Puisi-Puisi Wahyu Subuh
MENANGKAP OMA
Kampung-kampung senyap, gelapberselimut pakaian berjejer di sampayan
dengan salsal pagar di halaman
takbir hujan di sana tanpa detak kata-kata
anak-anak tertidur dalam igau
orkestra reggae terdengar
dengan grafik mendaki gunung salju
maraup dan mencari tuhan di wajahnya
bersimbah kisah duka, rumah-rumah tak ayalnya
pekuburan bilamana malam tiba
menghiasi kematian tanpa sadar
dan pintu-pintu tertutup rapat.
PERTIKAIAN RUMAH DAN HALAMAN
mahabahdepan pesawat televisi sebelum magrib (azali)
kursi-kursi tak jadi cemburu, kelebat kata-kata juga mantra
anasir gelap dan sebuah perang di matamu
menikam
sedang pada setapak itu kau buat sungai
kau cabik-cabik, kau obrak-abrik
kau lempar pisau-lempar pedang-lempar samurai
kau todong-todong
hingga lebam dan masam di pipinya
lalu kanak-kanak menyerbu dan melompati kata-kata
dan ikan-ikan berenang di sana
Hingga gelap dan pucat
ikan-ikan berkumis hilir mudik
lapar dan ganas seperti pertikaian rumah dan halaman
yang memanas sebelum jam dua belas
seperti liontin gegar dan nanar di pekarangan rumah kita, bunda
diblokade tanpa dasar apa-apa.
Hanya sebuah perkara yang biasa-biasa saja
namun begitulah manusia dan keangkuhannya
serupa tanah, air, angin dan garis-garis melilit tubuhmu
dan aku percaya orang tua sama-sama menjaga kita
sedang kita orang entah
sedang rumah dan halaman adalah aku dan kau
kita dan mereka antara benci dan cinta
BOLA, LELAKI DAN TUJUH EKOR KUDA
Bara dari sepasang bola di atas mejalelaki dengan nyanyian cecak di dinding
bersejingkat keluar dari dalam jeruji.
Siapa yang menarik kupingmu dan melubangi malam
dengan tujuh ekor kuda
gertak kaki di halaman
meratakan segenap prajurit berjaga
tanpa satu pun bangkit.
orang-orang bersembunyi dari terik matamu yang meleleh
dan banjir bandang melahap tanah kampung kami
kami pun tergeletak di seberang sungai
seberang talun, seberang kota, seberang negeri kami sendiri
raja tanpa kepala duduk hangat
terbahak menyaksikan hilir mudik masyarakat, melarat darurat
berpesiar, penipu ulung berpesiar
orkestra sangkar, sayap-sayap burung dirontakkan
purnama pun redup
entah sampai kapan gelap ini, tak adakah hari
membakar kembali bola-bola, lelaki itu tak dapat ke mana.
PADA SUATU KAMPUNG PAGI ITU
Pada suatu kampung pagi itukanak-kanak melompati halaman dengan bola plastik di kakinya.
Atas nama bapak kau menjelma malaikat yang memikul kota-kota
sebelum terik matamu dan di belakang rumahmu senja beralis.
tubuhku terpental dalam botol shinzu’i
juga reruncing paku berkarat kautanam di pekarangan.
Atas nama ibu kau bersampan pada kedalaman
kedalaman tembok rumah pada suatu kampung
yang dirayapi kunang-kunang dari suatu kampung yang lain.
plastik merah, plastik amis darah dari dalam saku petinggi.
Perjamuan awal musim dingin sudah dimulai
aromanya menyengat-melesat, lagi-lagi kita orang tiarap
basuh keringat, menaksir ketinggian matahari
matahari pelan-perlahan bersungut tebal
kau wanita yang bersejingkat pada setapak berkabut.
melubangi batang hingga reranting
menjilat-jilat daun pisang lalu menyisir ke akar-akarnya.
Berhati-hatilah pada rerimbun pohon
di seberang talun warisan bapakmu
ada lebah dan tawon memerah di sana.
Sesekali kau mendekat
tujuh bidadari tanpa kaki mengipas tubuhmu
dan kau berbaringlah, berbaringlah, berbaringlah.
Rebahlah kepalamu
hilanglah sumsum dan sekujur daging-daging segarmu.
Nis, nus, nas
Nus, nas, nis
oleh sihir dinasti dan lecak kapitalis
dari sanalah suatu kampung dirias dogma-dogma
berambut pirang dan bermata sipit.
Hingga pada suatu kampung tak lagi kutemukan wajahmu pagi itu.

Channel youtube: Puisi Akhir Pekan
Instagram: @juniorwahyusubuh_
FB: Junior Wahyu Subuh
CP (WA): 087701787318