KETIKA RINDU ITU PERGI
ada rasa yang samar kurasa
ketika dengan lantang kau nyatakan
rindumu selalu ada untukku
di penghujung sore itu
saat semesta tanpa sengaja pertemukan kita
rasa ini pernah kita miliki bersama
berjalan seiring mimpi yang ingin kita raih
tetapi tak pernah ada kata sepakat
kau berpaling, aku berpaling
sesaat aku pernah menunggumu
untuk kembali
tetapi langkahmu semakin jauh
aku terlalu lelah untuk kembali
biarkan saja karena rasa itu telah pergi
Husnayain Rumi
METAFORA PENAT
Keringat menjadi hujan baluti
tubuh
Mata keram bak karang juga kerang kerap terkarang
Selimuti diri nyeri berseri dari serangan sang ratu kantuk
Bersandar pada dinding lelah
Berpijak pada lantai letih
Menghadap pada asa harap
Lelah mengabai semangat yang semula terkobar bakar
Jemput singgah di gubuk sibuk
Pada lubuk jiwa dada muda
Sempat sempit waktu terhimpit
Memaksa capai berbagai harap masa depan
Genggam kepal jari tangan
Membungkuk hadap kepala tuju arah depan
Lutut tersimpuh kaki terapit
Lelah bersalah pada arah
Lelah berserah pada resah
Selimut lelah bersemayam dalam tubuh tak gairah
Sejumpuh cita-cita menaruh kabul pada gumpalan perjuangan
I Wayan Suartha
TANAH LAHIR
Menyusur kembali tanah
lahir
berkali menggali mencari arti
tanah tua tanah aksara
aku ingat dongeng tetua
terbawa mimpi
tutur luhur perjalanan leluhur
seberapa bisa menirunya
dalam restunya senantiasa mengalir
menghabiskan hari hari
panjang
tanah cinta tualang pengembara
terdengar tembang dari desa pedusunan
upacara bumi gunung dan samudra
telah tergelar
biarlah aku disini
rumah tua halaman terbuka
tanah tua menyimpan pesona
sungguh aku mencintainya
94 – 20
I Wayan Suartha
KABAR AKHIR TAHUN
Satu waktu aku punya
kerinduan
setumpuk tanda tanya bergelayut
kekecewaan dan rasa sakit
kukabarkan padamu akhir tahun
terbayang kau akan mengejekku
menghadapi hidup dan hari hari tua
satu kata sajak
simpanlah dengan kesetiaan
satu waktu kau punya
kerinduan
datanglah ke rumah
halaman rumahku yang terbuka
kaktus kaktus sudah tak ada
karena di sini mengenang percakapan akhir tahun
dalam kantuk yang menjadi jadi
sudah sekian lama tak pernah bertemu
aku ingin menikmati sajak sajakmu
kabarkanlah aku satu sajak
cukuplah sahabat
Januari 21
I Wayan Suartha
LUKISAN MASA LALU
Lukisan masa lalu
tergantung di dinding timur
setiap kau punya waktu
tataplah lama lama
garis tegas tebal ke dalam
garis nasib sakit yang panjang
warnanya suram wajah pemurung
masa lalu orang tua
tanpa kata kata
anak anak meraba garis
dan warna
matanya menangkap
waktu sudah sangat berjarak
anak anak menggumam
kemudian diam diam membuat kanvas
menarik garis dengan pena tajam
memberinya warna
setelah menyusur nasibnya
dan memeluk masa lalunya
Februari 21
Ida Bagus Gde Parwita
RAHASIA SUNYI
Nafas bulan
mengalir menembus waktu
gelombang menghempaskannya pada kesunyian
angin membasuh cuaca pagi
perlahan menggetarkan lubuk hati
hidup terlukis dari suka dan duka
saling setia
bagai ombak laut membasuh bibir pantai
dalam perjalanan panjang
kehidupan ini
semua yang tumbuh bermula kecil
rahasia sunyi hanya sinar pagi
menembus dingin embun
gelombang yang mengayuh jiwaku
menghias bergantian
rintik gerimis mengasuhnya
cinta dan kerinduan selalu tercipta
untuk menguji ketulusan
ataukah kegelisahan
sebelum rahasia terbuka
(2021)
(2021)
Ida Bagus Gde Parwita
NYANYIAN
KETULUSAN
Kurajut sisa kenangan mengingat ketulusan
agar selalu mengalir menembus waktu
harapan bukanlah impian
namun keindahan yang terlepas
meminang kesetiaan melantunkan nyanyian rindu
untuk dikenangkan
saat dingin cuaca makin mendekat
angin berembus membelai gerimis perlahan
menyatukan tiap tetes embun
berharap kemesraan lautan
muara abadi nyanyian penghabisan
segenap luka yang tak tertahankan
jiwaku memudar dalam dekapan waktu
kesunyian telah menghempaskannya
bersama gelombang
mengikuti hamparan teluk yang berliku
menunggu hati ini bergetar
membasuh kehidupan
(2021)
Indra
Jaya
KEMBALI JADI ARTI
Kepala jadi pusing
pikir kata tak mau turut pada kalimat
Kalimat enggan ikut paragraf
juga begitu paragraf lari dari wacana
walau begitu
cari tanda di sela kalimat
hanya temu huruf deret deret pisah kata
Kepala tambah pusing
kata tak mau turut pada kata
kalimat enggan ikut kalimat
bahkan paragraf lari dari paragraf
kini wacana diam sendiri
bingung sendiri
melongo sendiri
ada apa dengan kepala
jadi pusing tambah pusing
oh...ada hilang pada kata
kembali jadi arti
Maros#bulanbahasa28102020#
Inuvati Jalal
MANIS MADU
Setiap semilir berhembus
dari arah belakang
Aku berteduh di bawah bulu-bulu sayapmu
Mengeja kata-kata yang mengapung
Di atas air keruh
Kak,
Kau adalah nahkoda barisan hitam di atas buku,
Segala runcing bermula dari keccapmu
Menikam pada setiap kata-kata yang kaku
Menerjang pada setiap ruang buntu
Mengkoyak larik-larik syair beku
Dan aku, tak bisa
membalas manis madu
Yang keluar dari sengatmu, tapi kuakan berusaha
Agar manis madu tetap termaktub di atas puing-puing syairku
Sumenep, 29 Januari 2020
Isma
Hidayati
PAKSAAN
Kini aku menulis sebuah
kata
Kata hati yang terdalam
Tidak tahu apa yang kurasa
Melihat senja tenggelam
Untaian kata kalimat menyatu
Menjadi senda gurau
Andai ini bayangan
Atau hanya sebuah angan-angan
Sebuah mimpi yang tidak biasa
Menghirup sebuah angin bebas
Letih rasanya terlihat biasa
Terlalu banyak orang malas
Ingin aku memaksa
Sebuah impian dengan asa
Jalan dengan tujuan
Setiap langkah dengan doa dan ikhtiar
Selalu berusaha bangkit
Tanpa rasa mengenal sakit
Jabariah Abbas
LIRIK RINDU LAUT
Aku berkaca pada butir
pasir
Mengeja lagi bait puisi hati
Yang dititipkan senja pada biru laut
Terukir sekuat karang cadas
//
Ombak menggulung membuncah rindu
Merayu bibir pantai membentuk tarian buih
Berdendang khusu jiwa kesadaran
Lirik lagu sukma tak putus memujiNya
//
Diri tiada hanya kekosongan
Sebab dimanapun mata memandang
ombat tak pernah sunyi
Laut tak pernah tidur melafadz tasbih
//
Kesunyian laut selalu jujur
Membaca setiap jejak dan lirik rindu
Yang engkau sembunyikan di balik gelora
Ombaknya yang berkejaran
Jabariah Abbas
MATAHARI MATA AIRKU
Ibu adalah separuh jiwa
Mengalir dalam hidup
Seperti nafas yang menjadikanku ada
Senyumnya seperti matahari pada semesta
//
Kasih sayangnya seluas samudera
tercurah kalahkan letih raganya
Nalurinya tajam bagai cermin
Kuat bagai langit menjaga harmoni keseimbangan
//
Setetes air mata luka yang menyayat hatinya
Kelak menjadi petaka hingga ke neraka
Tapi itu tak pernah ibu tampakkan
Dia membasuh lukanya dengan air syurga
//
Tuhan letakkan syurga pada telapak kakinya
Rahimnya menyulap amarah menjadi bait doa
Ibu kasih sayang yang tak pernah usai
Menjadi matahari mata airku
ketika dengan lantang kau nyatakan
rindumu selalu ada untukku
di penghujung sore itu
saat semesta tanpa sengaja pertemukan kita
rasa ini pernah kita miliki bersama
berjalan seiring mimpi yang ingin kita raih
tetapi tak pernah ada kata sepakat
kau berpaling, aku berpaling
sesaat aku pernah menunggumu
untuk kembali
tetapi langkahmu semakin jauh
aku terlalu lelah untuk kembali
biarkan saja karena rasa itu telah pergi
METAFORA PENAT
Mata keram bak karang juga kerang kerap terkarang
Selimuti diri nyeri berseri dari serangan sang ratu kantuk
Bersandar pada dinding lelah
Berpijak pada lantai letih
Menghadap pada asa harap
Lelah mengabai semangat yang semula terkobar bakar
Jemput singgah di gubuk sibuk
Pada lubuk jiwa dada muda
Sempat sempit waktu terhimpit
Memaksa capai berbagai harap masa depan
Genggam kepal jari tangan
Membungkuk hadap kepala tuju arah depan
Lutut tersimpuh kaki terapit
Lelah bersalah pada arah
Lelah berserah pada resah
Selimut lelah bersemayam dalam tubuh tak gairah
Sejumpuh cita-cita menaruh kabul pada gumpalan perjuangan
TANAH LAHIR
berkali menggali mencari arti
tanah tua tanah aksara
aku ingat dongeng tetua
terbawa mimpi
tutur luhur perjalanan leluhur
seberapa bisa menirunya
dalam restunya senantiasa mengalir
tanah cinta tualang pengembara
terdengar tembang dari desa pedusunan
upacara bumi gunung dan samudra
telah tergelar
biarlah aku disini
rumah tua halaman terbuka
tanah tua menyimpan pesona
sungguh aku mencintainya
94 – 20
KABAR AKHIR TAHUN
setumpuk tanda tanya bergelayut
kekecewaan dan rasa sakit
kukabarkan padamu akhir tahun
terbayang kau akan mengejekku
menghadapi hidup dan hari hari tua
satu kata sajak
simpanlah dengan kesetiaan
datanglah ke rumah
halaman rumahku yang terbuka
kaktus kaktus sudah tak ada
karena di sini mengenang percakapan akhir tahun
dalam kantuk yang menjadi jadi
sudah sekian lama tak pernah bertemu
aku ingin menikmati sajak sajakmu
kabarkanlah aku satu sajak
cukuplah sahabat
LUKISAN MASA LALU
tergantung di dinding timur
setiap kau punya waktu
tataplah lama lama
garis tegas tebal ke dalam
garis nasib sakit yang panjang
warnanya suram wajah pemurung
masa lalu orang tua
tanpa kata kata
matanya menangkap
waktu sudah sangat berjarak
anak anak menggumam
kemudian diam diam membuat kanvas
menarik garis dengan pena tajam
memberinya warna
setelah menyusur nasibnya
dan memeluk masa lalunya
gelombang menghempaskannya pada kesunyian
angin membasuh cuaca pagi
perlahan menggetarkan lubuk hati
hidup terlukis dari suka dan duka
saling setia
bagai ombak laut membasuh bibir pantai
rahasia sunyi hanya sinar pagi
menembus dingin embun
gelombang yang mengayuh jiwaku
menghias bergantian
rintik gerimis mengasuhnya
cinta dan kerinduan selalu tercipta
untuk menguji ketulusan
ataukah kegelisahan
sebelum rahasia terbuka
NYANYIAN SENJA
Senja memahatkan
kenangan ini dikejauhan
nyanyian burung
burung menyiram lubuk hati
mengantar
percakapan diantara senyuman
lalu bayang bayang
memudar perlahan
kesunyian ini
terasa makin beku
rindu yang terpahat
hanyalah hamparan
dingin
menyiram lubuk hati
Puisi ini mengantar
keheningan
ketika pemujaan di
larut waktu
bila kelelahan
makin terasa
menghias percakapan
yang hilang
ataukah impian tak
terasa
melewati usia kita
guguran daun daun
yang menguning
telah berbagi
kesetiaan matahari
menyiram dengan
kasih
sebelum kepasrahan
meninggalkannya
agar selalu mengalir menembus waktu
harapan bukanlah impian
namun keindahan yang terlepas
meminang kesetiaan melantunkan nyanyian rindu
untuk dikenangkan
angin berembus membelai gerimis perlahan
menyatukan tiap tetes embun
berharap kemesraan lautan
muara abadi nyanyian penghabisan
segenap luka yang tak tertahankan
kesunyian telah menghempaskannya
bersama gelombang
mengikuti hamparan teluk yang berliku
menunggu hati ini bergetar
membasuh kehidupan
pikir kata tak mau turut pada kalimat
Kalimat enggan ikut paragraf
juga begitu paragraf lari dari wacana
walau begitu
cari tanda di sela kalimat
hanya temu huruf deret deret pisah kata
Kepala tambah pusing
kata tak mau turut pada kata
kalimat enggan ikut kalimat
bahkan paragraf lari dari paragraf
kini wacana diam sendiri
bingung sendiri
melongo sendiri
ada apa dengan kepala
jadi pusing tambah pusing
oh...ada hilang pada kata
kembali jadi arti
MANIS MADU
Aku berteduh di bawah bulu-bulu sayapmu
Mengeja kata-kata yang mengapung
Di atas air keruh
Kau adalah nahkoda barisan hitam di atas buku,
Segala runcing bermula dari keccapmu
Menikam pada setiap kata-kata yang kaku
Menerjang pada setiap ruang buntu
Mengkoyak larik-larik syair beku
Yang keluar dari sengatmu, tapi kuakan berusaha
Agar manis madu tetap termaktub di atas puing-puing syairku
PAKSAAN
Kata hati yang terdalam
Tidak tahu apa yang kurasa
Melihat senja tenggelam
Untaian kata kalimat menyatu
Menjadi senda gurau
Andai ini bayangan
Atau hanya sebuah angan-angan
Sebuah mimpi yang tidak biasa
Menghirup sebuah angin bebas
Letih rasanya terlihat biasa
Terlalu banyak orang malas
Ingin aku memaksa
Sebuah impian dengan asa
Jalan dengan tujuan
Setiap langkah dengan doa dan ikhtiar
Selalu berusaha bangkit
Tanpa rasa mengenal sakit
LIRIK RINDU LAUT
Mengeja lagi bait puisi hati
Yang dititipkan senja pada biru laut
Terukir sekuat karang cadas
//
Ombak menggulung membuncah rindu
Merayu bibir pantai membentuk tarian buih
Berdendang khusu jiwa kesadaran
Lirik lagu sukma tak putus memujiNya
//
Diri tiada hanya kekosongan
Sebab dimanapun mata memandang
ombat tak pernah sunyi
Laut tak pernah tidur melafadz tasbih
//
Kesunyian laut selalu jujur
Membaca setiap jejak dan lirik rindu
Yang engkau sembunyikan di balik gelora
Ombaknya yang berkejaran
MATAHARI MATA AIRKU
Mengalir dalam hidup
Seperti nafas yang menjadikanku ada
Senyumnya seperti matahari pada semesta
//
Kasih sayangnya seluas samudera
tercurah kalahkan letih raganya
Nalurinya tajam bagai cermin
Kuat bagai langit menjaga harmoni keseimbangan
//
Setetes air mata luka yang menyayat hatinya
Kelak menjadi petaka hingga ke neraka
Tapi itu tak pernah ibu tampakkan
Dia membasuh lukanya dengan air syurga
//
Tuhan letakkan syurga pada telapak kakinya
Rahimnya menyulap amarah menjadi bait doa
Ibu kasih sayang yang tak pernah usai
Menjadi matahari mata airku
KERINDUANKU
Enam tahun tak memandangmu
Rindu ini seakan tak sirna
Ingin sekali memeluk hangatmu
Serasa berat aku menahan rindu
Melewati sendiri beban rinduku
Langkah tanpa kekar kakimu
Rindukan masa lalu bersamamu
Kini hanya kenangan kurasakan
Tak mungkin dapat berulang
Berlalu semua telah berlalu
Hanya rumah nisanmu yang terpajang
Kupandang penuh linang air mata
Kenangan kasih sayang
Tiada akan lekang oleh waktu
Hati dan jiwamu ada pada hatiku
Setiaku ingin kita bertemu
Di alam bahagiamu.
Juwaini
JEJAK PERADABAN
Berkelimpahan air dan
tanah yang bergerak
Angin pasir dan debu yang dihamburkan
Kesuburan semak belukar pepohonan yang merambah
peradaban jejak peninggalan bangsaku
batu-batu berpahat, batu-batu bertulis, berlumut dan terkikis, retak dan pecah, hanyut terpendam,
pelepah daun kulit
binatang papan kayu bertulis dan terukir menjamur lapuk dan membusuk pada orang-orang
membiarkan, pemahaman asing yang
mengaburkan dan melenyapkan, tangan tangan yang melarikan memutus kesinambungan
kekuatan dari pemahaman
melemahkan jiwa-jiwa yang tak lagi bertuan
Rindu ini seakan tak sirna
Ingin sekali memeluk hangatmu
Serasa berat aku menahan rindu
Melewati sendiri beban rinduku
Langkah tanpa kekar kakimu
Rindukan masa lalu bersamamu
Kini hanya kenangan kurasakan
Tak mungkin dapat berulang
Berlalu semua telah berlalu
Hanya rumah nisanmu yang terpajang
Kupandang penuh linang air mata
Kenangan kasih sayang
Tiada akan lekang oleh waktu
Hati dan jiwamu ada pada hatiku
Setiaku ingin kita bertemu
Di alam bahagiamu.
JEJAK PERADABAN
Angin pasir dan debu yang dihamburkan
Kesuburan semak belukar pepohonan yang merambah
peradaban jejak peninggalan bangsaku
batu-batu berpahat, batu-batu bertulis, berlumut dan terkikis, retak dan pecah, hanyut terpendam,
melemahkan jiwa-jiwa yang tak lagi bertuan
Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang
Baca juga: Bagian 1-10