Pengajaran Puisi dalam Dunia Digitalisme

Foto oleh Suzy Hazelwood
Foto oleh: Suzy Hazelwood

Pengajaran Puisi dalam Dunia Digitalisme
Oleh: Shafwan Hadi Umry*

Puisi-puisi yang sezaman dengan para pembacanya lebih mendekatkan persoalan yang relevan dengan pengalaman pembaca, Terutama orang-orang yang hidup dalam era globalisasi dunia kini dapat melihat dan memantau kegembiraan maupun keresahan kultural bangsanya.Orang-orang modern termasuk pelajar dan mahasiswa memerlukan gagasan-gagasan yang mampu menarik diri mereka kembali ke pusat keberadaannya. Secara menarik Wiratmo Soekito pernah menulis, ” Banyak sastrawan, tetapi sedikit sastra. Banyak penyair, tetapi hanya sedikit puisi. Banyak pemikir sedikit pikiran"(l 984:24).

Andaikata fakta-fakta semacam itu dikembangkan lagi maka sistem menjelajahi karya sastra menuntut suatu keahlian tersendiri. Keahlian dalam memilih puisi yang bertabur di media teks maupun digital. Hal ini belum tentu dapat dilakukan oleh mahasiswa tingkat permulaan kalau tradisi membaca sastra tidak pernah dibiasakan dan pelatihan membaca karya sastra tidak pernah digalakkan sejak tingkat sekolah lanjutan pertama. Banyak sudah para pakar dan sarjana sastra yang mencemaskan keawaman. mahasiswa terutama siswa dalam" memahami sastra sebagai abstraksi kehidupan.

Andre Harjana dalam satu tulisannya pernah berbicara tentang "kalangan mahasiswa akan terdengar keluhan yang semakin keras bahwasanya mereka bukannya ditugaskan untuk menekuni buku-buku sastra melainkan buku-buku tentang sastra" . (1981 : 51). Budi Darma secara cukup tajam kembali 'menoreh luka' ini dengan cuplikan tulisannya yang cukup tajam : "Untuk kepentingan operasional, pendidikan dipaket dalam bentuk kurikulum lengkap dengan silabinya. Maka pendidikan menjadi sangat formal, dan ijazah adalah formalitas.Karena itu , di mana pun, pendidikan banyak menghasilkan sarjana gagu.Sarjana saatra tidak bisa bicara sastra (1991:8).

Secara sederhana ada 3(tiga) hal yang perlu dilakukan pembaca terhadap karya sastra. (I) Pengarang: bagaimana hubungan karya ini dengan karya-karyanya yang lain, dengan hidup pengarang sendiri, dan dengan zaman kehidupan pengarang itu, (2) Pengamatan yang teliti dan terperinci tentang naskah karya: bentuk susunan karya ini, gagasan atau pemikiran pokoknya, dan pandangan dan penjelasan tentang persoalan bahwa yang dipergunakan, sindiran, gambaran, luapan hati, teknik penulisan, dan sebagainya, (3) Pengelompokan dan penggabungan pengamatan secara terperinci lengkap dengan penafsirannya

Pendekatan Sastra

Banyak teori pendekatan sastra dalam hal ini puisi yang telah diperkenalkan para ahli sastra. Teori pendekatan yang praktis sesuai dengan tingkat kesukaran mahasiswa dapat diperkenalkan di bawah ini. Teori pendekatan ini sebenarnya merupakan beberapa adaptasi dari pendekatan teori yang telah dibuat dan dirumuskan para ahli.

Ada tujuh fase yang dirancang dengan menggunakan tahap tahap yang diajukan kepada siswa. Untuk penjelasan fase-fase tersebut diadakan perincian sebagai berikut. (l)Pemilihan sebuah puisi karya penyair Indonesia (2) Fase berikutnya mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa tanpa komentar dosen. Pertanyaan itu dapat dimajukan dalam aspek seperti, tema, sikap penyair terhadap puisinya, nada (sikap penyair terhadap pembaca) amanat (maksud), gaya bahasa yang dipergunakan, dan persajakan yang dipakai. (3) Pemakaian kalimat-kalimat penjelas sebagai argumentasi yang dibeikan mahasiswa dalam memperjelas atau mendukung penentuan aspek-aspek yang dianalisis. (4) Mencantumkan frase : kunci sebagai memperkuat analisis puisi yang dikutip dari beberapa kata-kata dalam teks puisi penyair. Seorang mahasiswa ditugasi untuk mengumpulkan hasil analisis puisi tersebut dan mengelompokkan sumbang saran tiap-tiap mahasiswa dalam dua kelompok yang menyampaikan sumbang saran itu dapat dilihat dalam kesamaan tema dan pesan yang diberikan penyair terhadap puisinya. (5) Mahasiswa menggeneralisasi yang telah dianalisis dalam diskusi kelompok. (6) Pada tahap ini dosen "menggiring" mahasiswa lebih jauh menyusun pertanyaan dengan memakai kata tanya mengapa/bagaimana". Mengapa puisi Kerawang Bekasi bertemakan kepahlawanan dan pemujaan terhadap seorang tokoh . Bagaimana sikap penyair dan pembaca terhadap puisi ini? (7) tahap dalam pendekatan yang praktis ini mengantarkan mahasiswa untuk memiliki sikap mandiri dalam menikmati sebuah puisi. Proses pengajaran apresiasi puisi dalam situasi ini menempatkan mahasiswa sebagai aktor yang aktif dan dosen sebagai instruktur dan sang pembimbing yang bijaksana. Pilihan pertama yang diberikan dosen untuk menghidangkan sebuah puisi di depan kelas merupakan kunci akan keberhasilan pengajaran puisi.Jika dosen bukan seorang yang suka membaca puisi untuk kesenangan, ia tak dapat mendorong mahasiswanya untuk menyenangi puisi itu.

Pemilihan puisi sebagai bahan pengajaran sastra banyak ditentukan oleh cita rasa dosen dan tak dapat ditentukan oleh sebuah panitia. Dosen sebagai pembimbing di depan kelas semakin lama dituntut untuk mengikuti selera zaman yang terus berubah. Ada puisi yang kehilangan pesona untuk zaman ini. Beberapa puisi Angkatan 66 bahkan juga puisi Angkatan 2000 termasuk di dalamnya. Namun menurut konteks zamannya di antara puisi-puisi tersebut ada yang terbaik dan akan menjadi satu bagian dari sejarah. Di sinilah diperlukan kearifan dosen untuk memilih dan mengangkatnya kembali dalam pembicaraan yang relevan dengan kehidupan masyarakat.

Para mahasiswa hendaknya didorong untuk membaca puisi yang ditulis penyair yang masih hidup. Penyair yang berbicara kepada siswa adalah sezaman dengannya dan kepekaan mahasiswa mempunyai persamaan dengan kepekaan penyair. Dengan demikian mahasiswa diharapkan mampu memahami puisi dalam zamannya. Hal ini hanya dapat diperoleh dengan membaca puisi sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Di samping itu dosen perlu juga memperkenalkan puisi klasik karena ia merupakan landasan bagi penciptaan puisi-puisi sekarang.

Puisi Media Digital

Apa yang disebut puisi digitalisme sebagai produk zaman sekarang sering menjadi problema dosen di depan kelas. Pengajaran puisi mutakhir merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Puisi jenis ini tak dapat diajarkan dengan cara-cara yang persis sama seperti cara yang dipakai untuk menggarap puisi produk masa lampau. Namun sebagai alternatif, pendekatan praktis apresiasi puisi di atas diharapkan dapat: mendekatkan para mahasiswa dan dosen pada puisi mutakhir termasuk puisi dalam dunia digitalismepada sastra di media sosial.

Sastra dalam media sosial yang tergolong facebook, Instagram, twitter dan berbasis online kian marak beredar dan merayap di langit dunia global. Sastra koran yang dulu menjadi idola dan perhatian pembaca mulai ditinggalkan secara berangsur-angsur .Sama halnya perpustakaan di sekolah, di kampus dan di layanan umum juga menerima nasib yang sama.

Gejala hijrah teknologi kertas ke ranah digital berbasis online ini suatu kejutan budaya yang akhirnya tidak lagi membuat orang terkejut. Ia suatu hal yang diterima sebagaimana adanya.Seorang kurator puisi pernah menulis begini. Sastra koran yang dulunya punya pengaruh luar biasa terhadap penulis yang ingin memajang tulisannya agar diketahui publik pembaca, kini mulai ditinggalkan. Para penulis (puisi dan cerita pendek) kini bebas menentukan sendiri kemana karyanya akan dikirim. Ia tidak lagi berhadapan dengan redaktur budaya koran yang terkadang menyimpan berbulan-bulan karyanya bahkan sang redaktur sastra menjadi otoriter untuk menolak, atau menerima bahkan memanipulasi tulisan itu sesuai dengan pemikiran dan pertimbangannya.

Kurator Puisi

Kata kurator menurut Wikipedia adalah pengurus atau pengawas institusi warisan budaya atau seni. Misalnya museum, arena pameran, galeri foto dan perpustakaan. Kurator bertugas untuk memilih dan mengurus objek museum . karya seni yang dipajangkan. Kurator adalah profesi yang spesialis mencatat, menafsirkan dan yang lebih penting mensahihkan sesuatu karya , baik itu bersifat teknologi, maupun ilmu dan seni.

Peranan kurator dalam bidang sastra (puisi dan cerpen) sangat menentukan. Kurator yang ditunjuk atau dipercaya oleh sebuah lembaga atau komunitas untuk mengkurasi karya puisi memiliki ’otoritas’ yang tak dihindarkan termasuk juga untuk menentukan dan mentasbihkan apakah sebuah puisi layak dipilih atau ditolak. Dewasa ini peran kurator sangat strategis untuk mengkurasi buku-buku antologi puisi bersama.

Kualitas Puisi

Posisi kurator tidak mudah dan sembarangan. Ia harus mampu dan piawai untuk memilih dan memilah tentang puisi mana yang layak diterima dan layak ditolak .Apabila sejumlah penyair tanah air yang ternama diundang untuk mengirimkan karya puisinya, sang kurator mudah menerima dan merekomendasi puisi itu layak muat. Namun, apabila tigaratus penulis puisi yang belum ternama maupun sudah ternama mengirimkan karyanya untuk dipilih dan dimuat dalam sebuah antologi, maka timbullah dilematis dan pertimbangan kritis .

Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan.Pertama, apakah kurator siap untuk menjatuhkan pilihan pada penyair belum ternama karena puisinya relatif bagus dibandingkan para penyair punya nama .Kedua, apakah kualitas puisi masih perlu dipertahankan bila buku antologi puisi diharuskan terbit dalam jumlah tigaratus bahkan seribu halaman. Kita teringat tulisan Chairil Anwar sang Penyair Besar Indonesia ,”Semuanya perlu dicatat, semuanya dapat tempat”.

Sebagian besar pengalaman kurator yang dimandatori selaku pengelola dan pemilih puisi selalu berhadapan dengan pertimbangan buruk-baiknya suatu karya sastra .Ia bukan saja berhadapan dengan karya puisi yang dikurasinya akan tetapi juga bersiap menghadapi para penulis dan penyair yang dikurasinya. Peristiwa ini pernah ditulis Nanang R Supriatin (2022) Ketika mengkurasi 105 penyair dalam sebuah antologi puisi.”Apakah para kurator bertindak sebagai hakim yang memvonis puisi ini bagus, dan puisi itu jelek? Ini penulis senior, penyair yang sangat dikenal. Sedangkan itu penulis yunior yang konon kabarnya tidak produktif menulis dan puisi-puisinya belum menghiasi media? Apakah selera mendominasi kurator?”Ini juga permasalahan yang dihadapi dosen dan guru di sekolah.

Penyair dan Bahasa

Pekerjaan seorang sastrawan( penyair) adalah menciptakan, sedang pekerjaan seorang pembaca sastra adalah memahami dan mendalami hasil pekerjaan sastrawan. Seorang sastrawan yang menulis buku-buku untuk rakyat banyak tetap berada dalam bahasa. Namun, ketika ia menulis dalam genangan proses penciptaan maka yang terjadi adalah bahasa sebagai suatu dunia luar, karena ia sedang menciptakan objek-objek termasuk kata-kata secara kreatif.

Peran bahasa sangat penting dalam sastra. Hal ini dapat dibuktikan ketika Subagio Sastrawardojo (Umry,2012:47) menyatakan di dalam lukisan, nyawa masih terus bergulat hendak mengucapkan diri seakan-akan terkungkung dalam tubuh yang tak dianugerahi bahasa. Maka pada akhimya Subagio.menyambut bidang kesusastraan sebab di sini dia dapat mengucapkan dirinya secara penuh sebagai manusia sekalipun insaf bahwa bayangan yang terlukis lebih kekal dan universal daripada bahasa sebagai sarana sastra.

Di bawah ini diturunkan satu paragraf sajak Afrizal Malna (1995:11):

'kita lihat Sartre malam itu lewat pintu tertutup menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain, tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya , masih merasa heran dengan kematian pikiran/neraka adalah orang-orang lain" tak ada yang memberitahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan memposisikan mereka di sudut sana. Lalu kukutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu. Mereka telah melebihi diriku sendiri (Migrasi dari kamar Mandi).

Sebuah sindiran cukup tajam yang disampaikan Afrizal Malna adalah dominasi kemerdekaan individu pada segala hal, namun di pihak lain sebenarnya ia berarti kericuhan dan chaos, ketidaknyamanan sosial seperti yang dialami masyarakat kita saat ini. Eksistensialisme yang membela individualisme tampil dalam tesis 'neraka adalah orang lain' seperti yang digaungkan Sartre di masa lampau.

Kesimpulan

Puisi-puisi yang sezaman dengan para pembacanya lebih mendekatkan persoalan yang relevan dengan pengalaman pembaca, Terutama orang-orang yang hidup dalam era globalisasi dunia kini dapat melihat dan memantau kegembiraan maupun keresahan kultural bangsanya.Orang-orang modern termasuk pelajar dan mahasiswa memerlukan gagasan-gagasan yang mampu menarik diri mereka kembali ke pusat keberadaannya.

Para mahasiswa hendaknya didorong untuk membaca puisi yang ditulis penyair yang masih hidup. Penyair yang berbicara kepada siswa adalah sezaman dengannya dan kepekaan mahasiswa mempunyai persamaan dengan kepekaan penyair. Dengan demikian mahasiswa diharapkan mampu memahami puisi dalam zamannya. Hal ini hanya dapat diperoleh dengan membaca puisi sebagai kegiatan ekstra kurikuler. Di samping itu dosen perlu juga memperkenalkan puisi klasik karena ia merupakan landasan bagi penciptaan puisi sekarang.


                                               

Shafwan Hadi Umry, lahir (1951) di Bedagai dan besar di Perbaungan  Kabupaten Serdang Bedagai Sumatra Utara.Menulis puisi dan esai sastra untuk para siswa di bangku sekolah  SMA dan mahasiswa. Beberapa buku puisinya dikumpulkan dalam “Menyimak Ayat Ombak”(edisi 1997),”Titian Laut” (edisi 1999) ,  “Muara” (edisi 1989), Nyanyian Hujan (2021) .Beliau pernah berkiprah selaku guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri (1976-1982) dan SMA Negeri-1 Medan (1982-1993).Kini alumnus Pascasarjana (S-3) USU  itu mengajar di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU)  Medan. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak