
Aku Menangis
Namun bukan hanya itu
Mengenal pekerti, itu lebih suci
Kau pernah menatap ngeri
Tak gentar sedikit darah di nadi
Kupacu kau bermimpi biar jadi
Cukup ingat kita pernah di sini
Kuajar kau meski tertatih
Mengapa sarinya kau buang ke tepi
Warta tentangmu tak pernah manis
Kau beri balas lelahku
Hanya dengan tangis
Kau caci maki di jalanan, itu aku dengar
Kau sakau pada barang haram, itu aku dengar
Kau mabuk-mabukkan di jalanan, itu juga aku dengar
Demi segala tingkahmu
Kini aku yang kau eja dalam puisi
Aku yang kau puja dalam melodi
Tunduk menatap sepatu lusuh
Kau tikam belati tepat di ulu hati
Di sudut kini kupergi menepi
Bukan mati cita di hati
Namun bertanya pada diri yang kian ringkih
Ke mana kan pergi napas pertiwi
Pongah
Menggaris nasib tidak sama
Kepada manusia yang hidupnya fana
Maka mengapa pongah dibawa?
Begitu pun pergi
Hanya secarik lekat di badan
Lantas mengapa pongah dengan yang ada?
Ketahuilah
Bahkan bisa sebait puisi jauh lebih dikenang
daripada sebuah nama
Ribuan sajak masih segar
Mekar merekah, kemarin
Larik-larik puisipun bagai mati
Tidak bernyawa lagi
Karena darah anak tanah tertumpah ruah
Kemarin
Tanah tak berkotak
Begitu dekat
Namun kini
Selepas bangun pagi
Dunia bagai dibagi, bak disekat
Putih dengan putih
Merah sama merah
Tiada lagi harmoni
Tiada lagi damai
Semua bagai mati
Bukan lagi mati suri
menanti senja turun di pantai ini
Semarak angin
menerbangkan daun
Apakah kau sedang sepertiku?
Telah kutunjukkan pinanganmu di jari ku
Kepada seluruh di semestaku
Namun negerimu nun jauh di sana.
Membuat ragu hati berlabuh.
Telah kau rangkul hatiku
Tetapi bukan hidupku
Sedang gelap enggan berteman sepi
Apalagi aku.
Tak bisa aku.
Hidupku ada di negeriku.
Pinanganmu dari negeri seberang
Kulepaspergikan lewat seribu gelombang
Menghantam karang
Ketahuilah saat ini
Aku telah pergi dari pantai ini
Maka ingatlah ini!
Aku tak pernah di sini
Apalagi menunggu di sini
Di depan cermin bisu
Bekas kecup semalam
Entah siang
Tugasnya memaki dan mengutuk
Dia masih pelacur mainan rupiah
Seakan malu buka dan baca
Hanya lebih baik membaca, baginya
Sebab dosa kian telanjang di matanya
Surga memang bukan miliknya
Tapi untuk itu jalangnya
Bukankah Tuhan bernyawa
Pada setiap amal manusia ?
Nancy Mangkut, merupakan nama pena dari Venansia Kurniati Mangkut, Lahir di Nekang, 01 April 1990. Menamatkan pendidikan terakhir di program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (STKIP st. Paulus Ruteng). Mulai aktif menulis di beberapa media online sejak tahun 2016, sebagai penulis cerpen dan puisi. Ada beberapa judul cerpen seperti: Doa dari Port Moresby, Dorothea, Wanita Penanti Doa. Juga menulis puisi di beberapa media. Dan mengisi kolom sastra pada beberapa chanel YouTube. Sekarang bekerja sebagai guru sekolah dasar di SDK Ruteng V Nusa Tenggara Timur.
Mantap mbak Nancy
BalasHapusMakash
BalasHapusHallo ipeeee
BalasHapus🥰🥰🥰