5 Puisi Fathurrozi Nuril Furqon

Puisi-Puisi Fathurrozi Nuril Furqon
Air Susu Dibalas Air Tuba
 
Pernahkah kau merasakan panas bara api yang meletup-letup membakar hati, sementara bara api itu adalah kado yang diberikan  oleh anak sungai yang mengalirkan airmu. Percayalah, itu adalah bukti kehancuran yang pernah disyairkan matahari dan bulan, yaitu ketika cahaya diberikan pada tangan-tangan yang jelaga bertabur noda. Kehancuran yang bisa membuatmu jadi puing, hancur berkeping-keping. Ketika bara api itu telah menelusup jauh hingga membakar jiwa, kumuntahkan magma, hingga tanah merah membara, meleleh, jadi neraka. Sebab murkaku tak tertahankan. Aku ingin terus mengalirkan magma, membaralah dan membaralah, biar dunia ini merah menyala, biar kuhanguskan setiap wujud tipu daya. Sebab murkaku tidak tertahankan. Entahlah dengan guguran waktu, bisakah ia memadamkan api di hatiku?
 
 
Sketsa Collapse
 
Sebuah lentera kupadamkan dengan air mata yang kureguk dari pejam hati. Di sana air mata terus leleh membelai wajah-wajah waktu. Aku berteriak "enyahlah" tapi aku tak kuasa menahan rindu yang terus berjamur di dada. Seorang lelaki datang padaku membawa sebingkis percakapan yang membuatku menjadi tali tarik tambang. Ditarik-tarik, aku ingin pergi, namun di balik rimbun doa masih dapat kulihat wajah Sijjil, penuh pesona. "datanglah padaku, jiwa yang mengembara, di tanganku oase untukmu."
Aku tetap menjadi tali tarik tambang. Ditarik-tarik, otakku memburai memprasastikan keraguan. Aku pun kemarau, kering meranjau, dalam hati aku meracau "air". Gulita tak ayal lagi menera, aku semakin dahaga. Beribu asa dalam hatiku lemau.
 
 
Teguh Bebatu Berdesir dalam Diriku
 
Jika kau harus membanting dirimu sedemikian keras,
banting saja. Lalu bangkit dan teruslah berjuang
(Muhammad Asqalani eNeSTe)
 
Telah sering kureguk air mata
Kukunyah luka
Dalam puisiku, waktu telah menjelma dadu
selalu menunjukkan titik satu
yang kunamakan sembilu
Tapi, seumpama almanak tua yang dibakar jadi abu
Segalanya tetap akan berlalu
Lewat punggung matahari, kutemukan teguh bebatu
Keteguhan melawan angin yang menderu, air yang berpacu
Adakah itu adalah ayat-ayat yang ditelusupkan langit,
bahwa gulita selalu menjadi awal dari cahaya?
Aku tak pernah tahu
Mataku terlalu buta untuk membaca rindu
Bebatu itu tumbuh di mimpiku, menopang tubuhku
Maka lewat bebatu itu kucoba gapai bianglala
"Karena air mata hendaknya menjelma tawa," bisik bebatu itu
 
 
Selepas Sholat
 
Selalu ada yang tersesat di tubuh sajadah
Doa yang malu-malu untuk memulai kembara
Dzikir yang ragu-ragu untuk berdansa
Rindu yang putus asa untuk menuju muara
Di sajadah, diriku dikembang kempiskan masa
 
 
Berkunjung Ke Bali
 
aku pergi ke Bali
untuk mencumbui buih-buih ombak dan pantainya
jalanan pasar dan geliat kehidupan malam
serta untuk menyelami aji-aji dalam dupa dan sesaji
 
aku pergi ke bali
untuk menuntaskan mimpi-mimpi di malam sunyi
ketika aku berkelana ke Bali sebagai roh orang mati
hanya bisa melukis pura dan kota Denpasar dalam gemetar angan
 
aku pergi ke Bali
untuk menuliskan puisi berwajah hijau
ialah reminisensi berkilau
yang akan menjadi hujan kala musim harus kemarau


                                            

Fathurrozi Nuril Furqon, lahir di Sumenep pada tanggal 01 Agustus 2002. Alumnus TMI Al-Amien Prenduan 2021, pembina SSA (Sanggar Sastra Al-Amien). Saat ini sedang melanjutkan pendidikan di IDIA (Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien), sembari mengabdikan diri di TMI Al-Amien Prenduan. Bisa dihubungi melalui WA; 081331106537, email; ozijenius02@gmail.com.

Foto oleh cottonbro dari Pexels

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak