Tulisan ini menguak bagaimana
perjuangan perempuan istri para narapidana kasus terorisme (Napiter) berjuang
setelah suaminya ditangkap. Tidak sedikit perempuan yang tidak tahu-menahu
aktivitas suaminya. Mereka tidak menyangka perubahan positif yang dialami sang
suami justru berakhir pada jerat jaringan terorisme.
Roudhotul Jannah)*
Aku sempat kesulitan menemukan rumah
ini. Google maps yang dikirim Pak Mardi (bukan nama sebenarnya) sang pemilik
rumah melalui pesan WhatsApp ternyata kurang akurat. Penulisan alamat juga
terbalik antara RT dan RWnya. Cukup membuatku bingung hingga harus tersesat
cukup lama sebelum akhirnya berhasil menemukan rumah yang sebenarnya terletak
tepat di pinggir jalan raya ini.
Oleh pak Mardi aku dikenalkan kepada
istrinya, Ani, juga bukan nama sebenarnya. Tak lama saling mengenal, obrolan
tentang keterlibatan Mardi dalam jaringan terorisme pun terus mengalir.
Mardi yang saat ini berusia 50
Tahun, bergabung ke dalam kelompok yang bernama Azam Dakwah Center (ADC) yang
dulu bermarkas di Ngruki, Sukoharjo. Menurut informasi dari Mardi, ADC
berafilisiasi dengan Islamic
State of Iraq and Syria (ISIS). Ia ditangkap pada 2017 terkait kasus bom
molotov di Solo Baru, Sukoharjo. Sebenarnya serangan bom molotov ini bisa
dikatakan gagal. Sehingga tidak banyak orang yang tau.
Namun, belakangan polisi berhasil
mengendus adanya keterkaitan antara kasus ini dari hasil pengembangan kasus
teroris di Bekasi. Menurut polisi kelompok ini antara lain bertanggung-jawab
atas pengeboman di Kawasan Sarinah pada Januari 2016 dan serangan bom molotov
di Solo Baru Sukoharjo.
Menurut pengakuan Ani, dia tidak tau
menau mengenai keterlibatan suaminya dalam bom molotov itu. Kemudian aku
bertanya kepada Pak Mardi. Ia menjelaskan bahwa pada bom molotov itu berperan
sebagai pengawas, yang bertugas untuk mengamankan dan memantau lokasi pengeboman.
Ani mengisahkan, keterlibatan
suaminya dengan kelompok teroris ini bermula saat ia bergabung dengan sebuah
kelompok pengajian. Awalnya Ani menyambut gembira perubahan positif yang
dialami suaminya. Namun, belakangan baru ia tahu kalau ternyata sang suami
bergabung dengan kelompok garis keras.
“Ya saya sih mendukung, Mbak, kalau
suami itu rajin sholat dan pengajian. Dulu waktu muda suami saya tuh gangster,
Mbak. Setelah menikah pun sholatnya masih bolong-bolong. Kalau saya ajak sholat
pasti jawabannya iya nitip aja gitu. Dari yang seperti itu terus berubah
drastis mau sholat dan ngaji saya seneng, Mbak. Cuma ya nggak tau kalau
ternyata ngajinya di tempat yang salah,” terang Ani.
Suatu sore hari Pak Mardi pamit
pergi ke masjid untuk menunaikan sholat ashar berjamaah. Namun ternyata sampai
malam tiba bahkan hingga keesokan harinya dia tidak kunjung pulang. Ani pontang-panting mencari informasi tentang keberadaan suaminya. Berbagai tempat
yang biasa disinggahi suaminya ia datangi. Tapi hasilnya nihil.
Hingga keesokan paginya, Ani
memutuskan untuk mendatangi kantor kelurahan untuk melaporkan suaminya yang
tidak kunjung pulang. Baru ketika itu Ani tahu jika suaminya ditangkap oleh
Densus 88 Antiteror karena diduga terlibat aksi terorisme. Ani menyayangkan sikap
Densus 88 yang tidak memberitahu pihak keluarga saat penangkapan,
“Saya udah bingung suami posisinya
di mana, Mbak, kok ya tidak ada pemberitahuan ke rumah dan keluarga dulu kalau
ada penangkapan gitu,” keluhnya
Sepulangnya dari kelurahan, siangnya
rumah Ani didatangi oleh petugas Densus 88. Mereka datang dengan didampingi
petugas dari kelurahan untuk menggeledah seisi rumah Mardi. Saat penggeledahan,
Ani meminta agar rumahnya tidak diobrak-abrik dan semua barang dirapikan
kembali ke keadaan semula.
Dalam penggeledahan itu, petugas
menyita dua alat bukti yaitu Al-Qur’an dan buku catatan Pak Mardi selama
mengikuti pengajian.
“Saya nggak habis pikir lho, Mbak,
masa’ alat buktinya Al-Qur’an. Iya Al-Qur’an yang biasa kita baca itu!” ucapnya
masygul.
Setelah Mardi ditangkap, kini
tanggung jawab atas bergulirnya ekonomi rumah tangga berpindah sepenuhnya ke
pundak Ani. Ia yang semula hanya sebagai ibu rumah tangga biasa kini harus
menjadi tulang punggung keluarga. Ia bertindak sebagai bapak sekaligus ibu bagi
ketiga anaknya.
Kegalauan Ani makin menjadi, karena
anak sulungnya akan melangsungkan pernikahan pada bulan April 2018, padahal
Mardi ditangkap pada Desember 2017 atau hanya beberapa bulan sebelum pernikahan
itu berlangsung. Setelah melalui perundingan yang panjang antara kedua
keluarga, akhirnya diputuskan untuk memajukan tanggal pernikahan menjadi
Januari 2018.
Dari pihak keluarga laki-laki tidak
mempermasalahkan meskipun calon mempelai perempuan adalah anak dari tersangka
teroris. Karena Mardi sedang mendekam di penjara, posisinya sebagai wali
akhirnya digantikan oleh adik laki-laki Ani.
Agar roda ekonomi keluarganya tetap
berjalan dan membayar biaya sekolah anak-anaknya, Ani melakukan segala upaya.
Berbagai cara dilakukannya, agar keluarganya bisa bertahan, mulai dari membuat
keset, mengontrakkan sepetak rumah untuk dibuat ruko.
Terakhir, ia akhirnya kembali
menekuni usaha yang pernah dirintisnya yakni membuka warung makan di depan
rumahnya. Modal usaha warung makan ini ia dapatkan dari bantuan BNPT.
“Setelah Bapak bebas pada 2020,
kemudian mendapatkan pembinaan dari BNPT dan dimodali sebesar Rp 5 juta untuk
modal usaha,” ujar Ani.
Usaha ini dipilih, karena dia memang
memiliki kemampuan dalam bidang memasak, akhirnya diputuskan untuk membuka
warung makan. Sebelumnya, Ani juga sudah pernah membuka warung makan, tetapi
saat Mardi ditangkap, muncul stigma negatif dari lingkungan sekitar.
Tak lama setelah Mardi ditangkap,
tak sedikit anggota masyarakat yang menjauhi dan menghindari Ani dan
keluarganya. Kondisi ini membuat Ani khawatir dagangannya tidak laku sehingga
ia memutuskan untuk menutup warungnya.
Stigma dari masyarakat ini tak urung
membuat tertekan Ani dan anak-anaknya. Sikap anaknya, terutama anak nomor dua
berubah jadi pemurung.
“Anak saya itu yang nomor dua
laki-laki, Mbak. Dia emang karakternya pendiam. Kayaknya sih dia tertekan sama
stigma-stigma anak teroris. Dia nggak pernah cerita sih. Tapi saya hanya
menyimpulkan dari sikapnya yang semakin tertutup,” tuturnya.
Diakui, saat awal Mardi ditangkap,
stigma negatif dari masyarakat memang sangat kuat, tetapi seiring berjalannya
waktu stigma itu perlahan terkikis. Ani sendiri mengaku tak terlalu memikirkan
stigma ini, yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya bisa bertahan
dengan suami di penjara.
“Saya sih dari awal nggak diambil
pusing, Mbak, masalah stigma. Ya wajar aja, siapa sih yang nggak memandang
negatif keluarga teroris? Sebab kalau saya terlalu memikirkan, nanti gimana
anak-anak saya bisa makan? Saya juga gak boleh terlihat sedih di depan anak-anak.
Pokoknya kudu tegar di depan anak-anak itu,” imbuhnya
Perlu waktu dan proses yang panjang
hingga akhirnya Ani dan keluarganya bisa diterima kembali secara sosial dalam
lingkungan masyarakat. Perlu proses negosiasi yang panjang bagi diri sendiri untuk
dapat menyesuaikan kepada lingkungan sekitar yang sebelumnya tidak mau memahami
dan cenderung menghakimi.
Setelah menutup warung makannya, Ani
lantas beralih profesi dan bekerja membuat keset. Dari pekerjaan ini ia bisa
mengantungi Rp 75 ribu sehari.
“Ya lumayan, Mbak, itu biasanya saya
nargetin sehari harus dapat segini supaya dapat Rp. 75.000 perhari. Gimanapun
caranya saya coba selesaikan, Mbak. Kalau belum selesai ya saya lembur sampai
gak tidur. Demi anak-anak.” imbuhnya.
Beban Ani sedikit berkurang, karena
tak lama kemudian ada yang berminat mengontrak ruko di samping rumahnya untuk
dijadikan toko kelontong. Ini karena Ani mematok harga miring atau di bawah
harga rata-rata meski lokasi tanahnya sangat strategis dan berada di pinggir
jalan raya.
“Kan kemarin banyak orang-orang yang
menjauhi kita, Mbak, makanya saya tawarkan harga rendah. Alhamdulillahnya yang
nyewa mau kita mintain uangnya di awal. Jadi sangat membantu,” ujar Ani tak
bisa menyembunyikan rasa syukurnya.
Warung makan dan sewa tanah inilah
yang hingga kini menjadi tempat bagi pasangan Mardi dan Ani menggantungkan
ekonomi keluarganya. Selepas keluar dari tahanan, Mardi belum berhasil
mendapatkan pekerjaan. Statusnya sebagai eks napiter menyulitkan dia
mendapatkan pekerjaan. Sehingga yang
bisa dilakukannya adalah membantu istri mengelola warung makan.
Ani juga aktif berjualan online beberapa produk makanan, seperti cabe kriuk, kue, madu, hingga menerima beberapa pesanan makanan untuk berbagai acara. Alhamdulillah, ujarnya, banyak yang suka sama masakan saya. Jadi selain ada warung makan juga orang-orang suka pesan buat acara.”
Kisah Ine, Istri Napiter
di Karanganyar
Ine, demikian perempuan itu
menyebutkan namanya saat tangannya menyalami tanganku. Ada ketegasan yang
kutangkap dari suara lirihnya. Kerudung lebar berwarna hitam menutupi
kepalanya.
Ine menerimaku di teras depan
rumahnya yang asri. Aku sempat satu kali salah rumah sebelum akhirnya berhasil
menemukan rumah mungil yang terletak di Kota Karanganyar itu. Angin sepoi dan
gemericik kolam mampu mengurangi cuaca terik di siang itu.
Ine adalah istri Hamdan seorang
mantan narapidana kasus terorisme (napiter). Ine mengisahkan, pada tahun 2016
Hamdan ditangkap oleh Densus 88. Ia dituduh membantu menyembunyikan salah satu
pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo.
Padahal, sesungguhnya Hamdan tidak
tau menau jika ternyata teman yang ia bantu adalah pelaku bom bunuh diri di
Mapolresta Solo. Saat itu Hamdan hanya diminta temannya untuk membantu sebuah
urusan kerja.
Hamdan mengakui bahwa dulunya aktif
mengikuti kajian secara online melalui handphone.
Ia mengikuti kelompok Front Pembela Islam (FPI). Selain itu, ia aktif berteman
dengan kelompok yang tergabung dalam organisasi yang memiliki visi misi serupa
FPI. Ternyata, salah satu temannya itu adalah pelaku bom bunuh diri di
Mapolresta Solo.
Tak lama setelah serangan bom bunuh
diri di Mapolresta Solo terjadi, polisi langsung mendatangi rumah Hamdan dan
menangkapnya. Meski Hamdan tidak tau jika sebenarnya waktu diminta tolong
membantu untuk keberangkatan temannya ke Jakarta dalam rangka bersembunyi dari
pengejaran Densus 88. Ia tetap ditahan, diadili dan dijatuhi hukuman 3 tahun
penjara.
“Kami sekeluarga kaget, Mbak, kok
bisa pak Hamdan ditangkap. Ternyata ketracking turut bantu menyembunyikan.
Padahal waktu itu temannya bilang minta tolong supaya dibantu ke Jakarta
masalah pekerjaan. Ya suami percaya aja dan kalau bisa bantu memang dibantu
suami itu. Namanya sama teman sendiri. Suami juga gak tau tuh kalau ternyata
temannya masuk ke dalam jaringan teroris,” terang Ine.
Selama Hamdan ditahan, tentu korban
yang paling terdampak adalah istri dan anak-anak. Mau tidak mau, siap tidak
siap Ine harus merangkap posisi menjadi ayah sekaligus ibu bagi keempat anaknya
yang masih kecil. Bahkan, ketika Hamdan ditangkap pada tahun 2016, anak
bungsunya masih berusia tujuh bulan. Sedangkan anak-anaknya yang lain berada
dalam usia sekolah yang membutuhkan biaya.
Ine pun harus memutar otak dan
banting setir agar bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Berbagai usaha
pernah dijalaninya. Mulai dari jualan baju dan mukena, berdagang kue kering
hingga kini berjualan coklat karakter. Selain berusaha sendiri, pihak keluarga
sesekali juga memberikan bantuan.
Ine dan keluarganya juga pernah
menerima bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan sebuah
yayasan yang aktif dalam upaya deradikalisasi.
“Mereka pernah datang guna memberi
bantuan dana sosial sekitar dua sampai tiga kali saja. Kemudian ketika Bapak
bebas, petuga BNPT datang lagi untuk memberi modal untuk usaha,” imbuh Ine.
Ine mengaku beruntung, karena tidak
terlalu distigma. Stigma datang hanya dari satu-dua tetangganya, itupun hanya
terjadi di awal penangkapan Hamdan. Lama-lama stigma itu hilang dan masyarakat
capek sendiri.
Mayoritas tetangga sekitarnya justru
bersimpati dan tidak menghakimi. Apalagi memberikan stigma negatif pada
keluarganya. Ini karena pasangan ini cukup baik dalam bersosialisasi di
masyarakat, Dari keluarga juga tidak ada sama sekali penghakiman atau kecaman.
“Dari teman-teman bermain dan
sekolah anak pun tidak ada yang memberi stigma kepada mereka.
Hal itu dikarenakan, baik dari pihak keluarga maupun masyarakat tahu bahwa Hamdan sebenarnya tidak terlibat secara langsung dalam jaringan teroris. Hamdan hanya dimanfaatkan oleh temannya sendiri untuk melindungi dan menyembunyikan teroris. Namun, dari persidangan Hamdan tetap dijerat pasal menyembunyikan teroris dan divonis hukuman 3 tahun..
Pusaran Terorisme di Solo
Perjumpaanku dengan Ani dan Mbak Ine
berawal dari kunjunganku ke Sekretariat Yayasan Gema Salam, yaitu yayasan yang
menaungi eks narapidana kasus terorisme (napiter) di kawasan Kota Solo dan
sekitarnya atau yang lebih dikenal dengan istilah Solo Raya, pada satu malam di
penghujung bulan Maret silam.
Aku sowan ke sana untuk berkenalan dengan pak Mardi dan Hamdan.
Selama ini sudah banyak ulasan kisah
eks napiter khususnya Jaringan Teroris Solo, tetapi masih sedikit yang
menuturkan dari perspektif keluarga napiter khususnya istri eks napiter
Jaringan Teroris Solo.
Berdasarkan informasi dari pengurus
Yayasan Gema Salam, di Jawa
Tengah terdapat sekitar 490 eks narapidana teroris. Sebanyak 376 berasal dari
wilayah Solo Raya dan 290 di antaranya berasal dari Kota Solo. Sekitar 40 orang
eks napiter aktif menjadi pengurus Yayasan Gema Salam.
Yayasan
ini bertujuan untuk dan mendampingi eks napiter dalam upaya deradikalisasi
serta merangkul eks napiter supaya dapat diterima kembali di masyarakat.
Keluarga, khususnya perempuan istri napiter menjadi target utama dari yayasan
ini, karena perempuan lah yang efektif berperan dalam mencegah penyebaran paham
radikal dari keluarga. Ketika seseorang sudah telanjur kecemplung dalam
jaringan, maka perempuan juga yang diharapkan bisa menjadi benteng terakhir
yang memagari.
Solo khususnya Sukoharjo sudah lama
dibidik oleh Densus 88, karena menjadi salah satu lokasi penyebaran paham
radikal. Penyebaran paham ini dilakukan dalam sel-sel kecil yang kemudian
melakukan aksinya sendiri secara terpisah.
Terakhir,
tepatnya pada Rabu (9/3/2022) malam aparat Densus 88 menembak mati seorang
dokter berinisial SU di Sukoharjo, Jawa Tengah. SU disebut tak hanya terlibat
dalam kelompok ekstremis, tetapi ia memiliki peran penting di Jemaah Islamiyah
(JI).
Jamaah
Islamiyah adalah organisasi militan Islam yang sudah sejak lama dituduh berada
di belakang serangkaian teror di Indonesia. Kelompok ini dibentuk di Malaysia
oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar pada akhir 1980-an dan kemudian
berkembang menjadi sel-sel yang tersebar di sejumlah negara di Asia Tenggara.
Dikutip
dari laman Center for International Security and Cooperation (CISAC) Stanford
University, Jamaah Islamiyah merupakan pecahan organisasi Darul Islam (DI).
Tokoh pendirinya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir diketahui memiliki
latar belakang sebagai aktivis pergerakan Islam.
Pada
masa Orde Baru, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir melarikan diri ke
Malaysia. Di sana, mereka mulai membentuk kelompok Islam dan memfasilitasi
perjalanan ke Afghanistan bagi muslim di Asia Tenggara yang ingin bergabung
melawan Uni Soviet.
Hingga
pertengahan 1990-an, banyak anggota JI yang dilatih di Afghanistan. Organisasi
tersebut dilaporkan menerima sumber daya dan nasihat dari kelompok Al-Qaeda.
Jamaah Islamiyah juga memiliki hubungan yang kuat dengan Front Pembebasan Islam
Moro setelah Abdullah Sungkar berhasil mendirikan kamp pelatihan di Filipina.
Setelah reformasi 1998, kelompok ini kembali ke Indonesia. Tidak lama setelah
itu, Sungkar meninggal dunia.
JI
bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.Pada awalnya, JI menggunakan cara damai dalam mencapai tujuan mereka.
Tetapi pada pertengahan tahun 1990-an, mereka mulai mengambil jalan kekerasan
untuk mencapai tujuan.
Di
Singapura, Malaysia dan Filipina, pemerintahnya secara aktif mengejar para
anggota kelompok ini. Sikap berbeda diambil pemerintah Indonesia. Saat itu
pemerintah menolak mengakui ancaman teroris Islam secara nasional.
Pemerintah
juga dituding enggan berkampanye melawan ancaman ini di depan publik mayoritas
Islam yang meragukan keberadaan Jamaah Islamiyah.
Sejumlah teror yang dikaitkan dengan JI antara lain adalah serangkaian pengeboman gereja di Indonesia yang menewaskan 18 orang pada Desember 2000. Kelompok ini juga bertanggung jawab terhadap serangkaian pengeboman di Manila yang menewaskan 22 orang.
Perempuan Penyemai
Perdamaian
Kisah perempuan dalam pusaran
terorisme bukan hanya tentang para istri eks napiter. Ada juga kisah perempuan
yang aktif dalam mengkampanyekan toleransi dan menyemai perdamaian di Solo
Raya.
Salah satunya adalah Ninin Karlina,
ketua Peacegen Solo. Ia aktif mendapat undangan menjadi narasumber di berbagai
acara tentang perdamaian dan dialog lintas agama serta diskusi di polres
tentang perdamaian.
Selain sebagai agen perdamaian, ia
merupakan seorang ibu dua anak dan ustadzah di pondok Imam Syuhodo Sukoharjo.
Banyak tantangan yang harus dihadapinya dalam mengkampanyekan perdamaian.
“Agak susah dalam menempatkan diri
menjadi beberapa sosok. Aku harus bisa memposisikan kapan aku menjadi agen
perdamaian, kapan menjadi ustadzah, kapan menjadi istri, kapan menjadi ibu dan
kapan menjadi anak.” ujarnya di penghujung Maret lalu.
Ninin yang kini didapuk menjadi
Ketua PeaceGeneration aktif melakukan tindakan mitigasi bencana sosial
(konflik) dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tindakan
pencegahan berkembangkan paham radikal. PeaceGeneration merupakan salah satu
NGO yang memiliki metode penyampaian yang asyik. Mereka dapat membumikan
nilai-nilai perdamaian dengan cara yang dapat diterima oleh anak muda.
Hidup dan besar di lingkungan pondok
pesantren, Ninin juga sering mendapat stigma seperti perempuan kok keluar kota
bahkan keluar pulau tanpa muhrim. Padahal dari suami sendiri sudah setuju dan
tidak mempermasalahkan apalagi jika urusannya dengan kebaikan dan orang banyak.
Tidak sampai di situ saja, Ninin
juga sering memperoleh cibiran dari orang-orang sebagai ‘manusia proyek’.
Berkecimpungnya di dunia Non Government
Organization (NGO) menjadikannya mendapat sebutan seperti itu. Beberapa
orang memang memandang NGO hanya bekerja karena proyek. Namun, Ninin berusaha
keras untuk tidak terlalu mendengarkan anggapan seperti itu karena akan
menghambat usaha-usahanya dalam mengkampanyekan perdamaian dan toleransi.
Justru stigma-stigma yang timbul
dijadikan sebagai pacuan bahwa apa yang dilakukan itu nyata dan konkrit.
Sebenarnya Ninin begitu aktif dalam mengkampanyekan perdamaian diawali dari
kegelisahannya terhadap kinerja pemerintah yang kurang dalam menjangkau masyarakat
khususnya anak muda.
Pengalaman Ninik merupakan bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran yang vital dalam isu perdamaian dan menyebarkan toleransi. Namun, hambatan-hambatan yang dialami perempuan memang kompleks dan cenderung lebih rumit dibandingkan laki-laki sebab kontruksi masyarakat yang masih mendiskreditkan bahwa perempuan yang baik adalah ia yang berada di rumah saja dan melayani suami. Padahal ada hadits yang berbunyi bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat.
Artikel ini didukung atas kerjasama Konde.co dan The Asian Muslim Network (AMAN) Indonesia dalam program Peace Innovation Academy 2022.
*(Roudhotul Jannah, mahasiswa magister program studi Interdisiplinary Islamic Studies konsentrasi Islam dan Kajian Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Instagram: @jannahholic. HP: 083865806800