Prolog: PUISI, PARSEL DARI TUHAN UNTUK MANUSIA - Indra Tjahyadi

cover buku Parsel 21 Maret

Ketika penjarakan sosial dan fisik menjadi keharusan yang mesti ditaati dan dipatuhi di masa pandemi, keberadaan puisi seakan semakin menemukan momentumnya bagi manusia. Ketidakmungkinan dan ketidakdapatan untuk melakukan interaksi dan komunikasi secara fisik di masa pandemi, membuat puisi tidak hanya menjadi media ekspresi artistik manusia, tetapi juga sebagai media komunikasi. Melalui puisi, seseorang tidak hanya dapat berekspresi, tetapi juga berkomunikasi dan bereksistensi.
Melalui puisi berbagai harapan, berbagai kegelisahan, berbagai impian seseorang dapat diartikulasikan tanpa takut melanggar ketatnya aturan perilaku sosial dan individual yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu, juga melalui puisi, seseorang masih dapat memenuhi kebutuhannya untuk berinteraksi dan berkomunikasi tanpa takut tertular oleh virus Covid-19.  Maka, apa jadinya hidup dan kehidupan manusia (dan kemanusiaannya) saat ini apabila tidak ada puisi?
Seseorang yang merasakan kerinduan yang dalam pada kekasihnya, semisal, akan sangat celaka jika tidak ada puisi. Memang, bisa saja seseorang tersebut menulis besar-besar (dengan huruf kapital) di status akun media sosial yang dimilikinya tentang kerinduannya tersebut. Namun, manifestasi kebahasaan tersebut akan terasa hambar atau biasa saja diterima oleh seseorang-yang-dia-rindukan. Tidak ada gelubat-gelibat rasa yang hadir pada satuan bahasa yang didistribusikan tersebut. Satuan bahasa tersebut hanya akan menjadi deret huruf, kumpulan kata, bentangan kalimat yang berisi pesan dengan makna leksikal.
Bahasa puisi menyediakan sarana atau ruang bagi manusia untuk tidak sekedar menikmati bahasa melalui pengetahuan kognitif, tetapi juga afektif. Dengan kata lain, bahasa puisi tidak hanya memungkinkan seseorang untuk mengetahui maksud dan arti sebuah pesan dalam tataran linguistis saja, melainkan secara holistis. Ada keutuhan dan kesatuan dalam bahasa puisi yang memungkinkan seseorang untuk menerima pesan tidak hanya sebagai manifestasi kemampuan linguistis manusia, tetapi juga psikologis. Itulah mengapa kaum Formalis memahami bahasa puisi (atau sastra pada umumnya) memiliki daya konkretisasi pada kamar pikir manusia, meskipun bahasa puisi berujud abstrak atau konseptual. Sebagai contoh mari kita baca puisi berjudul Colloseum karya Bambang Widiatmoko berikut:

Tembok tua Colloseum meneteskan air mata
Saat aku berjalan mengelilinginya
Seolah menginjak lantai yang penuh genangan darah
Dan ribuan kepala yang terpisah dari badannya
Memancarkan aura kengerian, hitam dan kelam.
 
Sebilah pedang tajam menghadang
Seorang gladiator merayakan kemenangannya
Dengan garang bayangannya berkelebat
Menyuruhku untuk mundur ke belakang
Atau kepalaku yang akan ditebasnya.
 
Di Colloseum, kucatat peradaban tertua di dunia
Ribuan nyawa hilang tapi penonton senang melihatnya
Pertarungan para gladiator dan perburuan hewan
Jejaknya selalu mengikuti dalam reruntuhan batu
Jejaknya mengikuti hingga jiwaku menjadi beku.
  
Berhadapan dengan puisi di atas, seseorang tidak hanya dihadapkan pada satuan bahasa bermakna, tetapi juga sehimpun imaji. Hal tersebut berdampak pada ketidakmungkinan seseorang untuk menerapkan prinsip subjek-objek situasi tersebut. Pada situasi puitis, seseorang tidak hanya berada di luar teks, di luar bahasa. Pada situasi puisi, seseorang senantiasa berusaha dijerembabkan ke dalam teks, ke dalam bahasa, untuk menemukan lebenswelt atau “dunia kehidupan”. Pada situasi puitis, seseorang diajak untuk melakukan tamasya metafisis yang berada di balik empiri bahasa.
Pada dua larik pertama bait pertama puisi Colloseum karya Bambang Widiatmoko yang berbunyi: Tembok tua Colloseum meneteskan air mata/Saat aku berjalan mengelilinginya, pembaca tidak hanya diberi informasi fisis mengenai kondisi tembok sebuah koloseum. Pada dua larik tersebut pembaca juga dihadapkan pada sebuah situasi yang mengharuskan dirinya untuk melakukan penyerahan secara batiniah pada puisi. Penyerahan tersebut harus dilakukan sebab puisi telah telah menghadirkan kode-kode imajinatif yang menuntut pembaca, sebagai penerima pesan teks, untuk melakukan tindakan atau praktik konkretisasi atas artikulasi yang terdapat dalam puisi.
Upaya puisi Colloseum karya Bambang Widiatmoko untuk tidak hanya menghadirkan informasi tetapi juga imajinasi tampak pada penghadiran majas personifikasi dalam puisi tersebut. Personifikasi memungkinkan pembaca, atau penerima pesan tidak hanya mendapatkan gambaran kebendaan tetapi juga haru-biru perasaan. Itu menyebabkan teks tidak sekedar hadir sebagai bagian dari pengetahuan kognitif, tetapi juga afektif. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, juga dapat menimbulkan konsekuensi psikomotorik bagi pembaca.
Pengalaman tersebut tidak saja dapat ditemukan ketika membaca puisi Colloseum karya Bambang Widiatmoko, tetapi juga puisi-puisi lainnya yang terhimpun dalam antologi puisi ini. Seperti ketika kita berhadapan dengan puisi Degup Januari karya BH Riyanto berikut:

Masih saja ada derai duka
di antara degup Januari yang basah
 
Hari-hari bermata hantu
mengintai di balik pintu
 
Ketakutan-ketakutan bertahta
di sudut musim yang gulita
 
Masih saja ada nyeri luka
di antara isak segala doa
masih saja
 
Tuhan dekaplah kami!
 
Puisi karya BH Riyanto di atas hadir dengan gaya bahasa yang sedikit berbeda dengan puisi karya Bambang Widiatmoko. Gaya bahasa yang ringkas, lugas, lugu, dan sederhana merupakan pilihan BH Riyanto dalam berartikulasi kepada publik. Namun, itu tidak berarti bahwa puisi karya BH Riyanto tidak memiliki kemampuan sebagai medium atau sarana eksistensi, ekspresi, komunikasi, dan integrasi manusia. Sebagaimana puisi karya Bambang Widiatmoko, puisi karya BH Riyanto juga memiliki kemampuan tersebut. Melalui gaya bahasa yang sederhana, puisi Degup Januari karya BH Riyanto itu pun tidak hanya sekedar mendistribusikan pesan bermakna, tetapi juga nuansa dan suasana yang memungkinkan pembaca atau penerima pesan untuk melakukan konkretisasi atau informasi yang diberikan.
Upaya untuk menghadirkan konkretisasi pada pikiran pembaca dilakukan oleh BH Riyanto sejak bait pertama puisinya yang berjudul Degup Januari itu. Melalui larik-larik bait pertama puisinya tersebut yang berbunyi: Masih saja ada derai duka/di antara degup Januari yang basah BH Riyanto berusaha untuk membangun gambaran konkret tentang situasi dan kondisi dari apa yang dialami pada bulan Januari. Pada larik tersebut, pembaca tidak hanya diberi infomasi mengenai situasi dan kondisi fisis bulan Januari yang dialami oleh BH Riyanto melalui diksi puisinya tersebut.
Namun, juga berusaha untuk mengajak pembaca untuk mengalami secara metafisis suasana dan nuansa bulan Junuari, dengan harapan pembaca akan mengalami perasaan yang sama dengan penulisnya. Hal tersebut semakin disangatkan oleh BH Riyanto melalui larik-larik yang terdapat dalam setiap bait puisinya yang berjudul Degup Januari tersebut. Maka, tidaklah mengherankan apabila setelah membaca puisi tersebut, seseorang tidak hanya dapat mengerti atau memahami amanat atau makna pesan yang disampaikan. Namun, juga dapat berempati atas apa yang dialami oleh penulisnya.
Hal yang sama juga dapat dijumpai ketika kita membaca puisi karya Dody Yan Masfa yang berjudul Menanti Hujan Sore. Dengan memilih gaya puisi yang alegoris, Dody Yan Masfa berusaha untuk mengartikulasikan pemahaman dan pengalamannya tentang keberadaan seekor anjing, penyair, dan hujan sore hari. Melalui gaya puisi yang dipilihnya tersebut, Dody Yan Masfa berusaha untuk merangkai satu informasi utuh mengenai situasi dan kondisi yang dialami kepada publiknya. Rasa putus asa, kesepian dan kesendirian yang pekat, serta kehinaan mendalam yang dirasakan oleh Dody Yan Masfa berusaha diartikulasikan melalui kode-kode hujan sore, anjing, dan penyair dalam puisinya tersebut. Itu sebagaimana tampak pada kutipan puisi Menanti Hujan Sore karya Dody Yan Masfa berikut:
 
Selalu begitu ia, berharap ada puisi
bisa ditangkap, dari hujan sore.
 
Anjingku, senantiasa berkaca kaca matanya
jika hujan reda, dan tak ada benih syair buat
dirangkainya nanti jelang tidur malam.
Serta merta diacak acaknya tempat tidur
menjadi luapan, entah kesal atau barangkali
amarah sebab gonggongnya bakal
tak indah bermakna.
 
Aku terkadang heran menyimak
tingkah laku sang penyair itu.
 
Adapun tujuan perangkaian kode-kode dari kategori (hujan sore merupakan kata dalam kategori waktu dan cuaca; anjing adalah kata dari kategori hewan; dan penyair adalah kata yang termasuk dalam kategori profesi manusia) yang berjauhan dalam puisi di atas semata-sama agar publik atau seseorang yang membaca puisi Menanti Hujan Sore karya Dody Yan Masfa tersebut tidak hanya akan mendapatkan informasi tentang perasaan penyairnya, tetapi juga dapat merasakan apa yang dirasakan penyairnya. Melalui perangkaian yang rumit dan kompleks tersebut, Dody Yan Masfa berharap pembaca puisi ciptaannya tersebut dapat ikut merasakan apa yang dirasakannya, sehingga informasi holistik bisa diperoleh oleh pembaca. Maka, pembaca dapat berempati secara utuh-penuh pada apa yang dialami oleh Dody Yan Masfa sebagai penyairnya.
Empati utuh-penuh yang diperoleh atau didapatkan oleh pembaca puisi Dody Yan Masfa menyebabkan adanya keberjarakan antara penyair, teks, dan pembaca dapat diatasi, atau bahkan, dilenyapkan. Di masa pandemi, seperti saat ini, hal tersebut menjadi hal yang penting. Kondrat manusia sebagai zoonpoliticon atau mahluk sosial membutuhkan pemenuhan-pemenuhan yang terus-menerus tanpa akhir atas hasrat untuk berinteraksi, berkomunikasi, bereksistensi, dan berintegrasi. Hasrat tersebut menjadi semacam takdir yang tidak terelakkan bagi manusia. Maka, dapat dibayangkan betapa sulitnya hidup kita, manusia, di tengah keberjakan sosial dan fisik yang ditulahkan di masa pandemi ini apabila tidak ada puisi.
Dapat dibayang betapa sedih dan putus asanya seorang anak yang ingin berkabar dengan ibunya yang kebetulan berada di tempat jauh secara fisik apabila tidak ada puisi. Memang seseorang bisa saja menulis pesan singkat dalam aplikasi perpesanannya dan dikirimkan kepada ibunya dengan kata-kata: “ibu saya sehat”. Namun, kiranya, pesan tersebut hanya memberi informasi tentang keadaan si anak secara fisiologis. Maka, bisa jadi si ibu yang menerima pesan tersebut akan merasa tidak. Begitu juga yang dialami si anak. Hal tersebut karena si anak tidak dapat memberikan pesan yang utuh penuh dengan berbagai perasaan yang dialaminya kepada si ibu. Itu tentunya akan berbeda dengan apabila pesan yang disampaikan dikemas dalam puisi. Sebagaimana tampak pada kutipan puisi Di Tanah Rantau Doa Ibu Purnama karya Muhammad Lefand berikut:
 
Di tanah rantau doa ibu purnama
Ibarat malam yang dipenuhi cahaya
 
Tak ada tanah khianat
Air mata air simbol nikmat
Nyanyian semesta penyemangat
Adalah doa menjadi cahaya setiap saat
Hanya doa ibu kepada anaknya tanpa syarat
 
Rasa seperti malam
Amsal kehidupan terpedam
Nafsu bergelombang menghantam
Tak ada luka yang bisa diobati temaram
Amarah kehilangan rasa tabah dan tenteram
Ungkapan tak memberikan makna yang mendalam
 
Doa ibu purnama
Obat mujarab masalah dunia
Air mata menjelma hujan di musim lara
 
Ibu tak pernah lupa
Berkali waktu selalu berdoa
Untuk anak-anak yang dilahirkannya
 
Pada puisi karya Muhammad Lefand di atas tampak bahwa satuan bahasa yang disampaikan tidak hanya memuat kabar, tetapi juga perasaan seorang anak pada ibunya. Puja-puji disampaikan dengan begitu khidmat dan penuh dengan simbol yang membuat bahasa menjadi bertenaga, memiliki daya sugestif bagi pembacanya. Bukan hanya pesan saja yang hadir dalam puisi tersebut, tetapi juga kesan perasaan yang berdampak pada hadirnya empati dan konkretisasi isi pesan bagi pembacanya.
Demikianlah, puisi tidak hanya hadir sebagai manifestasi ekspresi yang memuat nilai estetika, dan hanya memberi kepuasan artistik bagi manusia. Saat ini, di era pandemi yang penuh dengan pembatasan dan penjarakan fisik dan sosial bagi manusia, puisi bahkan telah menemukan tempatnya yang makin tidak tergoyahkan dalam kehidupan manusia. Melalui puisi, manusia tidak hanya dapat menyatakan keberadaannya sebagai manusia, tetapi juga dapat menjaga kemanusiaannya. Selamat merayakan hari puisi. Selamat menikmati berkah, parcel yang pernah diberikan Tuhan pada kehidupan manusia di alam semesta ini. Terima kasih.
 
 
 Pandemi, 2021

Sumber tulisan: diambil dari Antologi Puisi Dunia 2021 "Parsel21 Maret, (CMG, 2021)"

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak