
Foto oleh Lisa Fotios
KUDA-KUDA BERLARIAN
MENJADI PUISI
: Umbu Landu Paranggi
Kuda-kuda berlarian ke seluruh negeri
Menjadi puisi pada secarik kertas
Dibaca kisah oleh jalan Malioboro
Kuda putih menjelma kerahasiaan arti
Kuda merah berlari mengejar tujuan
Ditafsiri para musafir menjadi kredo
Engkau tak pernah lari atau sembunyi
Menulis puisi bukan mencari tenar
Memilih kehidupan sunyi tanpa ego
Jember, 17 April 2021
: Umbu Landu Paranggi
Menjadi puisi pada secarik kertas
Dibaca kisah oleh jalan Malioboro
Kuda merah berlari mengejar tujuan
Ditafsiri para musafir menjadi kredo
Menulis puisi bukan mencari tenar
Memilih kehidupan sunyi tanpa ego
Menjelma kuda putih berlari
Begitu lapang tanah Sumba dan Bali
Ujung ke ujung pengembaraan memilih sunyi
Angin dan ketenangan
Nyanyian dan kebahagian
Dengan puisi menempuh jalan
Umur mencumbu setiap ketabahan
Aku ingin bersaksi
Ruh kuda putih berlari
Ada banyak doa mengikuti
Nirwana tempat untuk kembali
Gembala menemukan rumah abadi
Gelisah yang fana hilang dari dalam diri
Isyarat kepergian menjadi ingatan paling imaji
Eja musim panen padi
Nasib tak perlu ditangisi
Yang wajib hidup disyukuri.
Angin mengapus keringat pipi
Ikatan jerami di punggung menari
Risalah petani yang luput ditulis puisi
Engkau para penyair ditelan diksi
Rumah mewahmu di tengah kota sepi
Akan menjadi ruangan kosong tanpa arti.
Mulia hidup adalah ketenangan yang berseri;
Ini risalah penyair jerami, risalah seorang petani
Ibarat kutulis metafora siang
Aku menulis puisi dan syair
Waktu terasa mengalir seperti air
Ada diksi kerinduan terlintas dan hadir
Hingga dedaunan terdengar oleh angin semilir
Olah imaji menjadi debar dendang
Hikayat seorang penulis duduk tenang
Olah rasa pada semesta terang-benderang
Nyanyian burung perkutut liar menambah riang
Isyarat pohong pisang zikir
Sekhusuk hati seorang penyair
Aku menulis tentang kekasih lahir
Nama yang selalu membuatku berpikir
Getaran demi getaran merasuk dalam syair
Ujung gunung Pringgitan bergairah
Jejak kebahagiaan tumbuh di sawah
Aku melihat banyak senyum yang tuah
Naluri menemukan keutuhan niat langkah
Ingatan bersetubuh dengan aliran darah
Ada detak pada setiap gerak
Nikmat seperti hujan tanpa babak
Angin berembus menambah semarak
Hingga membuat anak kecil bersorak-sorak
Oase ketenangan
Niscaya kebersamaan
Obati rindu setiap harapan
Rasa yang lama menanti hujan
Oktaf yang tak tertulis pada ucapan
Gunung Pringgitan, sawah dan dedaunan
Oh tanah Ponorogo, hujan membawa keyakinan
Eja waktu menjadi imaji
Nafas jaman ziarah di hati
Yang membuat hidup tak sepi
Utuh pagi mencumbu bibir berseri
Malam pun terasa seperti kota mimpi
Erat memeluk diri
Obati lelah setiap hari
Rasa menemu banyak arti
Akan hidup yang kadang nyeri
Nada kebahagiaan menjadi bunyi
Gairahku menjelma sinar matahari pagi
Senyumnya semangatku
Tak ada hal lain dalam hidupku.
Rindu menjalar ke seluruh jarak usiaku
Ingatan akan selalu membingkai senyum istriku
Engkau begitu erat
Luka tak pernah sangat
Usia kita mencumbu hasrat
Kepada waktu mesra tak khianat
Apa yang menjadi ketetapan hati, ibarat
Nafas yang menghirup udara pagi tanpa syarat
Adalah pelukan mesra
Nikmat yang tak berdusta
Gairah yang direstui semesta
Ingatan semakin utuh
Kata mesra segenap peluh
Erat pelukan mendekap luruh
Naluri usia mengeja rindu seluruh
Air mata membuat kemesraan simpuh
Nikmat segala rasa menjadi lembar teduh
Getaran hati sampai ke telinga terasa ditabuh
Seperti mata membaca cumbu
Isyarat pelukan dikenang tanpa seteru
Angin dan seluruh daun tak pernah cemburu