DI BANTO RAYO
Di Banto Rayo
Angin bebukit itu mengelus
Siapa yang bernyanyi di pucuk teh
Hutan diam menyimak ketuk kaki-ku tanpa alas
Ah, debam di lembar jembatan kayu
Bangunkan riak-riak air
Gadis manis sibuk berpose, meliuk di angin tenggara
Di Banto Rayo
Mata bermanja pada belaian hijau hutan
Titian membelah, bagai perahu lintasi sungai
Yang didayung dua kaki, tanpa mata penyimpan gemetar ujung jari
Di Banto Rayo
Kusimpan puisi-puisi, segera tenggelam di hamparan dedaunan
Ingin kutuangkan sajak secangkir teh saja
Yang lupa kurebus kata-katanya
Didih dalam kekaguman alam jelita
Taman Wisata Banto Rayo- (Agam) Padang, 22 April 2022
TENTANG ORANG YANG
KEHILANGAN HARI
Selamat siang kota sunyi, dengan ketuk sepatunya dia menyapa
Jambi tetap diam di antara gumpalan awan
Pedulikan suara telapak terseok-seok
Lampu kota baru saja padam
Hanya terdengar lenguh panjang derum, hentakan pedal yang gila
Sepertinya hari masih tak bersahabat
Meski doa panjang menggaung di tiang-tiang mesjid
Dia berjalan menuju baring matahari
Ke arah sungai Batanghari airnya pergi menyelinap
Mencari layar terkembang di muara
Berharap bertemu lain orang yang akan bercerita
Tentang ke mana hilang hari-hari dalam usia
Sambil tetap mengidungkan doa
Berharap Tuhan hadir pada tiap langkahnya
Selamat siang kota sunyi, kepala makin terpanggang
Jambi akan selalu bungkam dalam keangkuhan
Biarkan segala sapa menyentuh gendang telinga
Sambil menanti pijar cahaya senja yang kaku
Dia masih memburu tepian akhir
Tepiskan semua bingar suara
Berdoa bagi dia maupun tidak, baginya sudah tak bersahabat
Jambi, 15-03-2022
SEBUAH PROSA DALAM
LEMBARAN BIRU RINDU
Kubuka lembar biru dari sampul surat yang kau kirimkan, membaca
dengan hati berdebar:
Duhai camar putihku.
Pada gelombang membukit yang kau tatap tiap pagi pertama. Akan kau dapatkan satu noktah bagai sampan di bagian sisi ombaknya. Barangkali akan terlempar tanya darimu tentang ke mana perginya layar yang mengarahkan angin. Atau mungkin, akan kau daki karang. Di puncaknya kau akan membulatkan jari-jari tangan jadi teropong. Sesungguhnya sampan itu bermuatan rindu yang sarat, pahatan cinta dari kerajaan hati, penuh tatahan relief sajak-sajak bagi pujaan. Sebenar-benarnya pulau yang kuingin tiada lain kecuali dirimu yang dituju.
Lihatlah, rindu ini jadi nakhoda yang berjalan lenggang. Menarik
sampan dengan temali asa yang berpintal-pintal untuk kuikatkan di tali pancang
dermagamu.
"Bukankah selalu kukatakan padamu, engkaulah pelabuhan
rindu. Tempat aku menyandarkan masa depan gemilang."
Dan aku akan menjadi lembaran peta, dengan dirimu sebagai kompas penunjuk arah angin.
"Mari berlayar denganku."
Kita akan menuju pulau senyap, membangun tamansari dari kerajaan kecil rumah dangau beratap rumbia, di mana ketika hujan gerimis akan jatuh sesekali ke ruangan, kita akan menari di bawahnya.
Payung kita adalah rindu dalam lembaran cinta penuh warna paling indah.
Ya, kita akan menghela segala nafas gelombang, tanami pohon
bakau menjadi tatanan mangrove, diselingi teratai yang kala berkembang tengadah
pandangi bulan tersipu melihat kita bersenda gurau sampai lahir kerut kering
dan putih rambut pertanda kita sama menua, kita akan begitu. Lukisi hari dengan
wajah sumringah melihat cucu berlari di pantai sepi. Dan, "Aku akan tetap
pandangi wajah cantikmu tiada bosan."
Tiada bosan, kubaca suratmu dalam prosa berulang-ulang
Hingga akhirnya terlipat dan kubenamkan di kehangatan dada. "Kutunggu sampanmu merapat."
Bangko, 28-01-2022
LEMBAYUNG DI ATAS
BATANGHARI
Bersampan ketepian wahai tuan
Galah di tangan
Senja mengaduk aroma
Ada lembayung di sepasang mata
Mengawang lintasi Batanghari
Menumbuk sukmaku
Sampai berdebur tiada henti
Menggusur kaki menunggang gentala
Berdayung ketepian tuan
Gaung tala di sepertiga hari menyibak arasy
Langit merona jingga
Serona wajahmu melepas tatap padaku
Yang debarnya melompat-lompat di riak
Mari berkunjung ke lonceng panggilan
Genta bilal di ujung menara
Memuja-muja sang Maha Esa
Sedang pandangmu hanyutkan aku
Pada gelombang cinta
Meliuk-liuk cumbui wajah kali
Bagai lembayung warna-warni
Berbiduk kehulu tuan, jingga menoreh
Sepasang angsa berlayar
Di bawah langit penuh cahaya
Batanghari mengibaskan air pada ekor naga
Dan aku
Kibaskan bayangmu pergi pada kenangan
Bersama kalam penutup panggilan gentala arasy
Dan aku
Pulang menutup pintu ingatan
Bangko, 08-02-2020
Angin bebukit itu mengelus
Siapa yang bernyanyi di pucuk teh
Hutan diam menyimak ketuk kaki-ku tanpa alas
Ah, debam di lembar jembatan kayu
Bangunkan riak-riak air
Gadis manis sibuk berpose, meliuk di angin tenggara
Mata bermanja pada belaian hijau hutan
Titian membelah, bagai perahu lintasi sungai
Yang didayung dua kaki, tanpa mata penyimpan gemetar ujung jari
Kusimpan puisi-puisi, segera tenggelam di hamparan dedaunan
Ingin kutuangkan sajak secangkir teh saja
Yang lupa kurebus kata-katanya
Didih dalam kekaguman alam jelita
Jambi tetap diam di antara gumpalan awan
Pedulikan suara telapak terseok-seok
Lampu kota baru saja padam
Hanya terdengar lenguh panjang derum, hentakan pedal yang gila
Sepertinya hari masih tak bersahabat
Meski doa panjang menggaung di tiang-tiang mesjid
Ke arah sungai Batanghari airnya pergi menyelinap
Mencari layar terkembang di muara
Berharap bertemu lain orang yang akan bercerita
Tentang ke mana hilang hari-hari dalam usia
Sambil tetap mengidungkan doa
Berharap Tuhan hadir pada tiap langkahnya
Jambi akan selalu bungkam dalam keangkuhan
Biarkan segala sapa menyentuh gendang telinga
Sambil menanti pijar cahaya senja yang kaku
Dia masih memburu tepian akhir
Tepiskan semua bingar suara
Berdoa bagi dia maupun tidak, baginya sudah tak bersahabat
Pada gelombang membukit yang kau tatap tiap pagi pertama. Akan kau dapatkan satu noktah bagai sampan di bagian sisi ombaknya. Barangkali akan terlempar tanya darimu tentang ke mana perginya layar yang mengarahkan angin. Atau mungkin, akan kau daki karang. Di puncaknya kau akan membulatkan jari-jari tangan jadi teropong. Sesungguhnya sampan itu bermuatan rindu yang sarat, pahatan cinta dari kerajaan hati, penuh tatahan relief sajak-sajak bagi pujaan. Sebenar-benarnya pulau yang kuingin tiada lain kecuali dirimu yang dituju.
Dan aku akan menjadi lembaran peta, dengan dirimu sebagai kompas penunjuk arah angin.
"Mari berlayar denganku."
Kita akan menuju pulau senyap, membangun tamansari dari kerajaan kecil rumah dangau beratap rumbia, di mana ketika hujan gerimis akan jatuh sesekali ke ruangan, kita akan menari di bawahnya.
Payung kita adalah rindu dalam lembaran cinta penuh warna paling indah.
Hingga akhirnya terlipat dan kubenamkan di kehangatan dada. "Kutunggu sampanmu merapat."
Galah di tangan
Senja mengaduk aroma
Ada lembayung di sepasang mata
Mengawang lintasi Batanghari
Menumbuk sukmaku
Sampai berdebur tiada henti
Berdayung ketepian tuan
Gaung tala di sepertiga hari menyibak arasy
Langit merona jingga
Serona wajahmu melepas tatap padaku
Yang debarnya melompat-lompat di riak
Genta bilal di ujung menara
Memuja-muja sang Maha Esa
Sedang pandangmu hanyutkan aku
Pada gelombang cinta
Meliuk-liuk cumbui wajah kali
Bagai lembayung warna-warni
Sepasang angsa berlayar
Di bawah langit penuh cahaya
Batanghari mengibaskan air pada ekor naga
Dan aku
Kibaskan bayangmu pergi pada kenangan
Bersama kalam penutup panggilan gentala arasy
Dan aku
Pulang menutup pintu ingatan
Busur Ayu Pamungkas adalah nama pena dari Fairuza Firly Rizkiya lahir di Jambi September
2002. Mahasiswi Teknik Sipil Universitas Jambi. Adik
dari Kasandra Pamela Anjarani dan Sanggabuana Respati ini adalah pemegang Sabuk
Hitam DAN II Karatedo yang hobi menulis puisi. Kebisaannya meracik kata-kata
dan membaca puisi didapat dari sang ayah Kangkam Galih Pamungkas dan sang Ibu
Audya Pamungkas. Gadis lulusan SMA Negeri II Kota Jambi tahun 2000 ini juga
memiliki hobi menari di sela kesibukannya sebagai pelatih Karate.