Senandung Lara Malam Takbiran - Rhian D'Kinchai



Cerpen Rhian D’Kincai
Senandung Lara Malam Takbiran

Suara takbir yang berkumandang dari mesjid dan radio tetangganya membuat pria itu larut dalam kemurungan. Hatinya pedih, bathinnya luka, walaupun tak ada dendam. Apalagi berniat meninggalkan Nuraini istrinya. ya dia telah bertekad untuk menggengggam kata “ Setia “ seperti setianya Teluk Bungus memberi keindahan setiap senja menjelang malam.

Di rumah petak kontrakan itu ia terbaring sendirian, anak dan istrinya telah pulang ke kampung tiga hari lalu. Pria itu sebelumnya telah melarang istrinya pulang kampung. tapi karena merasa malu pada tetangga, wanita yang terpaksa ia seret ke lembah kemiskinan itu tetap bersikeras. Nuraini merasa malu pada tetangga karena tak punya uang membuat kue untuk menyambut lebaran.

“Apa kata orang nanti bila mereka datang ke rumah ini kita tak bisa memberinya kue lebaran. Apa yang akan kuberikan pada anak tetangga yang datang berlebaran, sekalian ‘manambang’ yang lebih mengharapkan diberi uang ketimbang disuguhi kue,” kata istrinya menguatkan alasannya untuk pulang kampung saja pada lebaran tahun ini.

Rasa kelaki-lakian tersinggung. ia ingin marah. tapi ia merasa itu bukan haknya lagi, sekurang-kurangnya untuk saat sekarang ini. Hampir satu tahun ia menganggur. Selama itu pula tabungannya, juga tabungan istrinya dijadikan penyambung kehidupan berangsur habis. Tidak itu saja. Satu-satu perabot rumah mereka dijual untuk biaya hidup dan membeli susu anak mereka yang membutuhkan gizi untuk pertumbuhannya, agar bisa berkembang dengan baik. Sehingga kini tak ada lagi benda berharga yang mereka miliki.

Bukan ia tak mencoba mencari pekerjaan untuk menutupi biaya sehari hari setelah usaha penerbitan yang dikelolanya bangkrut Tapi ia tak punya keahlian apa- apa selain pengetahuannya dibidang penerbitan, sehingga sulit baginya mencari pekerjaan. Selain itu operasi usus buntu yang dijalaninya tahun lalu membuat ia tak bisa bekerja keras secara pisik.

Terkadang ada juga bantuan membuat ilustrasi atau hal- hal yang menyangkut penerbitan buku. Tapi kesempatan itu jarang sekali diperolehnya. Karena kebanyakan dari teman – temannya merasa sungkan, sebab ia pernah menjadi orang penting pada sebuah penerbitan majalah remaja.

“Sebaiknya kita pulang kampung saja Da Man. Disana kita tidak terlalu banyak tamu. Malah kita yang menjadi tamu di tengah keluargaku. Jadi tak usah memikirkan masalah kue dan lain sebagainya,” ajuk istrinya sebelum berangkat tiga hari yang lalu.

“Apa? aku ikut pulang? Tidak! Aku tak mau, Kemana akan kuletakkan harga diriku sebagai rang sumando.

Apa kau lupa kalau kampungmu itu gudang cimeeh terbesar di dunia ini. Mereka mengenalku sebagai seorang yang memiliki perusahaan penerbitan terkenal. Tapi itu dulu, dimana aku bisa memenuhi ketentuan-ketentuan adat yang sebenarnya tak lebih dari perbuatan riyya menurut agama, Namun Kini boro – boro untuk memberi bantai dan lain sebagainya untuk makan kita besok saja belum ada, “ kata pria bernama Arman itu.

Entah karena sudah tak betah lagi dengan kemisikinan yang mencekam mereka, entah sebagai salah satu protes tak langsung kepada suaminya karena tak mampu memberinya kepuasan materi. Akhirnya Nuraini memutuskan pulang kampung tiga hari menjelang lebaran dan membawa anak mereka ikut serta.

Arman menyesali tindakan istrinya, namun ia tak bisa berbuat banyak untuk melarang wanita itu pulang kampung. Ia memaklumi semuanya. Malah menurutnya, Nuraini telah terlalu banyak menderita selama menjadi istrinya. Tidak saja mendeira karena selalu kekurangan belanja, yang terkadang ia bekerja apa saja untuk ikut menanggulanginya.

Wanita itu juga sering dicekam kesepian, karena bukan tak jarang Arman berhari-hari tak tidur di rumah karena mengurus sesuatu yang diharapkan bisa menghasilkan uang. Dan untuk semua itu hanya sekali ia menangis. Yaitu ketika anak mereka diserang demam panas. Sementara ia tak tahu kemana ia harus mencari suaminya.

Pria itu merasa ada sembilu yang menyayat hatinya, ketika anaknya yang berusia satu setengah tahun itu melambaikan tangan dengan terbata – bata mengeja kata “ Da.....da... da........pa-pa “ Saat meninggalkan rumah petak itu, bathinnya menangis kendati ia paksakan juga tersenyum untuk melepas istrinya dan anaknya pulang kampung.

Sebenarnya dengan sejumlah uang yang ia berikan minggu lalu, Nuraini bisa membuat kue untuk sekedar penyambutan tamu yang datang berlebaran ke rumah mereka. Tapi istrinya itu memilih berkumpul bersama familinya di kampung ketimbang berlebaran dengan suaminya dengan segala kemiskinan yang mereka miliki. 

Hal itu sempat membuat Arman merasa harga dirinya sebagai seorang suami dilecehkan. Tapi ia teramat mencintai Nuraini, terlebih lagi anak mereka satu – satunya. Ya. ia tak ingin anaknya kehilangan kasih sayang seorang ayah seperti yang pernah ia rasakan. karena ayahnya meninggal sebelum ia mengenal lelaki yang menjadi ayahnya itu. Kalau ia menurutkan ajakan iblis agar dia memperlihatkan kesombongannya sebagai lelaki.

Sampai saat ini, meskipun Arman berstatus penganggur, masih banyak wanita lain yang mau mendampinginya. Itu ia tahu pasti. Tapi ia korbankan perasaannya demi keutuhan sebuah rumah tangga dan masa depan anaknya, meski pun ia kini direjam sepi dan gelisah dirumah kontrakan itu dimalam takbiran. 

Takbir, tahlil, tahmid dan tasbih masih terus berkumandang dan orang-orang yang ‘menang’ dalam melawan hawa nafsu selama bulan Ramadhan maupun yang sekedar ikut menang bercengkrama dengan kebahagiaan masing-masing. Tapi pria bernama Arman itu tidak. Hatinya pedih bathinnya luka karena pada malam yang berbahagia itu orang orang yang dikasihinya meninggalkan ia berteman nestapa dan dukana. 

Dua tetes air mata bergulir di pipinya, namun di dadanya bergemuruh selaksa doa. "Tuhan, beri aku kekuatan untuk menggenggam kesetiaan...............” desisnya.**

Mei 1990

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak