REMAH KEJUJURAN YANG
TERSISA
Tiada kicau merdu si burung nasar
Yang mencabik hati merejam jiwa
Renggut rahasia semua orang
Lewat goresan pena tajam
Bahkan ucap lidah berbisa
Suci dicemar
Derita disantap
Tiada berbatas norma
Nilai tercampakkan
Kebenaran disangsikan
Kuasa jadi pedoman
Hanya remah kejujuran yang tersisa
Di lautan pasir dusta
Memaksa nurani
Sunyi terasing
Merana dan mati
19.10 WIB
COLLOSEUM
Tembok tua Colloseum meneteskan air mata
Saat aku berjalan mengelilinginya
Seolah menginjak lantai yang penuh genangan
darah
Dan ribuan kepala yang terpisah dari badannya
Memancarkan aura kengerian, hitam dan kelam.
Sebilah pedang tajam menghadang
Seorang gladiator merayakan kemenangannya
Dengan garang bayangannya berkelebat
Menyuruhku untuk mundur ke belakang
Atau kepalaku yang akan ditebasnya.
Di Colloseum, kucatat peradaban tertua di
dunia
Ribuan nyawa hilang tapi penonton senang
melihatnya
Pertarungan para gladiator dan perburuan
hewan
Jejaknya selalu mengikuti dalam reruntuhan
batu
Jejaknya mengikuti hingga jiwaku menjadi
beku.
Roma, 2019
TERINGAT
ANNE FRANK
Betapa jalanan makin terlihat
penuh dengan sepeda
Trem melintas perlahan – kita menepi sejenak
Berlomba dengan hujan yang makin lebat
Menuju pelabuhan, menunggu kapal berdinding kaca
Menyusuri kanal bercabang-cabang, berjejer bangunan tua
Aku melupakan sejenak sejarah kelam tanah air
Tiga setengah abad – terbentur seperti saat kapal merapat.
Di kejauhan tampak
gereja tua Westerkek, patung-patung
Kapal berputar untuk kembali ke pelabuhan
Mungkin orang-orang masih betah di rumah Anne Frank
Korban kekejaman Hitler, sejarah kelam di masa silam
Kembali menyusuri jalanan yang mulai gelap
Langkah kaki melemah, wajah tertunduk seperti kalah perang
Entahlah, di Amsterdam angan-angan terus melayang-layang.
Amsterdam, 2020
Bambang Widiatmoko
CHAO PRAYA
Jika perahu terus melaju
tanpa arah yang kutahu
Kusandarkan saja bahu pada riak yang berlalu
Namun jelas sungai tetap setia menunggu
Keberadaan Wat Pho dan Wat Arun tetap membisu.
Aku ingin belajar dari
para biksu
Belajar memahami kehidupan tanpa prasangka
Atau belajar jurus telapak tangan Buddha
Yang mampu menggetarkan dan membelah angkasa.
Di atas laju perahu
menyusuri Chao Phraya
Ikan ikan berkumpul berebut makanan
Mungkin telah dititahkannya melalui sabda alam
Hidup adalah penantian - berbekal penuh keyakinan.
Bangkok, 2019
BH. Riyanto
HUJAN KECIL
Ada tempias hujan kecil
saat aku tiba di rumahmu
sore itu
Ada linang perjumpaan
di tepi-tepi sanubari
sebab dera kerinduan
selalu saja seperih sembilu
Ada sederet obrolan
biasa
atau yang tak biasa
mengalir serupa riak kenangan
juga doa-doa
Masih ada tempias hujan
kecil
saat aku beranjak dari rumahmu
di kalbuku
Di kalbuku!
Kubawa pergi sampai jauh
ke dada pulau
(2020)
Trem melintas perlahan – kita menepi sejenak
Berlomba dengan hujan yang makin lebat
Menuju pelabuhan, menunggu kapal berdinding kaca
Menyusuri kanal bercabang-cabang, berjejer bangunan tua
Aku melupakan sejenak sejarah kelam tanah air
Tiga setengah abad – terbentur seperti saat kapal merapat.
Kapal berputar untuk kembali ke pelabuhan
Mungkin orang-orang masih betah di rumah Anne Frank
Korban kekejaman Hitler, sejarah kelam di masa silam
Kembali menyusuri jalanan yang mulai gelap
Langkah kaki melemah, wajah tertunduk seperti kalah perang
Entahlah, di Amsterdam angan-angan terus melayang-layang.
Bambang Widiatmoko
CHAO PRAYA
Kusandarkan saja bahu pada riak yang berlalu
Namun jelas sungai tetap setia menunggu
Keberadaan Wat Pho dan Wat Arun tetap membisu.
Belajar memahami kehidupan tanpa prasangka
Atau belajar jurus telapak tangan Buddha
Yang mampu menggetarkan dan membelah angkasa.
Ikan ikan berkumpul berebut makanan
Mungkin telah dititahkannya melalui sabda alam
Hidup adalah penantian - berbekal penuh keyakinan.
BH. Riyanto
HUJAN KECIL
Ada tempias hujan kecil
saat aku tiba di rumahmu
sore itu
di tepi-tepi sanubari
sebab dera kerinduan
selalu saja seperih sembilu
atau yang tak biasa
mengalir serupa riak kenangan
juga doa-doa
saat aku beranjak dari rumahmu
di kalbuku
ke dada pulau
BH. Riyanto
DEGUP JANUARI
di antara degup Januari yang basah
mengintai di balik pintu
di sudut musim yang gulita
di antara isak segala doa
masih saja
Bukhari Sattah
MELAUT KENANG
Semalam kenangan itu datang
Mendayung bak laju sampan
Membelah ombak di kesunyian
Batu karang mengikis pandangan
Remuk redam di pulau tak bertuan
Menyapa angin tuk berembus kembali
Pada sebilah kayu
Kutitipkan rindu
Hanyutkan impian menjaring waktu
Anganku merayu jemu
Masih merdu mengalun
Hijaunya meneteskan rupa
Sesekali meledak di udara
Kini kau di mana?
Mengarungi luasnya kerinduan
Hingga tak ada lagi kau dan aku
Tapi ombak tetap menderu
Menyapa jejak di pesisir jiwa haru
Merajut sebuah nama yang pernah diberikan ibu
Untuk lahir kembali sebagai catatan waktu
Melulu pilu
Itu dulu
Kalau diingat bikin malu
Pada puing laku melaju
Aku tersipu malu
Melihat memori layu
Laju kini lupa pada luka
Luka lalu telah terganti harsa
Harsa kini melaju pada masa
Choeroel Anwar
RINDU SEMAKIN MENEPI
Bukan takut badai
Tapi ombaknya meragukan sekali
Semakin jauh berlayar
Rindunya semakin terasa asing
Terpaksa aku menepi
Mencari pelabuhan hati
Meski gersang tapi tulus
Menerima kehadiran rinduku ini
Dedi Wahyudi
HUJAN DAN PAK GURU SANDAL JEPIT
aku memandang tinggi ke mega mendung
firasat hati mengatakan akan segera turun hujan di kotaku siang ini
membawaku melaju untuk kembali demi bertemu keluarga tercinta
mengucur membasahi jalan- jalan sempit lagi berlubang yang hentikan derap langkahku
sejenak aku menarik nafas untuk berteduh di kaki lima rumah toko yang lengang akan pengunjung
tanpa aku hiraukan hujan deras yang turun
aku bergegas dan berlalu pergi dengan sepeda motor bebek yang selalu setia menemani perjalanan mengabdi si pak guru sandal jepit itu
Pukul 17.11 wib
Dedy Moerdhaniell
GARIS ITU MEMBENTUKKU
Dari titik menjadi lurus, lengkung, dan lingkar
Goretannya tertanam menjadi pijakan
Hingga akhirnya kutancapkan panji-panji
Lurus di gunung
Lengkung di jalanan
Lingkar di lautan
Berkelana dalam musim
Menyeringai rasa
Dan kembali pada titik kesendirian
Devika Nur Baity
JALAN SETAPAK
Menjulur panjang
Bersama kenangan
Dan rumah yang berderet
Rapi bertanya sepi
Di ujung jalan
Didera laju sepeda
Di ujung jalan setapak
Ada aroma tanah liat
Yang pekat memikat
Dian Novendria Mutiara Syaharani
HARAPAN
Menambah sendu hari ini
Menatap langit penuh misteri
Menanti kabar baik menghampiri
Terlelap dalam bayang zona ketidakpastian
Hingga waktu yang belum ditentukan
Sinar terang menjadi angan-angan
Yang akan datang bersama kebahagiaan
Menggantung segala harapan pada Tuhan
Sujud yang tak terlewatkan
Yakin akan ketetapan
Kebesaran akan diberikan
Kepada siapa mengharapkan bantuan
Hari penuh kegirangan telah dinantikan
Sepanjang hari menjadi bayangan
Kelabu kehidupan menjadi kenangan
Sebagai pembelajaran untuk lebih baik ke depan
Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang
Baca juga: Bagian 1-10