Terkapar sejumlah tisu,
Di lantai kusam yang masam,
Menyisakan dingin termaktub,
Pada malam resah sebab,
Sunyi datang meninggalkan sepi.
Menenggak air mata yang jatuh,
Membasahi luka; dalam ingatan yang berjamur,
Berharap gugur segala rindu,
Menjadi debu tersepak angin sendu.
Jakarta, 2022
Menyapa belatung yang sibuk,
Menyantap tikus tewas membusuk,
Selayaknya hari kian berguguran,
Tanpa kesan berlabuh di matanya,
Tanpa makna yang meringkuk di kakinya.
Yang menyelinap di bibir sebagai janji,
Kerap sulit ditepati akhirnya mati menjadi,
Bangkai dikerubungi lalat tak berbudi,
Bercumbu dengan bakteri hingga lenyap,
Seiring waktu berjejalan, pergi dengan senyap
Jakarta, 2022
Kusematkan doa-doa,
Pada jaket jinsku yang lusuh,
Tentang siang tak lagi terik,
Ihwal malam tiada gigil.
Yang merekat pada alunan melodi,
Secercah kisah menyelinap di kaki berdebu,
Merasuki kalbu sebagai cinta semu,
Ketika puisi kutuliskan;
Rindu menyapa lembut,
Pada tiap rambut seorang jelita,
Tertiup angin petang menyisakan asa,
Berguguran di tubuhku yang ringkih,
Berlari menjauhi sunyi menuju pantai,
Dengan debur ombak galak menantang karang.
Jakarta, 2022
Ini malam terus gelisah,
Sebab lama kita tak mendesah,
Tak bersua dalam ranjang penuh kisah,
Kala aku menggigit bibirmu seperti bocah,
Menyantap kue bolu.
Kau menjauh sebab pilihanmu adalah waktu,
Yang berjalan seraya memegang belati,
Untuk bisa kau tikam dalam perutku yang lapar.
Dan cinta bergelimang dusta tercecer di bantal,
Tempat dikau mengecup kening seorang pria,
Yang terlelap dalam kesakitan lalu terbangun,
Seolah mentari hangat akan terus menyinari,
Jiwa gigil mendekap hampa.
Jakarta, 2022
Dalam kepalaku yang bebal,
Para babi belajar menulis puisi,
Anjing syahdu bernyanyi,
Sepasang kucing bersanggama tiap hari.
Sedang menusia menikam diri sendiri,
Dengan kata-kata motivasi.
Jakarta, 2022
Terperosok ke jurang,
Tewas menganga dengan dosa-dosa,
Berbiak dari bangkai manusia,
Dikerubungi para belatung
Yang menyantap luka.
Tangis penyesalan,
Selayaknya gumpalan debu,
Bergumul dalam bibir penuh abu.
Terbakar janji yang kini telah mati.
Amis darah menyeruak,
Mengetuk hidung,
Menyentak kalbu teringat,
Memori kelam kala,
Jemari saling mengutuk,
Siapa yang lebih dulu mati,
Menyisakan puisi.
Tewas menganga dengan dosa-dosa,
Berbiak dari bangkai manusia,
Dikerubungi para belatung
Yang menyantap luka.
Selayaknya gumpalan debu,
Bergumul dalam bibir penuh abu.
Terbakar janji yang kini telah mati.
Mengetuk hidung,
Menyentak kalbu teringat,
Memori kelam kala,
Jemari saling mengutuk,
Siapa yang lebih dulu mati,
Menyisakan puisi.
Jakarta, 2022
Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4
Juli 1998. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat di buku antologi puisi
“Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019”. Termasuk 115 karya terbaik
dalam Lomba Cipta Puisi Bengkel Deklamasi 2021. Puisinya juga dimuat di media
seperti labrak.co, litera.co.id, kawaca.com, Majalah
Kuntum, Majalah Elipsis, Radar Cirebon, Radar Malang, koran Minggu Pagi,
Harian Bhirawa, Dinamika News, Harian Fajar, koran Pos Bali, Riau Pos, Suara
Merdeka, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Kediri, Nusa Bali, Suara Sarawak (Malaysia), dan koran Merapi.
Instagram: @ardhigidaw. WhatsAap: 087819823958.