COLLOSEUM
Tembok tua Colloseum meneteskan air mata
Saat aku berjalan mengelilinginya
Seolah menginjak lantai yang penuh genangan darah
Dan ribuan kepala yang terpisah dari badannya
Memancarkan aura kengerian, hitam dan kelam.
Sebilah pedang tajam menghadang
Seorang gladiator merayakan kemenangannya
Dengan garang bayangannya berkelebat
Menyuruhku untuk mundur ke belakang
Atau kepalaku yang akan ditebasnya.
Di Colloseum, kucatat peradaban tertua di
dunia
Ribuan nyawa hilang tapi penonton senang melihatnya
Pertarungan para gladiator dan perburuan hewan
Jejaknya selalu mengikuti dalam reruntuhan batu
Jejaknya mengikuti hingga jiwaku menjadi beku.
Roma, 2019
Saat aku berjalan mengelilinginya
Seolah menginjak lantai yang penuh genangan darah
Dan ribuan kepala yang terpisah dari badannya
Memancarkan aura kengerian, hitam dan kelam.
Seorang gladiator merayakan kemenangannya
Dengan garang bayangannya berkelebat
Menyuruhku untuk mundur ke belakang
Atau kepalaku yang akan ditebasnya.
Ribuan nyawa hilang tapi penonton senang melihatnya
Pertarungan para gladiator dan perburuan hewan
Jejaknya selalu mengikuti dalam reruntuhan batu
Jejaknya mengikuti hingga jiwaku menjadi beku.
TERINGAT
ANNE FRANK
Betapa jalanan makin
terlihat penuh dengan sepeda
Trem melintas perlahan – kita menepi sejenak
Berlomba dengan hujan yang makin lebat
Menuju pelabuhan, menunggu kapal berdinding kaca
Menyusuri kanal bercabang-cabang, berjejer bangunan tua
Aku melupakan sejenak sejarah kelam tanah air
Tiga setengah abad – terbentur seperti saat kapal merapat.
Di kejauhan tampak
gereja tua Westerkek, patung-patung
Kapal berputar untuk kembali ke pelabuhan
Mungkin orang-orang masih betah di rumah Anne Frank
Korban kekejaman Hitler, sejarah kelam di masa silam
Kembali menyusuri jalanan yang mulai gelap
Langkah kaki melemah, wajah tertunduk seperti kalah perang
Entahlah, di Amsterdam angan-angan terus melayang-layang.
Amsterdam, 2020
Trem melintas perlahan – kita menepi sejenak
Berlomba dengan hujan yang makin lebat
Menuju pelabuhan, menunggu kapal berdinding kaca
Menyusuri kanal bercabang-cabang, berjejer bangunan tua
Aku melupakan sejenak sejarah kelam tanah air
Tiga setengah abad – terbentur seperti saat kapal merapat.
Kapal berputar untuk kembali ke pelabuhan
Mungkin orang-orang masih betah di rumah Anne Frank
Korban kekejaman Hitler, sejarah kelam di masa silam
Kembali menyusuri jalanan yang mulai gelap
Langkah kaki melemah, wajah tertunduk seperti kalah perang
Entahlah, di Amsterdam angan-angan terus melayang-layang.
CHAO
PRAYA
Jika perahu terus melaju
tanpa arah yang kutahu
Kusandarkan saja bahu pada riak yang berlalu
Namun jelas sungai tetap setia menunggu
Keberadaan Wat Pho dan Wat Arun tetap membisu.
Belajar memahami kehidupan tanpa prasangka
Atau belajar jurus telapak tangan Buddha
Yang mampu menggetarkan dan membelah angkasa.
Di atas laju perahu
menyusuri Chao Phraya
Ikan ikan berkumpul
berebut makananMungkin telah dititahkannya melalui sabda alam
Hidup adalah penantian - berbekal penuh keyakinan.
Bangkok, 2019
Bambang
Widiatmoko, penyair kelahiran Yogyakarta ini memiliki kumpulan
puisi tunggal: Silsilah yang Gelisah
(2017), Air Mata Sungai (2019), Mubeng Beteng (2020). Ikut menulis di Bunga Rampai Tradisi
Lisan (ATL.,2021), Bunga Rampai Kritik Sastra (HISKI-Balai
Bahasa Bali, 2021), Mencecap Tanda
Mendedah Makna (FIB UI-WWS 2021). Alamat: Jalan Meranti Raya H 200, Bekasi
17515.WA 0821 1821 8892.