Puisi-Puisi Abdul Aziz

Risalah Cerobong Asap
pada kepul asap yang naik menerobos cerobong
atap, kusampaikan sebuah risalah keluh kesah petani garam; yang geram dengan
kebijakan panutan. Segelas harap diseduh: bebijian bijih menjelma kopi yang
asin. Sepoi angin menerpa baju usangnya, menerbangkan kelakar dan gelak tawa
penuh riuh. meregang nyawa dan zikir kepada tuhannya.
Mengingat buah pisang yang ranum. sekepul asap
yang naik menerobos cerobong atap, mengantarkan gelisah pada petani garam. Yang
harpa, meratap buah ranum semaian bertahun panjangnya. Mendendangkan
dawai-dawai yang getir: ia membelah udara, menerobos cerobong atap mereka yang
penuh harap. membelah pematang, menyapu padang gersang nan putih kian subur.
Seorang bocah berlari ke hadapannya:
menyampaikan risalah usang, penuh gelisah. Tanpa tedeng aling-aling. Seorang
petani garam telah menerima risalah. Risalah digit angka menjelma sejumput garam
yang geram. Meregang nyawa dan zikir kepada tuhannya.
//
seorang panutan meraih secarik nyawa, menyeduh segelas kopi yang terbuat dari bijih dan bebijian garam. Menekan digit-digit angka rekening, menuliskan riwayat senyum petani garam yang getir.
Pada kepul asap yang naik menerobos atap pagi
yang kemuning, sang panutan meraih secarik risalah ketir petani garam, menyeduh
segelas kopi, membaca huruf-huruf arca menjelma epitaf: membaca riwayat keluh
kesah petani, menghela napas yang sesak. satu seruputan kopi yang terbuat dari
bebijian garam, mengkristal, mengalirkan senyum yang getir ke kedalaman
kerongkongan. Napas dihela dan ia pun kembali menyeruput kopinya. Kopi berbau keringat
garam yang ketir: yang meregangkan nyawa dan zikir kepada tuhannya
di tepi pematang
subuh, as-Syifa', 07/02/2022.
Hablur
Matamu dunia
Pohon-pohon rindang dengan lengkungan alis hijau
Berkaca-kaca bulat coklat
Anak-anak telah lahir, permata terasing sauh-sauh segera jatuh
Kau, belum kunjung datang
dingin, kehangatan telah terenggut aku sangka
ini belenggu. nyeri di sana di mari, dingin dan sunyi
“sayang, aku segera pulang” sepucuk surat berkicau, namun.
penantian berujung ankabut
rapuh, doa-doa telah berletupan rapuh?
seorang panutan meraih secarik nyawa, menyeduh segelas kopi yang terbuat dari bijih dan bebijian garam. Menekan digit-digit angka rekening, menuliskan riwayat senyum petani garam yang getir.
Pohon-pohon rindang dengan lengkungan alis hijau
Berkaca-kaca bulat coklat
Anak-anak telah lahir, permata terasing sauh-sauh segera jatuh
Kau, belum kunjung datang
dingin, kehangatan telah terenggut aku sangka
ini belenggu. nyeri di sana di mari, dingin dan sunyi
“sayang, aku segera pulang” sepucuk surat berkicau, namun.
penantian berujung ankabut
Satu November
Seekor semut datang menggigit keningku.
Tenunan Ka’bah berhasil membentuk permadani.
Seekor semut datang lagi, mengirimkan air kepada bara yang menempel di kening.
Aku berharap; dosa akan lebur
Terbakar
Di antara kening dan tenunan Ka’bah ada halaman
Yang sangat hijau. Di kata-katanya juga ada halaman
Sangat luas. Di jalanku ada agnosia. Dosa berantai
Namanya
TujuhNovember
Garis lurus cahaya menerobos ventilasi di kepala pintu. Juga pintu-pintu di kepalaku. Sebuah tempat menampung penat, selepas diburu detak jarum jam menderu, semalam itu. pendar cahaya memacu langkahku menuju pintu yang lapuk. Embun menjelma kebisuan yang menyilet malam menyambut zikir pagi. meningkahi gontai langkahku yang gugu.
Di antara dentuman pagi yang lesu. Aku bangkit menata aksara menuju sukma ilahi. Meraih secarik wudu mengantarkan surat permohonan maaf pada-Nya. Aku merajuk pada kemuning cahaya itu. Merajuk pada wujud kelalaianku.
Aku gelar drama di atas tenun kabah melarik keluh dan sesal. Semua isi kepala, isi hati, isi kehidupan bahkan dunia. Madah melantun dari ujung lidah. Mata meram hati muram.
Alarm berdering, detak jantung menderu.
Aku berlari menuju digit-digit angka: membuka folder-folder usang. Membuka galeri: semua isi kepala, isi hati, isi kehidupan bahkan dunia. Madah melantun dari ujung lidah.
Alarm terus berdering, detak jantung kian menderu. Aku buka ponsel, ribuan angka dan huruf mati menjelma epitaf. Karena sebentar lagi, kematian menjemput kekasihnya.
Alarm terus berdering, detak jantung kini telah terhenti. Mata terkatup, dunia tumbuh di dalam kepala. Akar menjulur kuat menancap ke dasar hati. Madah terus terucap. Apakah keridaan Ilahi telah dirantai?
Syifa' 05/02/22
Abdul Aziz, penulis kelahiran Garut dan kini berdomisili di kota Padang. Alumni TMI Al-Amien Prenduan 2018, IDIA (Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien) 2022, salah satu pembina SSA (Sanggar Sastra Al-Amien).
Foto oleh Marek Piwnicki dari Pexels
Alhamdulillah, terimakasih banyak atas segala dukungan dan pelajaran yang diberikan admin dan kawan-kawan penyair. Semoga bermanfaat
BalasHapusIt realy good poerty that i ever found
BalasHapus