PETUAH
Berjalan di penjuru
negri itu dengan senyum masih tersipu
Sapa masih enggan lekang bersama terik
Riuh akrab menyertai halusnya telapak tangan ibu di depan pintu
Binar mata memalingkan cuaca cerah hari
Saat yang sama, di
halaman rumah tumpukan besi dan pelastik terdengar
Kusambut suara tersebut dengan juluran telapak tangan
Terasa kasar karena pekerjaan berat
Bapak dengan keringat di kening menghela nafas
Toples kopi tubruk
beserta gula seakan menyapa
Termos air panas disamping seakan berkedip
Satu sendok makan dan tiga cangkir ibu persiapkan
Sempit dapur berubah menjadi perasaan hangat
Cangkir pertama ibu
tuangkan kopi dengan pertanyaan
Kopinya pahit atau tidak, nak?
Cangkir kedua tuangan kopi ibu bernada pernyataan
Kopimu ini pak, pahit tapi tak getir!
Dan Cangkir terakhir, secangkir teh manis ibu tanpa kepalsuan
Bertanya, menyatakan, dengan rasa dan ilmu pengetahuan
Sapa masih enggan lekang bersama terik
Riuh akrab menyertai halusnya telapak tangan ibu di depan pintu
Binar mata memalingkan cuaca cerah hari
Kusambut suara tersebut dengan juluran telapak tangan
Terasa kasar karena pekerjaan berat
Bapak dengan keringat di kening menghela nafas
Termos air panas disamping seakan berkedip
Satu sendok makan dan tiga cangkir ibu persiapkan
Sempit dapur berubah menjadi perasaan hangat
Kopinya pahit atau tidak, nak?
Cangkir kedua tuangan kopi ibu bernada pernyataan
Kopimu ini pak, pahit tapi tak getir!
Dan Cangkir terakhir, secangkir teh manis ibu tanpa kepalsuan
Bertanya, menyatakan, dengan rasa dan ilmu pengetahuan
KESETIAAN
NOVEMBER
Tiba
saatnya cambuk doa lebih berat dari langkah kaki yang tertatih-tatih, dari
jemari-jemari yang mulai keras pada peradaban, atau pikir-pikir manusia yang
mengerdilkan menjadi pengkhianat. Barangkali saja ingin lupa Tuhan pada
kalimat denotasi dan konotasi sekalipun, atau sebuah paradigma yang tidak juga
menemukan titik temu yang lebih konkret. Dan mari tertawa atas ketidakpuasan
hasrat yang menjiwai hati menjadi lara, sementara ia tertawa terpingkal-pingkal
tak punya dosa. Hari apa ini, sudahkah ia menjadikan dirinya menjadi lebih
cerah dari warna putih dalam pekat yang hitam, atau emas yang menyala, kata
orang ini november, bulan yang menjadikan bahasa-bahasa menjadi ada atau
setidaknya dia tidak lupa dimana pemuda-pemudi menjadi tonggak sejarah. Kau
pasti ingat, betapa peradaban kini kadang tak punya adab. Ah, sudahlah. Bukan
soal itu yang aku jelaskan pada suara yang mulai parau dalam wicaraku, namun
satu hela napas panjang yang menantikan kesetiaan pada novemberku, dan kali ini
kau tiada, mati barangkali.
Indramayu, 29 November
2019
BULAN SEMAKIN TUA
Tetapi melodrama masih berlakon di atas pentas
Memperdengarkan serunai yang ternyata tak abadi
Mencipta musikalisasi lalu berkelindan di antara belukar otak
Tatkala aku mencoba tafsirkan pesan-pesan matahari
Mengurai titik perjalanan maha jauh
Yang kulalui bersama rahasia
Tentang peta belukar dan bukit terjal
Nyanyian subuh mengangkasa di langit malam
Melukis sketsa buram tentang mimpi bunga dan telaga
Yang diselubung keabadian
Gurat gurat lelah mulai terlukis di jalan jalan terjal matahari
Menemani sobekan lafadz lalu tancap pada telapak sajadah di ujung senja
HARAPAN BARU PASCA CORONA
mengguncang dunia yang katanya pesat majunya
merusak ekonomi, pasar dan daya beli
hingga hancurkan mata pencaharian kita
musuh yang nyaris maya, tapi dia ada
tak terlihat, tak berupa, tapi sangat berbahaya
menyerang siapa, kapan dan di mana saja
canggihnya teknologi, majunya peradaban, tetap dilindasnya
senjata perang canggih, pesawat tempur, kapal perang, bom,
hanya bisa dipajang saja
awal yang baik untuk kita bangkit
tidak sakit, tidak takut, tidak cemas lagi
saatnya menata hidup yang baru, harapan baru
tetap semangat, lawan corona, demi kebaikan bersama
INSTAL GARAM
: Pantura
dalam deburnya kita berpagut.
Pada matahari yang rela menyuling anomali
kita hanya berharap tetes dan bunyi
riak air menjadi butir-butir sajak NaCl pagi.
sekalipun hujan menambak lalang.
Dalam gigil rindu ini, kita akan cari jalan pulang
sebagaimana camar setia pada batu-batu karang.
kita cukup mencicipi rasa asin keringat sendiri?
Indramayu, 2021
MERINDU SERIBU HARI
Senja hampir sirna mengikis
Saat terakhir senyum terlukis
Iringi waktu yang makin menipis
Cakrawala maya kian mengiris
Kepergianmu menyisa rasa
Rindu yang terus menggelora
Melanglang sepanjang masa
Membalut pilu mendera biru
Ingin ku merengkuhmu
Memeluk erat tak akan lepas
Namun sebatas bayang pun
Tak lagi tampak berkelebat
Ini bulan Juni ke tiga
Aku duduk di batu yang sama
Menelanjangi gelombang lautan
Merindu seribu hari yang kautinggalkan
Mojokerto, 27 Juni 2020
Saat terakhir senyum terlukis
Iringi waktu yang makin menipis
Cakrawala maya kian mengiris
Rindu yang terus menggelora
Melanglang sepanjang masa
Membalut pilu mendera biru
Memeluk erat tak akan lepas
Namun sebatas bayang pun
Tak lagi tampak berkelebat
Aku duduk di batu yang sama
Menelanjangi gelombang lautan
Merindu seribu hari yang kautinggalkan
SAJAK SEORANG PETANI
Ayam tak lekas turun dari peraduan
Kicauan burung meyambut pagi
halimun menetes pada kulit dan rumput
Engkau bergegas meninggalkan gubuk dengan segala perkakas kau pikul
Berjalan menyusuri lembah, bukit tanpa alas kaki
Telapak tertusuk duri dan kerikil-kerikil tajam
Tanpa berkata “aduuhhhh....... sakitt..... periiiihhh!!!!”
Engkau tetap tersenyum dan bersemangat menyusuri jalan
Tak pernah mengenal lelah
Derasnya hujan takkan kau rasakan
Panasnya mentari tak mengurangi semangatmu
Demi sebakul beras untuk
dinikmati bersama keluarga
KENANGAN HUJAN
Di keheningan malam aku
duduk sendiri
Rinai hujan mulai membasahi bumi
Setiap rintik mengingatkan tentangnya
Tentang dia yang dulu pernah singgah di hati
Air mata mulai membasahi
pipi
Berharap ini hanyalah sekadar ilusi
Kenangan yang dulu pernah kita jalani
Masih tersimpan rapi di dalam memori
Nestapa, itulah yang
kurasakan
Terhanyut dalam asmaraloka
Yang mampu menenggelamkan
Hingga tiada yang tersisa
Hujan menjadi saksi
Atas apa yang telah kita lalui
Kuharap kau masih mengingatnya
Tentang kenangan hujan yang tak kan terlupa
Aku hanya bisa berdoa
Atma ini telah ikhlas menerima
Semoga kau lebih bahagia
Bersama dia yang lebih sempurna
Lampung, 23 Desember
2020
Rinai hujan mulai membasahi bumi
Setiap rintik mengingatkan tentangnya
Tentang dia yang dulu pernah singgah di hati
Berharap ini hanyalah sekadar ilusi
Kenangan yang dulu pernah kita jalani
Masih tersimpan rapi di dalam memori
Terhanyut dalam asmaraloka
Yang mampu menenggelamkan
Hingga tiada yang tersisa
Atas apa yang telah kita lalui
Kuharap kau masih mengingatnya
Tentang kenangan hujan yang tak kan terlupa
Atma ini telah ikhlas menerima
Semoga kau lebih bahagia
Bersama dia yang lebih sempurna
Untuk menolong dan kemauan merupakan kepentingan sendiri
Dan di sana-sini terdengar seruan
Untuk membangun masyarakat baru, dunia baru
Tetapi jarang terdengar hakiki yang mutlak
Terasa mengambang di angkasa
Segala itu menjadi mustahil dan orang tidak menemukan hasil nyata
dalam kehidupan sehari-hari
Hal-hal yang menyolok mata
Hal-hal yang bisa diukur dengan sistem nilai modern
Kekayaan, karir, pangkat, jabatan, dan kehormatan
Tidak ada yang peduli tentang kebaikan, kesederhanaan, kesiapan menolong
Melainkan hanya ambisius semata
Rasa kasihan, pengertian, perhatian terhadap dunia
Kepekaan terhadap sesame penduduk warga
Alat-alat modern hanya membikin kemelaratan
DI
BANGKU INI
Di bangku ini
Kita saling mengeja huruf huruf menjadi frasa
Sesekali bertukar ingatan mengembalikan kisah kisah yang sempat terkubur masa
Di bangku ini
Kita selalu menghabiskan secangkir kopi tanpa ampas
Beberapa keping biskuit juga syair-syair yang melantunkan melodi
Penggugah rasa, pembangkit gairah
Di bangku ini
Kita kerap menyematkan kata perpisahan
Saling berjalan di arah yang berbeda
Menjadikan angin sebagai isyarat pemberi kabar
Lalu sama sama merindukan ketika berada di tempat asing
Di bangku ini
Kelak kita akan bersua dengan kulit yang telah keriput dan rambut yang memutih
Namun gelak tawa masih sama seperti awal kita saling menyapa
Dan bersiaplah untuk membuka cerita baru
Kisahmu dan kisahku akan menjadi pengisi bangku ini.
2021
Kita saling mengeja huruf huruf menjadi frasa
Sesekali bertukar ingatan mengembalikan kisah kisah yang sempat terkubur masa
Di bangku ini
Kita selalu menghabiskan secangkir kopi tanpa ampas
Beberapa keping biskuit juga syair-syair yang melantunkan melodi
Penggugah rasa, pembangkit gairah
Di bangku ini
Kita kerap menyematkan kata perpisahan
Saling berjalan di arah yang berbeda
Menjadikan angin sebagai isyarat pemberi kabar
Lalu sama sama merindukan ketika berada di tempat asing
Di bangku ini
Kelak kita akan bersua dengan kulit yang telah keriput dan rambut yang memutih
Namun gelak tawa masih sama seperti awal kita saling menyapa
Dan bersiaplah untuk membuka cerita baru
Kisahmu dan kisahku akan menjadi pengisi bangku ini.
Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang
Baca juga: Bagian 11-20