DONGENG PEREMPUAN RUNTUH
Si
perempuan kepala kuda laju lalui bayang waktu.
Bagaikan Olenka ia berkelebat, otaknya misterius.
Hatinya tak bisa diukur, namun sayapnya patah satu.
Itu menyebabkan kelebatnya oleng.
Dongeng
dimulai siang ini, aku tak bersepatu.
Bicara lantang menuduh gelisahnya dengan segala
serapah dan umpat.
Ia tak bergeming bersit wajahnya sengit.
Picing matanya hunjam tembakan tuduhanku.
Aku
diam sementara, menata lagi pikiranku.
Mungkin salah, tapi aku tetap tak percaya.
Bahwa cinta telah runtuh dari tempuh
perjalanan hidupnya.
Aku
mengenalnya, ya.. bukan sebagai
iblis jelmaan ular itu.
Aku terlanjur memakan buah dan kemenyan.
Bersamaan jelmanya sebagai kuda betina.
Yang ingin lenyap dari kehidupan.
Entahlah,
kusadari diriku terlanjur memasang
jerat buat hentikan laju kelebatnya.
Meski luput tak tertangkap aku masih bisa
mengikutinya kemana ia singgah, hinggap, lalu hilang lagi.
Bertahun tahun, sebab ia masih menjajikan cerita.
Malam
bergulir lampu padam, bayang itu
hadir duduk ditepi ranjang.
Petaka sudah dilalui beberapa kali.
Berkali pula ia menunggu cahaya,
belum juga ada kilau.
Hari-hari
adalah getah merah mengucur deras,
sebab harapan untuk hidup sisa sejengkal, dan cawan
telah habis darah.
“Dari sekian mahkluk, akulah paling mencintaimu"
Teriaknya pada riuh di seberang jalan.
Sebelum
celuler phone memanggil jiwa retak,
waktu telah berlari berpacu kenangan.
Masih mendung, bulan bertengger di atas genteng
menemani burung gagak kehilangan gaibnya.
Bagaikan Olenka ia berkelebat, otaknya misterius.
Hatinya tak bisa diukur, namun sayapnya patah satu.
Itu menyebabkan kelebatnya oleng.
Bicara lantang menuduh gelisahnya dengan segala
serapah dan umpat.
Ia tak bergeming bersit wajahnya sengit.
Picing matanya hunjam tembakan tuduhanku.
Mungkin salah, tapi aku tetap tak percaya.
Bahwa cinta telah runtuh dari tempuh
perjalanan hidupnya.
iblis jelmaan ular itu.
Aku terlanjur memakan buah dan kemenyan.
Bersamaan jelmanya sebagai kuda betina.
Yang ingin lenyap dari kehidupan.
jerat buat hentikan laju kelebatnya.
Meski luput tak tertangkap aku masih bisa
mengikutinya kemana ia singgah, hinggap, lalu hilang lagi.
Bertahun tahun, sebab ia masih menjajikan cerita.
hadir duduk ditepi ranjang.
Petaka sudah dilalui beberapa kali.
Berkali pula ia menunggu cahaya,
belum juga ada kilau.
sebab harapan untuk hidup sisa sejengkal, dan cawan
telah habis darah.
“Dari sekian mahkluk, akulah paling mencintaimu"
Teriaknya pada riuh di seberang jalan.
waktu telah berlari berpacu kenangan.
Masih mendung, bulan bertengger di atas genteng
menemani burung gagak kehilangan gaibnya.
Tak
ada kematian lagi meski darah
cecer
mengalir di batang pohon bidara.
Menjadi sungai mencari muara.
Bau anyir menyatu angin tertiup
bersama musim tak jelas gambarnya.
Ada kesunyian di atas kepala lelaki.
Di pundaknya. Di lambung dan kelaminnya.
Sunyi benarbenar sunyi.
Sunyi yang tak berpihak pada sunyi.
"Dimana nasib kebersamaan
ketika cinta tak lagi berdarah.
Kabar tak lagi disampaikan.
Wajah samasama beku.
Ranjang tak berderit.
Luka tak ada upaya
disembuhkan.?"
Lelaki itu meringkuk didalam ceruk.
Istirah dari gentayang sunyi,
Aku melafazkan mantra kecubung
pengasihan sampai mabuk.
Mabuk katakata.
Mabuk dikatakatain.
Mabuk dituduh sesat.
Keluar dari jalan semula.
Jalan itu rimba belantara penuh
mata nyalang tapi tak melihat.
Mulut koar namun bisu.
Telinga tuli tak mau mendengar
firasat mantra.
Aku memilih duduk bersila sembari
menunggu lelaki bangun dari ceruk.
Keempat puluh harinya tumbuh pohon
bunga patmah dari ubunku.
Angin mulai bertiup kencang tak bersahabat
dengan bayang perempuan kelebat.
Dihempasnya ia membentur tembok lebam.
Tempelkan tanda seteru di dada perempuan.
Aku mengira itu angin, diciptakannya sendiri
sebagai tanda penegasan terhadap tikai.
Agar berlangsung terus menerus.
Agar riuh di seberang jalan semakin gaduh.
Menjadi sungai mencari muara.
Bau anyir menyatu angin tertiup
bersama musim tak jelas gambarnya.
Ada kesunyian di atas kepala lelaki.
Di pundaknya. Di lambung dan kelaminnya.
Sunyi benarbenar sunyi.
Sunyi yang tak berpihak pada sunyi.
"Dimana nasib kebersamaan
ketika cinta tak lagi berdarah.
Kabar tak lagi disampaikan.
Wajah samasama beku.
Ranjang tak berderit.
Luka tak ada upaya
disembuhkan.?"
Lelaki itu meringkuk didalam ceruk.
Istirah dari gentayang sunyi,
Aku melafazkan mantra kecubung
pengasihan sampai mabuk.
Mabuk katakata.
Mabuk dikatakatain.
Mabuk dituduh sesat.
Keluar dari jalan semula.
Jalan itu rimba belantara penuh
mata nyalang tapi tak melihat.
Mulut koar namun bisu.
Telinga tuli tak mau mendengar
firasat mantra.
Aku memilih duduk bersila sembari
menunggu lelaki bangun dari ceruk.
Keempat puluh harinya tumbuh pohon
bunga patmah dari ubunku.
Angin mulai bertiup kencang tak bersahabat
dengan bayang perempuan kelebat.
Dihempasnya ia membentur tembok lebam.
Tempelkan tanda seteru di dada perempuan.
Aku mengira itu angin, diciptakannya sendiri
sebagai tanda penegasan terhadap tikai.
Agar berlangsung terus menerus.
Agar riuh di seberang jalan semakin gaduh.
Cahaya
ikut pula mencercahnya.
Direnggutnya
bayangan perempuan kelebat.
Yang kau
cipta dari kemauanmu.
Kini
tanpa bayang masa lalu.
Siapa
dirinya ia tak perduli.
Tetap
laju menembus tembok penghalang.
Aku
mendoa diamdiam
Cengkeram jari lelaki dikepalaku.
Hawa panas, barangkali matanya
tajam pula menghunjam.
Aku tak ingin bertikai tanpa alasan.
Hidupku sekadar memberi tanda
menuju masa depan.
Ada
jedah tercipta dari kekosongan, hanya intermezo,
Kasak kusuk tak berarti bagi masa lalu.
Masa depan porak poranda sebagai rencana.
Cintapun beku tak berucap, kesetiaan mulai dibagi.
Dan hari ini aku ditipu guncangan guncangan.
Pelana
kuda terpelanting di tanah.
Kuda betina telanjang dengan bulu kelabu.
Tak ada penunggang tangguh pengendali
laju dan terjangnya.
Ada apa kiranya..?
Semua
persoalan sepertinya susut mengecil.
Menjadi kuda poni tunggangan bagi anak kecil,
yang dirindukan.
Adalah permintaan gelap, untuk diusung
dalam pengap dada perempuan bayang pekat.
Jantungnya lebam, hatinya muram, benaknya kusut.
Pikirannya semrawut bagai pasir besi usai runtuh
dari batang kokoh dingin.
Ia tak mau berkelebat lagi.
Memilih telikung diamdiam Tuhan
dalam dirinya sendiri.
"Aku
ingin menjadi maut bagi diriku sendiri..!
Usai sudah kehidupan, biar kuletakkan
saja berkarat oleh waktu.
Membatu merah darahku.
Kutanam dalam dalam pada runtuh.
Pada keluh, pada seribu duri.
Tancapkan sesukamu.
Sayatkan semaumu.
Toh aku telah tak berarti.
Musti kau sebut putus asa
Aku tak perduli mulutmu.
Aku tak perduli cintamu.
Cengkeram jari lelaki dikepalaku.
Hawa panas, barangkali matanya
tajam pula menghunjam.
Aku tak ingin bertikai tanpa alasan.
Hidupku sekadar memberi tanda
menuju masa depan.
Kasak kusuk tak berarti bagi masa lalu.
Masa depan porak poranda sebagai rencana.
Cintapun beku tak berucap, kesetiaan mulai dibagi.
Dan hari ini aku ditipu guncangan guncangan.
Kuda betina telanjang dengan bulu kelabu.
Tak ada penunggang tangguh pengendali
laju dan terjangnya.
Ada apa kiranya..?
Menjadi kuda poni tunggangan bagi anak kecil,
yang dirindukan.
Adalah permintaan gelap, untuk diusung
dalam pengap dada perempuan bayang pekat.
Jantungnya lebam, hatinya muram, benaknya kusut.
Pikirannya semrawut bagai pasir besi usai runtuh
dari batang kokoh dingin.
Ia tak mau berkelebat lagi.
Memilih telikung diamdiam Tuhan
dalam dirinya sendiri.
Usai sudah kehidupan, biar kuletakkan
saja berkarat oleh waktu.
Membatu merah darahku.
Kutanam dalam dalam pada runtuh.
Pada keluh, pada seribu duri.
Tancapkan sesukamu.
Sayatkan semaumu.
Toh aku telah tak berarti.
Musti kau sebut putus asa
Aku tak perduli mulutmu.
Aku tak perduli cintamu.
Yang kau cipta dari kemauanmu
Kuasaiku.
Hancurkanku
sampai remuk..!”
Perempuan
itu runtuh seluruh...
Agustus,
2021

Dody Yan Masfa, Lahir
di Surabaya 15 Juni 1965, dengan nama asli Dody Djunaedy. Aktif berteater sejak 1987, bergabung dengan Teater Jaguar Surabaya, sampai
tahun 1999. Mendirikan teater Barzah Indonesia
bersama Juslifar M Junus. Tahun 2001 memutuskan untuk mendirikan teater Tobong,
sampai hari ini sebagai pimpinan, dramaturg, dan sutradara. Debutnya di teater juga menekuni keaktoran. Beberapakali terlibat sebagai
aktor di pertunjukan yang diproduksi teater Jaguar Surabaya, maupun teater
Barzah Indonesia. Seringkali
bermain monolog diantaranya: Anak Sihir, Peminum Sejati, Di Restoran, Racun Cemara, eMak Gugat,
Rintrik. Aktifitasnya yang berkaitan dengan teater, yaitu menulis naskah teater,
menulis dan menerbitkan
puisi, menjadi juri festival teater, pemateri workshop teater, dan menulis kritik teater.