Ketika
penjarakan sosial dan fisik menjadi keharusan yang mesti ditaati dan dipatuhi
di masa pandemi, keberadaan puisi seakan semakin menemukan momentumnya bagi
manusia. Ketidakmungkinan dan ketidakdapatan untuk melakukan interaksi dan
komunikasi secara fisik di masa pandemi, membuat puisi tidak hanya menjadi
media ekspresi artistik manusia, tetapi juga sebagai media komunikasi. Melalui
puisi, seseorang tidak hanya dapat berekspresi, tetapi juga berkomunikasi dan
bereksistensi.
Melalui
puisi berbagai harapan, berbagai kegelisahan, berbagai impian seseorang dapat
diartikulasikan tanpa takut melanggar ketatnya aturan perilaku sosial dan
individual yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu, juga melalui puisi,
seseorang masih dapat memenuhi kebutuhannya untuk berinteraksi dan
berkomunikasi tanpa takut tertular oleh virus Covid-19. Maka, apa jadinya hidup dan kehidupan manusia
(dan kemanusiaannya) saat ini apabila tidak ada puisi?
Seseorang
yang merasakan kerinduan yang dalam pada kekasihnya, semisal, akan sangat
celaka jika tidak ada puisi. Memang, bisa saja seseorang tersebut menulis
besar-besar (dengan huruf kapital) di status akun media sosial yang dimilikinya
tentang kerinduannya tersebut. Namun, manifestasi kebahasaan tersebut akan
terasa hambar atau biasa saja diterima oleh seseorang-yang-dia-rindukan. Tidak
ada gelubat-gelibat rasa yang hadir pada satuan bahasa yang didistribusikan
tersebut. Satuan bahasa tersebut hanya akan menjadi deret huruf, kumpulan kata,
bentangan kalimat yang berisi pesan dengan makna leksikal.
Bahasa
puisi menyediakan sarana atau ruang bagi manusia untuk tidak sekedar menikmati
bahasa melalui pengetahuan kognitif, tetapi juga afektif. Dengan kata lain,
bahasa puisi tidak hanya memungkinkan seseorang untuk mengetahui maksud dan
arti sebuah pesan dalam tataran linguistis saja, melainkan secara holistis. Ada
keutuhan dan kesatuan dalam bahasa puisi yang memungkinkan seseorang untuk
menerima pesan tidak hanya sebagai manifestasi kemampuan linguistis manusia,
tetapi juga psikologis. Itulah mengapa kaum Formalis memahami bahasa puisi
(atau sastra pada umumnya) memiliki daya konkretisasi pada kamar pikir manusia,
meskipun bahasa puisi berujud abstrak atau konseptual. Sebagai contoh mari kita
baca puisi berjudul Colloseum karya
Bambang Widiatmoko berikut:
Tembok tua Colloseum meneteskan air mata
Saat aku berjalan mengelilinginya
Seolah menginjak lantai yang penuh genangan
darah
Dan ribuan kepala yang terpisah dari badannya
Memancarkan aura kengerian, hitam dan kelam.
Sebilah pedang tajam menghadang
Seorang gladiator merayakan kemenangannya
Dengan garang bayangannya berkelebat
Menyuruhku untuk mundur ke belakang
Atau kepalaku yang akan ditebasnya.
Di Colloseum, kucatat peradaban tertua di
dunia
Ribuan nyawa hilang tapi penonton senang
melihatnya
Pertarungan para gladiator dan perburuan
hewan
Jejaknya selalu mengikuti dalam reruntuhan
batu
Jejaknya mengikuti hingga jiwaku menjadi
beku.
Berhadapan
dengan puisi di atas, seseorang tidak hanya dihadapkan pada satuan bahasa
bermakna, tetapi juga sehimpun imaji. Hal tersebut berdampak pada
ketidakmungkinan seseorang untuk menerapkan prinsip subjek-objek situasi
tersebut. Pada situasi puitis, seseorang tidak hanya berada di luar teks, di
luar bahasa. Pada situasi puisi, seseorang senantiasa berusaha dijerembabkan ke
dalam teks, ke dalam bahasa, untuk menemukan lebenswelt atau “dunia kehidupan”.
Pada situasi puitis, seseorang diajak untuk melakukan tamasya metafisis yang
berada di balik empiri bahasa.
Pada
dua larik pertama bait pertama puisi Colloseum
karya Bambang Widiatmoko yang berbunyi: Tembok
tua Colloseum meneteskan air mata/Saat aku berjalan mengelilinginya,
pembaca tidak hanya diberi informasi fisis mengenai kondisi tembok sebuah
koloseum. Pada dua larik tersebut pembaca juga dihadapkan pada sebuah situasi
yang mengharuskan dirinya untuk melakukan penyerahan secara batiniah pada
puisi. Penyerahan tersebut harus dilakukan sebab puisi telah telah menghadirkan
kode-kode imajinatif yang menuntut pembaca, sebagai penerima pesan teks, untuk
melakukan tindakan atau praktik konkretisasi atas artikulasi yang terdapat
dalam puisi.
Upaya
puisi Colloseum karya Bambang
Widiatmoko untuk tidak hanya menghadirkan informasi tetapi juga imajinasi
tampak pada penghadiran majas personifikasi dalam puisi tersebut. Personifikasi
memungkinkan pembaca, atau penerima pesan tidak hanya mendapatkan gambaran
kebendaan tetapi juga haru-biru perasaan. Itu menyebabkan teks tidak sekedar
hadir sebagai bagian dari pengetahuan kognitif, tetapi juga afektif. Bahkan,
tidak menutup kemungkinan, juga dapat menimbulkan konsekuensi psikomotorik bagi
pembaca.
Pengalaman
tersebut tidak saja dapat ditemukan ketika membaca puisi Colloseum karya Bambang Widiatmoko, tetapi juga puisi-puisi lainnya
yang terhimpun dalam antologi puisi ini. Seperti ketika kita berhadapan dengan
puisi Degup Januari karya BH Riyanto
berikut:
Masih saja ada derai duka
di antara degup Januari yang basah
Hari-hari bermata hantu
mengintai di balik pintu
Ketakutan-ketakutan bertahta
di sudut musim yang gulita
Masih saja ada nyeri luka
di antara isak segala doa
masih saja
Tuhan dekaplah kami!
Puisi
karya BH Riyanto di atas hadir dengan gaya bahasa yang sedikit berbeda dengan
puisi karya Bambang Widiatmoko. Gaya bahasa yang ringkas, lugas, lugu, dan
sederhana merupakan pilihan BH Riyanto dalam berartikulasi kepada publik.
Namun, itu tidak berarti bahwa puisi karya BH Riyanto tidak memiliki kemampuan
sebagai medium atau sarana eksistensi, ekspresi, komunikasi, dan integrasi
manusia. Sebagaimana puisi karya Bambang Widiatmoko, puisi karya BH Riyanto
juga memiliki kemampuan tersebut. Melalui gaya bahasa yang sederhana, puisi
Degup Januari karya BH Riyanto itu pun tidak hanya sekedar mendistribusikan
pesan bermakna, tetapi juga nuansa dan suasana yang memungkinkan pembaca atau
penerima pesan untuk melakukan konkretisasi atau informasi yang diberikan.
Upaya
untuk menghadirkan konkretisasi pada pikiran pembaca dilakukan oleh BH Riyanto
sejak bait pertama puisinya yang berjudul Degup
Januari itu. Melalui larik-larik bait pertama puisinya tersebut yang
berbunyi: Masih saja ada derai duka/di
antara degup Januari yang basah BH Riyanto berusaha untuk membangun
gambaran konkret tentang situasi dan kondisi dari apa yang dialami pada bulan
Januari. Pada larik tersebut, pembaca tidak hanya diberi infomasi mengenai
situasi dan kondisi fisis bulan Januari yang dialami oleh BH Riyanto melalui
diksi puisinya tersebut.
Namun,
juga berusaha untuk mengajak pembaca untuk mengalami secara metafisis suasana
dan nuansa bulan Junuari, dengan harapan pembaca akan mengalami perasaan yang
sama dengan penulisnya. Hal tersebut semakin disangatkan oleh BH Riyanto
melalui larik-larik yang terdapat dalam setiap bait puisinya yang berjudul Degup Januari tersebut. Maka, tidaklah
mengherankan apabila setelah membaca puisi tersebut, seseorang tidak hanya
dapat mengerti atau memahami amanat atau makna pesan yang disampaikan. Namun,
juga dapat berempati atas apa yang dialami oleh penulisnya.
Hal
yang sama juga dapat dijumpai ketika kita membaca puisi karya Dody Yan Masfa
yang berjudul Menanti Hujan Sore.
Dengan memilih gaya puisi yang alegoris, Dody Yan Masfa berusaha untuk
mengartikulasikan pemahaman dan pengalamannya tentang keberadaan seekor anjing,
penyair, dan hujan sore hari. Melalui gaya puisi yang dipilihnya tersebut, Dody
Yan Masfa berusaha untuk merangkai satu informasi utuh mengenai situasi dan
kondisi yang dialami kepada publiknya. Rasa putus asa, kesepian dan kesendirian
yang pekat, serta kehinaan mendalam yang dirasakan oleh Dody Yan Masfa berusaha
diartikulasikan melalui kode-kode hujan
sore, anjing, dan penyair dalam puisinya tersebut. Itu sebagaimana tampak
pada kutipan puisi Menanti Hujan Sore
karya Dody Yan Masfa berikut:
Selalu begitu ia, berharap ada puisi
bisa ditangkap, dari hujan sore.
Anjingku, senantiasa berkaca kaca matanya
jika hujan reda, dan tak ada benih syair buat
dirangkainya nanti jelang tidur malam.
Serta merta diacak acaknya tempat tidur
menjadi luapan, entah kesal atau barangkali
amarah sebab gonggongnya bakal
tak indah bermakna.
Aku terkadang heran menyimak
tingkah laku sang penyair itu.
Adapun
tujuan perangkaian kode-kode dari kategori (hujan
sore merupakan kata dalam kategori waktu dan cuaca; anjing adalah kata dari kategori hewan; dan penyair adalah kata yang termasuk dalam kategori profesi manusia)
yang berjauhan dalam puisi di atas semata-sama agar publik atau seseorang yang
membaca puisi Menanti Hujan Sore
karya Dody Yan Masfa tersebut tidak hanya akan mendapatkan informasi tentang
perasaan penyairnya, tetapi juga dapat merasakan apa yang dirasakan penyairnya.
Melalui perangkaian yang rumit dan kompleks tersebut, Dody Yan Masfa berharap
pembaca puisi ciptaannya tersebut dapat ikut merasakan apa yang dirasakannya,
sehingga informasi holistik bisa diperoleh oleh pembaca. Maka, pembaca dapat
berempati secara utuh-penuh pada apa yang dialami oleh Dody Yan Masfa sebagai
penyairnya.
Empati
utuh-penuh yang diperoleh atau didapatkan oleh pembaca puisi Dody Yan Masfa
menyebabkan adanya keberjarakan antara penyair, teks, dan pembaca dapat
diatasi, atau bahkan, dilenyapkan. Di masa pandemi, seperti saat ini, hal
tersebut menjadi hal yang penting. Kondrat manusia sebagai zoonpoliticon atau mahluk sosial membutuhkan pemenuhan-pemenuhan
yang terus-menerus tanpa akhir atas hasrat untuk berinteraksi, berkomunikasi,
bereksistensi, dan berintegrasi. Hasrat tersebut menjadi semacam takdir yang
tidak terelakkan bagi manusia. Maka, dapat dibayangkan betapa sulitnya hidup
kita, manusia, di tengah keberjakan sosial dan fisik yang ditulahkan di masa
pandemi ini apabila tidak ada puisi.
Dapat
dibayang betapa sedih dan putus asanya seorang anak yang ingin berkabar dengan
ibunya yang kebetulan berada di tempat jauh secara fisik apabila tidak ada
puisi. Memang seseorang bisa saja menulis pesan singkat dalam aplikasi
perpesanannya dan dikirimkan kepada ibunya dengan kata-kata: “ibu saya sehat”. Namun, kiranya, pesan
tersebut hanya memberi informasi tentang keadaan si anak secara fisiologis.
Maka, bisa jadi si ibu yang menerima pesan tersebut akan merasa tidak. Begitu
juga yang dialami si anak. Hal tersebut karena si anak tidak dapat memberikan
pesan yang utuh penuh dengan berbagai perasaan yang dialaminya kepada si ibu.
Itu tentunya akan berbeda dengan apabila pesan yang disampaikan dikemas dalam
puisi. Sebagaimana tampak pada kutipan puisi Di Tanah Rantau Doa Ibu Purnama karya Muhammad Lefand berikut:
Di tanah rantau doa ibu purnama
Ibarat malam yang dipenuhi cahaya
Tak ada tanah khianat
Air mata air simbol nikmat
Nyanyian semesta penyemangat
Adalah doa menjadi cahaya setiap saat
Hanya doa ibu kepada anaknya tanpa syarat
Rasa seperti malam
Amsal kehidupan terpedam
Nafsu bergelombang menghantam
Tak ada luka yang bisa diobati temaram
Amarah kehilangan rasa tabah dan tenteram
Ungkapan tak memberikan makna yang mendalam
Doa ibu purnama
Obat mujarab masalah dunia
Air mata menjelma hujan di musim lara
Ibu tak pernah lupa
Berkali waktu selalu berdoa
Untuk anak-anak yang dilahirkannya
Pada
puisi karya Muhammad Lefand di atas tampak bahwa satuan bahasa yang disampaikan
tidak hanya memuat kabar, tetapi juga perasaan seorang anak pada ibunya.
Puja-puji disampaikan dengan begitu khidmat dan penuh dengan simbol yang
membuat bahasa menjadi bertenaga, memiliki daya sugestif bagi pembacanya. Bukan
hanya pesan saja yang hadir dalam puisi tersebut, tetapi juga kesan perasaan
yang berdampak pada hadirnya empati dan konkretisasi isi pesan bagi pembacanya.
Demikianlah,
puisi tidak hanya hadir sebagai manifestasi ekspresi yang memuat nilai
estetika, dan hanya memberi kepuasan artistik bagi manusia. Saat ini, di era
pandemi yang penuh dengan pembatasan dan penjarakan fisik dan sosial bagi manusia,
puisi bahkan telah menemukan tempatnya yang makin tidak tergoyahkan dalam
kehidupan manusia. Melalui puisi, manusia tidak hanya dapat menyatakan
keberadaannya sebagai manusia, tetapi juga dapat menjaga kemanusiaannya.
Selamat merayakan hari puisi. Selamat menikmati berkah, parcel yang pernah
diberikan Tuhan pada kehidupan manusia di alam semesta ini. Terima kasih.
Pandemi,
2021
Sumber tulisan: diambil dari Antologi Puisi Dunia 2021 "Parsel21 Maret, (CMG, 2021)"