*)catatan harian buat fira
saat diberangus sunyi yang gelap
menyadari bahwa malam adalah kerajaan kelelawar
: jagat asing yang begitu seram!
saat kata-kata tak lagi mampu jadi peta,
seorang perempuan dengan kerudung rambutnya yang wangi
berdiri di seberang jalan sibuk membelai sayap kupu-kupu
dan matanya tak pernah ragu mengubah curah-curah gerimis
menjadi permainan cahaya warna-warni.
sihir yang memukau seorang penyair menemukan kembali roh kata-kata,
senyumnya mengubah penyair itu menjadi seorang pecinta
lantas membuatnya menggores langit dengan beribu-ribu frase dan larik-larik
puisi yang tak lagi murung kelabu
tak lagi jadi petualang dari dunia yang murung
namun telah menemukan satu keajaiban lagi, bernama: harapan dan riang
berkawan dengan satu keajaiban lain yang lama digenggamnya, disebutnya: kepedihan.
yang tangannya membelai sayap kupu-kupu
yang mampu mengubah curah-curah gerimis jadi cahaya warna-warni
: segenap pesona yang memaksa seorang penyair membentangkan kedua tangannya
memulai percakapan-percakapan baru tentang pagi, sakramen setia, dan mahabah cinta!
namun ia perlu sepetak tanah untuk menanam biografinya
dan penyair itu telah menemukannya di kening perempuan berkerudung wangi itu!
bersabar menunggui cinta tumbuh dewasa
kekuatan pesona yang membuatnya hanyut
ke kedalaman telaga di kening perempuan itu
kemudian, saat semua harapan berbiak dengan sempurna
maka senja tak lagi berarti juga malam tak lagi jadi mimpi menakutkan
sebab penyair itu telah menemukan sepasang matahari dan sebuah telaga
di kening perempuan dengan kerudung rambutnya yang wangi
matahari yang bilah sinar-sinarnya menjadi ribuan kunang-kunang di negeri tanpa cahaya
telaga di keningnya adalah mata air abadi tempat anak-anak dan segenap bunga-bunga
melepas dahaga dan membasuh lelahnya.
saat berenang di arusnya kita akan terpikat pada ombaknya
setiap kali berdebur menuju pesisir
bisik-bisik hatimu menemukan suaranya
dan segala kata telah temukan kitabnya
dari segala arah mata angin tak terduga
menyeret kita dalam pusar gelombangnya
meluncur dalam segala warna: terang, gelap, dan abu-abu!
memburu dan melacak cahaya-cahaya, menyusuri galaksi-galaksi
maka sunyi pun pecah meledak
segala yang tersembunyi dalam tirai menyingkap menjelma peta
: “kau di sampingku, aku di sebelahmu
kata-kata adalah jembatan
tapi yang menautkan kita
adalah senyum yang saling mengerling!”
*) untuk fira semata
sebelum semuanya sempat mencatatnya, segalanya bergegas melompat
semua jadi nisbi. Masa lalu, hiruk-pikuk global, ketabuan dan keterbukaan
diaduk dalam piring seng. Omong kosong jadi kitab primbon dipercaya sakti dan keramat.
aku wajib bertanya, bagaimana wajah anak-anak kita
di tengah hiruk-pikuk kebohongan, di tengah simpang-siur orang berganti-ganti topeng
dan sihir ekonomi menenung siapa saja dengan begitu miris dan mengerikan
sedang aku tak tahu pasti, masihkah kelak puisi-puisi sanggup tetap menjaga nurani
apa arti kita-kitab itu, pengetahuan-pengetahuan itu bagi anak-anak kita?
aku takut, mereka akan seperti socrates yang termangu sendiri di teras rumahnya
sedang orang-orang berduyun silau terpesona uang dan jabatan
apakah kitab-kitab itu bisa menjadikannya lebih agung dan terhormat?
sedang di sisi lain, dasi, kursi dan mobil lebih pantas dihitung dibanding otak dan nurani!
ini hanyalah kesadaran untuk membuat jiwa waspada,
teguh dalam sikap. Indonesia ini barangkali memang bukan tama
yang permai bagi tumbuhnya anak-anak kita, socrates-socrates muda kita.
tapi, janganlah takut dalam kemiskinan dan kesendirian
karena dalam bilik itu kelak akan kita lahirkan pemimpi-pemimpi baru.
anak-anak kita, socrates-socrates itu
akan turut memberi tanda pada Indonesia yang berlari!
PERAHU INI KEKASIHKU
sebagai tanda pinangan, pertukaran kemerdekaan
ada sebuah lampu, serta seorang penyair di dalamnya
akan menemanimu jelajahi sudut semesta, inci demi inci
kita petik matahari lewat tangga pelangi
menembus ombak-demi ombak menuju rahasia pusat semesta cinta
akan mengulang rute-rute bapa Adam
saat dulu mencari wajah Hawa yang hilang
bersama daun-daun surga di genggamannya
walau kelak samudera akan menelan kita
seperti seorang bunda yang merengkuh anaknya
ke dalam pelukannya, ke dalam pusat jantungnya.
mendengar merpati mengibas-kibaskan sayapnya
berkisah tentang malam yang tiba-tiba punya seribu mata
serta purnamanya yang sempurna, amat sempurna, menghangati darah
maka, biarkan mawar berbiak di segenap nadi mengubah langit sekejap jadi biru
serta awan-awan di langit mengeja abjad-abjad namamu.
lantas menjadikannya: tiada!
di antara sajak-sajak shakespeare dan kakawin rama sinta.
kita menyimaknya kembali sembari menyirami mawar
yang terus bertunas merah sampai saatnya nanti ulat-ulat berbulu mencabik-cabiknya
membuat daunnya meranggas dan tinggal duri-durinya menjadi dendam yang pasti
jadi tempatku bertapa di antara helai-helai rambutku
menjulur hingga sampai laut selatan
di situlah anak-anak kita
asyik meluncur bermain ayunan
sembari menyimak siul daun-daun
nikmati gairah embun pada matahari
hingga menyeberangi sungai-sungai yang lain
kelak menjadi sutera sayap anak-anak kita
jadi dawai harpa mengiringi tarian mereka
mengisahkan riwayat bergantinya musim demi musim
meniru riwayat kepompong
berguru pada yang bernama: kesabaran!
di situ pulalah akan kutanam sebuah pohon
kelak rantingnya menjulur ke gerbang surga
dan akarnya menjalar ke pusat semesta.
semuanya adalah potret putih, seputih melati dengan jejak bau yang selalu memburu
semuanya telah menjelma untaian bulu-bulu merpati selalu menyanyi sepanjang dini hari
tentang ombak, camar, matahari juga tentang: matamu
sekejap kita akan bertukar teka-teki tentang nafsu dan cinta
lantas, kita pun tersenyum dan bergegas berburu kesetiaan
tentang kebun dan kembang, tentang cinta dan kehidupan
kita bibitkan kembali tunas-tunas pengabdian lewat dongeng kenangan
berciuman sepanjang hari
lelahkah kau setelah mencatatkan jejakmu pada paruh matahari?
atau seperti embun malam yang rebah di daun dan reranting pohon
tentang seonggok cinta yang selalu biru menyanyikan kangen yang gelisah dan cemas
engkau akan menangkap isyarat-isyarat itu
: kangen yang bertapa seperti karang
tempat laut menitipkan gelombangnya.
sepotong rindu yang seliat warna malam
yang mengabu karena dicekam sepi
gelisah yang menggumpal jadi pecahan-pecahan karang
dan kangen itu berlumut di sana jadi prasasti: tentang gairah gelombangmu.
mengusung segenap kosa kata tentang rindu itu
lantas mengabadikannya jadi mantra-mantra gaib.
sungguh tak pernah serahkan hidup
pada: cinta
sebab ia tak pernah memiliki
atau diberi pilihan.
sejak betisnya menyala warna kencana
dan para pujangga dan segenap penujum
dengan takjub dan mulut menganga,
sambil meremas-remas pelirnya sendiri
serta merta menunjuk-nunjuk keningmu
yang katanya; ada taksu bertengger di sana.
takdirnya aneh dan asing
saat dibawa ke sebuah kota yang pekat
bersama budak dan sapi-sapi.
kota dengan pagar berbatu
di tengah-tengahnya berserak kuil
berpancang lingga berbola-bola besi
mendongak tegak menantang langit
mengancam lobang selangkang
kuil-kuil kaca menjadi tempat berdiammu
: menyisir rambut dan memulas bibir sewarna betismu!
seperti duyung penjaga pantai
tak boleh engkau berpikir tentang
tresna dan cemburu
sebab engkau tak diperbolehkan memilih
hanya untuk dipilih,
serupa keberuntungan atau kutukan
yang harus dilakoni.
di atas ranjang-ranjang bermahkota
tak pernah berupa syair cinta,
namun sekedar desah mengerang
pada lapis kenangan ranjang kayu
dan serpihan kelambu masa lalu
garis tanganmu tak dibolehkan
menuliskan segala kesedihan dan sakit hati
engkau hanya akan dipinang oleh waktu
kebanggaan yang disandang bahu anak-anak kandungmu
diam-diam engkau harapkan cinta
yang sanggup membawamu
melompat dari ceruk paling curam
namun sejauh engkau melompat
anak-anakmu telah dikutuk
: berhati batu!
/1/
mengabdikan diri dalam kekekalan warna ini
dengan bertumpuk-tumpuk mahabah, membaca urat cinta
kami menyusuri lobang-lobang dan suram yang liat
bernafas dalam percakapan yang dingin dan bisu
mendengar kembali riwayat-riwayat mahabah yang pernah disabda
dan memahatkan segala wasiat yang dibisikkan sebelum mereka mati
seperti para penyair dengan kaca pembesar menelisik frase kata-kata
/2/
serupa juru tenung yang menghafal mantra-mantra
kami juga merawat segala pesona irama dan garis
yang tak pernah berhenti mengejapkan mata
agar selalu terjaga supaya tidak kehilangan masa lalu
yang berarti akan menjadikan kita tak bisa melacak masa depan
/3/
tugas kami seperti juga para penyair
menjaga memori kisah-kisah cinta di atas sampan di sungai tradisi
agar selalu meluncur tak hanyut pada lautan asing
menjadi juri mudinya yang menemukan sekaligus membentuk
/4/
kami, para perawat mahabah ini sadar
cinta adalah kemampuan menemu-membentuk, bukan mencipta
kemauan untuk bertahan membentuk yang usang
menemu yang baru yang sebenarnya telah berabad-abad lalu
bersedekap di balik bait kidung mantra-mantra purba
ngawi-tambang grojokan