Membaca Teks Akad Nikah





MEMBACA TEKS AKAD NIKAH

Oleh: Buhadi, S. Ag., M.H.I.
(Kepala KUA di bawah instansi KEMENAG Situbondo)

      Nomenklatur teks akad nikah adalah merupakan siratan makna ijab kabul nikah. Ijab kabul nikah dalam fikih populer dikenal dengan sebutan sighat. Menurut Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhor (1196;1198) Sighat secara bahasa artinya bentuk kalimat, kata (bahasa). Dengan kata lain, sighat merupakan kata-kata yang tersusun baik secara lisan maupun tertulis dapat dikatakan sebagai teks.

    Sighat secara istilah yaitu lafaz atau kata yang digunakan dalam akad tertentu. Sehingga dapat dipahami bahwa sighat akad nikah adalah teks akad nikah atau bacaan yang digunakan oleh kedua belah pihak, baik dari pihak wali perempuan atau calon pengantin laki-laki dan atau orang yang mewakili keduanya dalam proses pelaksanaan akad nikah. Konkretnya, teks akad nikah secara sederhana dapat dijelaskan sebagaimana yang tercantum di dalam kitab Al-Qawanin Al-fiqhiyyah adalah: “Al-sighatu wahiya ma sodara minalwali waminazzauji au min wakilihima al-dallati ala in’iqadi”. (Sighat adalah ucapan dari pihak wali perempuan atau wakilnya disebut Ijab. Dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya disebut kabul yang menunjukkan terjadinya atas suatu akad).

     Akad nikah terdiri dari dua kata, yaitu kata akad dan kata nikah. Kata akad artinya perjanjian kontrak. Sedangkan nikah ialah ikatan pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum syariat. Jadi, akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan kabul nikah. Pernyataan yang menunjukkan keinginan wali untuk menikahkan anak perempuannya disebut ijab. Sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pihak mempelai laki-laki untuk menyatakan rida atau setuju disebut kabul. Kedua pernyataan antara ijab dan kabul inilah yang dinamakan sighat akad nikah dan dapat diintisarikan sebagai “teks akad nikah” dalam pernikahan.

    Teks akad nikah terangkai dari susunan kata-kata menjadi kalimat. Dan susunan kalimat itu yang berupa lafaz yang diungkapkan lewat bahasa. Bahasa yang digunakan bermacam-macam sesuai kondisi budaya dan daerah masing-masing.

    Tujuan praktis bahasa digunakan sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari, termasuk diantaranya adalah digunakan dalam ijab kabul akad nikah. Bahasa Ijab kabul inilah sebagai media transaksi akad antara wali nikah dengan calon pengantin pria.

    Dalam literatur fikih, sighat atau teks akad nikah populer dengan sebutan ijab kabul nikah, yang merupakan rukun nikah yang tidak pernah diperselisihkan dalam fikih islam. Dalam konteks ke Indonesian, hal ini termaktub dalam pasal 14 huruf e Kompilasi Hukum Islam (KHI), yakni untuk melaksanakan perkawinan harus ada ijab dan kabul. Dengan demikian, teks akad nikah (ijab kabul nikah) menempati posisi yang sangat urgen dan sakral dalam berlangsungnya proses pernikahan. Maka dengan adanya Peristiwa ijab kabul nikah antara wali calon pengantin perempuan dengan calon pengantin laki-laki sebuah ikatan suci pernikahan dapat terjadi guna menuju rumah tangga sakinah fi al-dunyah wa al-akhirah berpondasikan mawaddah warahmah.

    Dalam fikih Syafi’iyah, urgensitas keberadaan wali nikah sangat menentukan keabsahan nikah. Karena dalam pernikahan wali nikah sebagai aktor pemantik sahnya akad nikah, sebagaimana sabda junjungan kita nabi Muhammad SAW “La nikaha illa biwaliyyin wa bisyahiday a’dlin”, tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.

    Bunyi lafaz “teks akad nikah” ini berkaitan erat dengan bahasa sebagai media tuturan dalam komunikasi. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi antara penutur dan mitra tutur hendaknya menggunakan tuturan yang baik dan benar supaya dapat dipahami oleh penutur dan mitra tutur. Sebab teks akad nikah (sighat) sebagai senjata pamungkas rukun nikah dalam proses pelaksanaan akad nikah harus menggunakan redaksi yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakan agar memiliki efek pada pelaku akad nikah.

Problematika Terjemahan Teks Akad Nikah
    Ada problematika menarik tentang teks akad nikah dalam proses pelaksanaan pernikahan, selama penulis malang melintang di dunia kepenghuluan yang notabene sebagai pemangku dalam proses pelaksanaan pernikahan yang berbasis hukum agama dan negara. Misalnya, tentang varian pelafalan bunyi terjemahan teks akad nikah bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Baik yang diucapkan oleh wali calon pengantin perempuan atau oleh tokoh agama maupun Pegawai Pencatat Nikah yang bertindak sebagai wakil wali nikah. Demikan pula kabul oleh pihak calon mempelai laki-laki atau wakilnya.

    Pada ghalibnya, wali mempelai perempuan yang mengakad sendiri pada posisi saling berhadap-hadapan (muwajaha) dan berjabat tangan (musafaha) dengan calon mempelai laki-laki dengan penuh hidmat, seraya wali mengucapakan ijab. Lalu dalam jeda waktu yang singkat calon mempelai laki-laki mengucapkan kabul. Setidaknya ada varian yang berbeda terjemahan ijab dan kabul nikah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang sering jumpai penulis di dalam pelaksanaan pentas akbar pernikahan.

    Pertama, wali mengucapakan ijab dalam bahasa Indonesia dengan redaksi mendahulukan penyebutan calon pengantin laki-laki dinikahkan kepada calon pengantin perempuan dengan menggunakan diksi “menikahkan dan mengawinkan serta menggunakan preposisi “dengan” atau “kepada”. Misalnya contoh:

Ucapan ijab dari seorang wali yang menikahkan sendiri:

”Ananda Muhammad bin Saleh[1] saya menikahkan dan saya mengawinkan kamu dengan putriku yang bernama Fatimah[2] dengan maskawin uang satu juta rupiah dibayar tunai ”.

”Ananda Muhammad bin Saleh saya menikahkan dan saya mengawinkan kamu kepada putriku yang bernama Fatimah dengan maskawin uang satu juta rupiah dibayar tunai ”.

Dijawab oleh calon mempelai pria dengan lafaz:

“Saya terima menikahi dan mengawini Fatimah putri bapak....dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”.

“Saya terima nikahnya dan kawinya Fatimah putri bapak....dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”.

Kedua, wali mengucapkan ijab dalam bahasa Indonesia dengan redaksi mendahulukan penyebutan calon pengantin wanita dinikahkan kepada calon pengantin pria dengan menggunakan preposisi “dengan” atau “kepada”. Misalnya contoh kalimat dibawah ini:

Ucapan ijab dari seorang wali nikah yang menikahkan sendiri tanpa diwakilkan:

”Ananda Muhammad bin Saleh saya nikahkan dan saya kawinkan kamu dengan putriku yang bernama Fatimah dengan maskawin uang satu juta rupiah dibayar tunai ”.

”Ananda Muhammad bin Saleh saya nikahkan dan saya kawinkan Fatimah putriku kepadamu dengan maskawin uang satu juta rupiah dibayar tunai ”.

Dijawab oleh calon mempelai pria dengan lafaz:

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Fatimah putri bapak....dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”.

“Saya terima menikahi dan mengawini Fatimah putri bapak....dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”.

    Dan yang paling fenomenal dan terasa baru terjadi di bumi nusantara pada hari Rabu tanggal 8 Nopember 2017 yaitu ada pembacaan baru terjemah teks akad nikah yang dilafazkan Pak Jokowi saat menikahkan putrinya kepada saudara Bobby Afif Nasution dengan menggunakan diksi “saya jodohkan” yang belum pernah dan tidak biasa pada umumnya diucapkan pada pelaksanaan akad nikah di Indonesia. Misalnya seperti contoh kalimat teks akad nikah dibawah ini :

“Saya nikahkan dan saya jodohkan anak kandung perempuan saya Kahiyang Ayu dengan Engkau, Muhamad Bobby Afif Nasution bin insinyur Erwin Nasution almarhum dengan maskwin seperangkat alat sholat dan emas seberat 80 gram dibayar tunai”.

    Kalimat di atas dilafazkan Presiden Joko Widodo sebagai tanda ijab (menyerahkan) putrinya kepada Muhammad Bobby Afif Nasution. Kemudian Muhammad Bobby Afif Nasution menerima atau mengabulkan (kabul) penyerahan (ijab) tersebut, dengan lafaz:

“Saya terima nikahnya dan jodohnya Kahiyang Ayu binti Joko Widodo dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas seberat 80 gram dibayar tunai”.

    Bertolak dari itu, adapun problem yang terus melilit dalam terjemahan teks akad nikah bahasa Arab ke bahasa Indonesia pada tataran aksi yang perlu mendapat perhatian dan solusi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, agar tidak terjadi resistensi bagi pelaku akad nikah diantaranya adalah:

Konfiks “me-kan” dan sufiks “kan”
        Berbicara tentang bahasa tentunya hal yang sangat menarik, karena setiap bahasa memiliki struktur kebahasaan seperti fonologi, morfologi, sintaksis. Morfologi merupakan bagian dari tataran linguistik yang membahas tentang bentuk kata. Proses ini salah satunya adalah afiksasi.
     Afiksasi memiliki fungsi sebagai pembentuk kelas kata atau makna. Afiksasi dalam bahasa Indonesia terdiri dari perfiks, konfiks, infiks, dan sufiks. Afiksasi dalam bahasa Indonesia dapat terjadi di berbagai kelas kata seperti kata kerja (verba), kata keterangan (adverbia), kata benda (nomina), dan kata bilangan (numeralia). Penggunaan afiksasi (imbuhan) yang salah dapat menyebabkan sebuah kata atau kalimat menjadi tidak komunikatif. Oleh karena itu, diperlukan kejelihan pada penggunaannya. 

    Demikian pula penggunaan afiksasi yang terdapat pada diksi “menikahkan” dan “nikahkan” dalam struktur kalimat teks akad nikah, hasil terjemahan bahasa Arab ke bahasa Indonesia.

    Kata “menikahkan” telah mengalami konfiks me-kan, yang berpola berawalan “me” dan berakhiran “kan” yang mempunyai makna benefaktif (melakukan pekerjaan untuk orang lain). Sedangkan sufiks “kan” adalah imbuhan di akhir kata, yang terjadi pada kata “nikahkan” yang bermakna kausatif (membuat jadi). Jadi kata nikahkan terasa lebih tegas dari kata menikahkan dalam pengaplikasiannya. Bukankah menurut fikih redaksi ijab kabul nikah butuh ketegasan makna?.

Preposisi “kepada” dan “dengan”
    Menurut Parera menyatakan, bahwa preposisi atau kata depan adalah kata yang menerangkan kata-kata atau bagian kalimat dan biasanya diikuti oleh nominal atau pronominal.[3] Kata depan adalah kata yang menghubungkan kata benda dengan bagian kalimat. Kata depan umumnya digunakan untuk mengantar suatu objek penyerta kalimat dan tidak boleh mengantarkan subjek kalimat.

    Jadi, kata depan merupakan kata-kata yang secara sintaksis diletakkan sebelum kata benda, kata kerja atau kata keterangan dan secara semantik kata depan merupakan suatu penanda dari berbagai hubungan makna antar kata depan dengan kata yang dibelakangnya.
Kaitannya dengan fenomena terjemah teks akad nikah preposisi yang sering dijumpai berupa “dengan” atau “kepada”.

Pertama, preposisi kata “dengan” pada biasanya digunakan pada tiga hal, diantaranya sebagai menyatakan beserta, alat, dan cara atau sifat perbuatan.

Kedua, preposisi kata “kepada” digunakan untuk menyatakan tempat yang dituju baik yang bersifat insani atau bukan insani (sasaran atau tertuju terhadap sesuatu).

Berikut contoh dari masing-masing preposisi “dengan” atau “kepada” yaitu:

a. Preposisi “dengan” untuk menyatakan alat, digunakan di muka kata benda yang menyatakan alat. Misalnya; Adik menulis dengan spidol.
b. Preposisi “dengan” untuk menyatakan beserta, digunakan dimuka kata benda yang menyatakan orang. Misalnya; Dia datang dengan ibunya.
c. Preposisi “dengan” untuk menyatakan cara atau sifat perbuatan, digunakan dimuka kata sifat atau kata keterangan. Misalnya; Kami diperiksa dengan teliti.
d. Preposisi “kepada” untuk menyatakan tempat yang dituju atau sasaran, digunakan dimuka obyek dalam kalimat yang predikatnya mengandung pengertian tertuju terhadap sesuatu yang bersifat insani. Contoh; Saya nikahkan Fatimah kepada Ali.
e. Preposisi “kepada” untuk menyatakan yang bukan insani atau arah tempat yang tidak sebenarnya. Contoh; Kembali kepada Pancasila.

    Penggunaan kata depan ”dengan” atau ”kepada” harus sesuai dengan kaidah yang baku, sehingga tidak ada ambigu dan musykil bagi para penutur bahasa indonesia. Untuk menentukan kata depan yang sesuai, ada dua hal yang harus diperhatikan, apa kata yang didahului dan apa arti yang ditandai.
Kata “dengan” atau “kepada” digunakan untuk kata yang menyatakan orang atau selain tempat, cuma arti yang ditandai berbeda. Kalau kata “dengan” untuk menandai kebersamaan, sementara kata “kepada” digunakan untuk menandai suatu tujuan atau sasaran. Hal ini penting, agar mudah dipahami dalam berkomunikasi sebagai tuturan dengan mitra tutur. Jelasnya dengan pemilihan preposisi yang tepat, maka dapat dipastikan jauh dari resistensi bagi para pendengar yang menikmati tuturan. Karena penggunaan preposisi tepat guna. Pentingnya penempatan preposisi dalam kalimat bagi penerjemah khususnya pada teks akad nikah sangat menentukan kualitas hasil terjemahan dalam menggali keakuratan, keterbacaan, dan keberterimaan endapan makna. Dari penjelasan tentang fungsi preposisi di atas, maka penggunaan preposisi “dengan” dalam konteks terjemahan ijab teks akad nikah bahasa Arab ke bahasa Indonesia dalam pelaksanaan akad nikah kurang tepat dengan alasan berpotensi ketaksaan makna.

Penempatan Objek.
    Penempatan objek kata “kamu” sebagai objek pertama dan “putriku yang bernama fatimah”[4] sebagai objek kedua terjadi paradok dan tidak berbanding lurus dengan logika hukum tauliyah. Pada terjemahan teks akad nikah bahasa Arab ke bahasa Indonesia tersebut terjadi ketaksaan makna. Karena terjadi overlapping antara peran dan fungsi wali yang punya otoritas menikahkan anaknya kepada calon mempelai laki-laki sebagai konskuensi logis dari logika hukum tauliyah. Hal ini yang menjadi kurang perhatian bagi pelaku akad nikah. Oleh karena itu, perlu perbaikan penempatan objek yang tepat dalam bahasa sasaran dengan proses tranposisi (mengakhirkan objek yang pertama dan mengawalkan objek yang kedua) dalam pengalihan makna terjemahannya dengan tujuan agar struktur kalimat terjemahan teks akad nikah ada kesesuaian dengan kehendak bahasa sasaran dengan tidak merubah makna bahasa asal. Hal semacam ini dalam ilmu (ma’ni) dikenal dengan istilah taqdim wa takhir.

    Dalam penerjemahan memang tidak mudah, dibutuhkan strategi penerjemhan untuk menggali endapan makna. Sebab perbedaan bahasa yang meliputi karakter dan budaya terkadang kita terjebak dalam style gaya bahasa yang hendak diterjemahkan sehingga hasil terjemahan tidak nampak keberterimaan dan keterbacaan oleh pembaca.

    Tulisan ini mencoba mereparasi terjemahan teks akad nikah yang selama ini menjadi distorsi di kalangan para pelaku akad nikah. Oleh karena itu, tawaran pembacaan baru terjemahan teks akad nikah ini kiranya dapat membantu sabagai problem solving yang dapat diimplementasikan dalam penerjemhan teks akad nikah yang problematis tersebut.

Logika Hukum Tauliyah
    Dalam prosesi pelaksanaan akad nikah, posisi wali sangat penting sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula dimintai persetujuannya untuk keberlangsungan akad nikah. Pengertian wali yang dimaksud secara umum adalah seseorang yang berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Artinya keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti hal ini selaras dengan Al-Qur’an surat al-Nur ayat 32 disebutkan:

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٣
“Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang membujang diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha mengetahui”.[5]

    Ayat di atas memainkan peran tengtang posisi wali untuk menikahkan orang bujang baik laki-laki maupun perempuan. Namun kelanjutan ayat tersebut memberi pemahaman kepada kita, bahwa kita dianjurkan memberi semacam motivasi sekaligus memfasilitasi terhadap laki-laki maupun perempuan yang masih melajang atau membujang supaya menikah. Oleh karena itu, ayat tersebut dapat dipahami bahwa laki-laki yang telah cakap adalah pihak yang mandiri bisa melaksanakan perkawinan. Sedangkan perempuan yang telah cakap adalah pihak yang bisa dinikahkan oleh walinya kepada laki-laki lain dengan menggunakan tuturan teks akad nikah. Disinilah wali perempuan mempunyai peran sentral sebagai wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki (calon suami) yang melamarnya.

    Dalam hukum islam “tauliyah” adalah tanggung jawab kewenangan kepada orang lain. Dalam konteks pernikahan, seorang wali mempunyai hak tauliyah terhadap anak perempuannya atau terhadap orang yang dibawah perwaliannya untuk dinikahkan. Jadi konsep tauliyah adalah suatu konsep yang mana wali mempunyai wewenang penuh menikahkan anaknya kepada calon suaminya bukan sebaliknya.

    Perwalian dalam istilah fikih disebut wilayah yang berarti pengusaan atau perlindungan. Jadi yang dimaksud perwalian adalah pengusaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab madzahibul arba’ mengatakan, bahwa “wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali”.
    
    Urgensi dan eksistensi wali nikah sang penentu keabsahan akad nikah. Jadi wali nikah mempunyai otoritas penuh dalam hal kewenangan untuk menikahkan putrinya kepada seorang calon suaminya dan sebagai poros pemantik sahnya akad nikah antara calon istri dan calon suami, tanpa wali maka akad nikahnya dianggap tidak sah.

الولى فى النكاح هو ما يتوقف عليه صحة العقد فلا يصح بدونه

“Wali nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali”.

    Dengan demikian wali dalam pernikahan adalah merupakan sesuatu yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. Untuk lebih jelasnya perhatikan hadits yang diriwayatkan Bukhari, bahwa hadits ini menceritakan peristiwa Ma’qil bin Yasar yang enggan menikahkan saudaranya. Kemudian turunlah wahyu surat Al-Baqarah ayat 232 berkenaan dengan dirinya.

حدثنا احمد ابن ابي عمرو قال حدثني ابي قال ابراهيم عن يونس عن الحسن فلا تعضلوهن قال حدثني معقل بن يسار انها نزلت فيه قال زوجت اختا لي من رجل فطلقها حتى اذا انقضت عدتها جاء يخطبها فقلت له زوجتك وفرشتك واكرمتك فطلقتها ثم جئت تخطبها لا والله لا تعود اليك ابدا وكان رجلا لاباًس به وكانت المرآة تريد ان ترجع اليه فانزل الله هذه الاية فلا تعضلوهن فقلت الان افعل يا رسول الله قال فزوجها اياه (رواه البخارى)

“Ahmad ibnu Abi Umar telah menceritakan ayahku bertutur, Ibrahim berkata dari Yunus dan Hasan tentang firman Allah “Fala ta’dhuluhunna”, ia berkata, Ma’qil bin Yasar berkata bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan dia. Ia berkata, “Saya menikahkan saudara perempuan saya kepada seorang pria, kemudia ia menceraikannya hingga masa iddahnya habis. Lalu pria tadi datang meminangnya. Saya berkata padanya: Aku dulu mmenikahkanmu dengan menghormatimu tetapi kamu menceraikannya, sekarang kamu datang meminangnya. Tidak... demi Allah... aku tidak mau mengembalikannya kepadamu selamanya. Pria itu tidak bereaksi apa-apa, sementara, wanita (saudara saya) malah ingin kembali menjadi istrinya. Maka Allah menurunkan ayat ini. Maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, saya taat akan melaksanakan (menikahkannya lagi kepada laki-laki itu)”. (HR.Bukhari).[6]

    Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa menurut konsep logika hukum tauliyah nikah posisi wali nikah adalah orang yang menikahkan perempuan yang dibawah perwaliannya kepada laki-laki calon suaminya. Jadi secara logika hukum tauliyah adalah wali yang menikahkan anaknya, bukan menikahkan anaknya orang lain (calon suami). Maka jika dibalik, ialah wali menikahkan calon suami pada anak yang di bawah perwaliannya sudah dapat dikatakan menyalahi logika hukum tauliyah. Oleh karena itu, secara logika hukum tauliyah bahwa makna gramatikal teks akad nikah bahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Indonesia harus disesuaikan pada kedudukan posisi wali nikah yang mempunyai otoritas untuk menikahkan anak perempuannya atau orang yang dibawah perwaliannya dan yang menerima kabul adalah calon suami.

    Dengan ungkapan lain, posisi wali, calon istri, dan calon suami harus jelas posisinya sesuai dengan logika hukum tauliyah. Untuk memberi gambaran yang utuh kalau saya uraikan dengan pemahaman sederhana ialah ada tiga unsur pokok yang tak boleh tumpang tindih posisi masing-masing di antara mereka, karena akan mengakibatkan ketidak sesuain posisi peran masing-masing yang mengakibatkan hasil terjemahan yang ambigu. Inilah tiga unsur pokok yang dimaksud sebagai peran utama. Pertama, wali nikah (muzawwij) adalah yang menikahkan anaknya kepada calon menantunya. Kedua, calon pengantin perempuan (muzawwajah) yang dinikahkan. Ketiga, calon mempelai laki-laki (mutazawwij) yang menerima nikah. Ketiga unsur pokok ini harus sesuai perannya pada posisi masing-masing.

    Untuk memperkuat argumen secara logika hukum, bahwa yang dinikahkan oleh wali adalah perempuan kepada laki-laki, yaitu adanya potret sejarah tentang pernikahan Ibu Hawa kepada Nabi Adam dan Fatimah kepada Sayyidinah Ali dengan sebuah teks redaksi yang sangat simpel dan sederhana yaitu:

اشهد ملائكتى وسكان سمواتى زوجت حواء بادم بديع فطرتى .اهـ

“Aku bersaksi kepada malaikatku dan penghuni langitku, Aku mengawinkan Hawa kepada Adam mahluk buatanku yang baru”.[7]

ثم ان الله عز وجل امرني ان ازوج فاطمة بنت خديجة من علي بن ابي طالب فاشهدوا اني قد زوجته على اربعمائة مثقال فضة

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatima puteri Khadijah kepada Ali bin Abi Thalib, maka saksikan sesungguhnya aku telah mengawinkan Fatimah kepada Ali dengan maskawin perak 400 gr”.[8]



[1] Muhammad bin Saleh bukan nama yang sebenarnya, ini hanya contoh.
[2] Begitu juga Fatimah hanya sebagai contoh pengantin wanita.
[3] Parera, Pintar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2006), hal 56.
[4] Hanya sebagai contoh kasus di atas yang problematik.
[5] DR. Ahmad Hatta, MA (Tafsir Qur’an Perkata, Maghfirah Pustaka, 2009), hal 354.
[6] Shohi Al-Bukari (Al-Maktaba Islamiyah hadits 4837) Juz,5, hal,1972.
[7] Al-Sab’iyat Fi Mawa’id Al-Bariyyat Hamisy Al-Majalis Tsaniyyah, hal 112
[8] Al-Riyadh Al-Nadhrah, Juz 2, hal 183.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak