Puisi-Puisi 100 Penyair dalam Buku Parsel 21 Maret Bagian 1-10



PETUAH
 
Berjalan di penjuru negri itu dengan senyum masih tersipu
Sapa masih enggan lekang bersama terik
Riuh akrab menyertai halusnya telapak tangan ibu di depan pintu
Binar mata memalingkan cuaca cerah hari
 
Saat yang sama, di halaman rumah tumpukan besi dan pelastik terdengar
Kusambut suara tersebut dengan juluran telapak tangan
Terasa kasar karena pekerjaan berat
Bapak dengan keringat di kening menghela nafas
 
Toples kopi tubruk beserta gula seakan menyapa
Termos air panas disamping seakan berkedip
Satu sendok makan dan tiga cangkir ibu persiapkan
Sempit dapur berubah menjadi perasaan hangat
 
Cangkir pertama ibu tuangkan kopi dengan pertanyaan
Kopinya pahit atau tidak, nak?
Cangkir kedua tuangan kopi ibu bernada pernyataan
Kopimu ini pak, pahit tapi tak getir!
Dan Cangkir terakhir, secangkir teh manis ibu tanpa kepalsuan
Bertanya, menyatakan, dengan rasa dan ilmu pengetahuan
 
 
KESETIAAN NOVEMBER
 
Tiba saatnya cambuk doa lebih berat dari langkah kaki yang tertatih-tatih, dari jemari-jemari yang mulai keras pada peradaban, atau pikir-pikir manusia yang mengerdilkan menjadi pengkhianat. Barangkali saja ingin lupa Tuhan pada kalimat denotasi dan konotasi sekalipun, atau sebuah paradigma yang tidak juga menemukan titik temu yang lebih konkret. Dan mari tertawa atas ketidakpuasan hasrat yang menjiwai hati menjadi lara, sementara ia tertawa terpingkal-pingkal tak punya dosa. Hari apa ini, sudahkah ia menjadikan dirinya menjadi lebih cerah dari warna putih dalam pekat yang hitam, atau emas yang menyala, kata orang ini november, bulan yang menjadikan bahasa-bahasa menjadi ada atau setidaknya dia tidak lupa dimana pemuda-pemudi menjadi tonggak sejarah. Kau pasti ingat, betapa peradaban kini kadang tak punya adab. Ah, sudahlah. Bukan soal itu yang aku jelaskan pada suara yang mulai parau dalam wicaraku, namun satu hela napas panjang yang menantikan kesetiaan pada novemberku, dan kali ini kau tiada, mati barangkali.
 
Indramayu, 29 November 2019
 

Agust Bj
BULAN SEMAKIN TUA
 
Hari ini kulihat bulan semakin tua
Tetapi melodrama masih berlakon di atas pentas
Memperdengarkan serunai yang ternyata tak abadi
 
Misteri tiba-tiba menghentak sumbang dalam dada
Mencipta musikalisasi lalu berkelindan di antara belukar otak
Tatkala aku mencoba tafsirkan pesan-pesan matahari
 
Lorong waktu yang rehat di setiap stasiun senja
Mengurai titik perjalanan maha jauh
Yang kulalui bersama rahasia
Tentang peta belukar dan bukit terjal
 
Dan selepas itu
Nyanyian subuh mengangkasa di langit malam
Melukis sketsa buram tentang mimpi bunga dan telaga
Yang diselubung keabadian
 
Namun,
Gurat gurat lelah mulai terlukis di jalan jalan terjal matahari
Menemani sobekan lafadz lalu tancap pada telapak sajadah di ujung senja
 
Ternyata benar bulan semakin tua
 
(Rumah Pujangga, 6 Agustus 2015)
 
 
Agustus Surbakti
HARAPAN BARU PASCA CORONA
 
Corona memang luar biasa
mengguncang dunia yang katanya pesat majunya
merusak ekonomi, pasar dan daya beli
hingga hancurkan mata pencaharian kita
 
Corona memang luar biasa
musuh yang nyaris maya, tapi dia ada
tak terlihat, tak berupa, tapi sangat berbahaya
menyerang siapa, kapan dan di mana saja
 
Corona memang luar biasa
canggihnya teknologi, majunya peradaban, tetap dilindasnya
senjata perang canggih, pesawat tempur, kapal perang, bom,
hanya bisa dipajang saja
 
Obat yang baru ada adalah kabar baik untuk semua
awal yang baik untuk kita bangkit
tidak sakit, tidak takut, tidak cemas lagi
saatnya menata hidup yang baru, harapan baru
tetap semangat, lawan corona, demi kebaikan bersama
 
(Bengkulu, 17-2-2021)
 

Ali Topan
INSTAL GARAM
: Pantura
 
Melihat ombak laut,
dalam deburnya kita berpagut.
Pada matahari yang rela menyuling anomali
kita hanya berharap tetes dan bunyi
riak air menjadi butir-butir sajak NaCl pagi.
 
Tersenyumlah sayang,
sekalipun hujan menambak lalang.
Dalam gigil rindu ini, kita akan cari jalan pulang
sebagaimana camar setia pada batu-batu karang.
 
Atau barangkali,
kita cukup mencicipi rasa asin keringat sendiri?
 
Indramayu, 2021
 

MERINDU SERIBU HARI
 
Senja hampir sirna mengikis
Saat terakhir senyum terlukis
Iringi waktu yang makin menipis
Cakrawala maya kian mengiris
 
Kepergianmu menyisa rasa
Rindu yang terus menggelora
Melanglang sepanjang masa
Membalut pilu mendera biru
 
Ingin ku merengkuhmu
Memeluk erat tak akan lepas
Namun sebatas bayang pun
Tak lagi tampak berkelebat
 
Ini bulan Juni ke tiga
Aku duduk di batu yang sama
Menelanjangi gelombang lautan
Merindu seribu hari yang kautinggalkan
 
Mojokerto, 27 Juni 2020
 

Amelia Datu Tonglo
SAJAK SEORANG PETANI
 
Mentari belum menampakkan diri
Ayam tak lekas turun dari peraduan
Kicauan burung meyambut pagi
halimun menetes pada kulit dan rumput
Engkau bergegas meninggalkan gubuk dengan segala perkakas kau pikul
Berjalan menyusuri lembah, bukit tanpa alas kaki
Telapak tertusuk duri dan kerikil-kerikil tajam
Tanpa berkata “aduuhhhh....... sakitt..... periiiihhh!!!!”
Engkau tetap tersenyum dan bersemangat menyusuri jalan
Tak pernah mengenal lelah
Derasnya hujan takkan kau rasakan
Panasnya mentari tak mengurangi semangatmu

Demi sebakul beras untuk dinikmati bersama keluarga

 

KENANGAN HUJAN
 
Di keheningan malam aku duduk sendiri
Rinai hujan mulai membasahi bumi
Setiap rintik mengingatkan tentangnya
Tentang dia yang dulu pernah singgah di hati
 
Air mata mulai membasahi pipi
Berharap ini hanyalah sekadar ilusi
Kenangan yang dulu pernah kita jalani
Masih tersimpan rapi di dalam memori
 
Nestapa, itulah yang kurasakan
Terhanyut dalam asmaraloka
Yang mampu menenggelamkan
Hingga tiada yang tersisa
 
Hujan menjadi saksi
Atas apa yang telah kita lalui
Kuharap kau masih mengingatnya
Tentang kenangan hujan yang tak kan terlupa
 
Aku hanya bisa berdoa
Atma ini telah ikhlas menerima
Semoga kau lebih bahagia
Bersama dia yang lebih sempurna
 
Lampung, 23 Desember 2020
 

Ario Arno Morario
ORANG JUJUR SULIT DICARI
 
Kebaikan adalah kesederhanaan, keramahan, kesepian
Untuk menolong dan kemauan merupakan kepentingan sendiri
Dan di sana-sini terdengar seruan
Untuk membangun masyarakat baru, dunia baru
Tetapi jarang terdengar hakiki yang mutlak
 
Segala pembaharuan masyarakat dan perombakan
Terasa mengambang di angkasa
Segala itu menjadi mustahil dan orang tidak menemukan hasil nyata
dalam kehidupan sehari-hari
 
Dunia hanya memperhatikan hal-hal yang besar
Hal-hal yang menyolok mata
Hal-hal yang bisa diukur dengan sistem nilai modern
Kekayaan, karir, pangkat, jabatan, dan kehormatan
Tidak ada yang peduli tentang kebaikan, kesederhanaan, kesiapan menolong
Melainkan hanya ambisius semata
 
Sejarah mungkin kebal terhadap perasaan manusiawi
Rasa kasihan, pengertian, perhatian terhadap dunia
Kepekaan terhadap sesame penduduk warga
Alat-alat modern hanya membikin kemelaratan
 

DI BANGKU INI
 
Di bangku ini
Kita saling mengeja huruf huruf menjadi frasa
Sesekali bertukar ingatan mengembalikan kisah kisah yang sempat terkubur masa
Di bangku ini
Kita selalu menghabiskan secangkir kopi tanpa ampas
Beberapa keping biskuit juga syair-syair yang melantunkan melodi
Penggugah rasa, pembangkit gairah
Di bangku ini
Kita kerap menyematkan kata perpisahan
Saling berjalan di arah yang berbeda
Menjadikan angin sebagai isyarat pemberi kabar
Lalu sama sama merindukan ketika berada di tempat asing
Di bangku ini
Kelak kita akan bersua dengan kulit yang telah keriput dan rambut yang memutih
Namun gelak tawa masih sama seperti awal kita saling menyapa
Dan bersiaplah untuk membuka cerita baru
Kisahmu dan kisahku akan menjadi pengisi bangku ini.
 
2021


Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia memperingati Hari Puisi Dunia 2021 “Parsel 21 Maret” yang diadakan oleh Komunitas Sastra Krajan dan diterbitkan oleh CV. Catur Media Gemilang

Baca juga: Bagian 11-20
                   Bagian 21-30
                   Bagian 31-40
                   Bagian 41-50
                   Bagian 51-60
                   Bagian 61-70
                   Bagian 71-80
                   Bagian 81-90
                   Bagian 91-100

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak