujung langit membelah. Dentuman istigasah.
 
“Hu Allah! Hu Allah! Hu Allah!
 
Perkenankan hati kami kembali. Tempat jiwa dan iman ini. Berjumpa dengan kunci kamarMu. Beserta segala kehormatannya. Ramadhan depan.”
 
Sukabumi, 2021
 
 
                                               
Re Makram, bergiat di Taman Bacaan Masyarakat Kopi Kami di Sukabumi, Jawa Barat. Menulis fiksi dan esai. Dapat dihubungi di WA 081299494907 atau IG @pan1pra1.

5 Komentar

  1. MasyaAllah begitu indah dan syarat makna puisinya..👍👍

    BalasHapus
  2. Untaian kata yang menyentuh qolbu, siraman penyejuk rohani 👍👍👍

    BalasHapus
  3. Indah banget... Bagaimana ya... Resep merangkai kata agar bisa penuh makna seperti itu...

    BalasHapus
  4. MasyaAllah... tenunan kalimat yang elok, pula menggetarkan.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak