 |
Ilustrasi oleh Steve Johnson |
Cerpen: Lintang Alit Wetan
Hilangnya Sosok yang Paling Dicari di Pasar
Pasar bergetar. “Eloi, Eloi Lama Sabaktani!”
Pasar hancur berantakan. “Tuhanku, Tuhanku. Mengapa Engkau tinggalkan aku?” Raungan
seorang pengemis penyandang disabilitas bernama Gimin bin Sentulkenyut. Sehari-hari
aku mengais rejeki dari belas kasihan orang-orang yang hilir mudik di pasar.
Pasar musnah. Kumuntahkan lahar panas dari rongga mulut. Puluhan tahun tak
terjamah obat pembersih mulut. Dan, ketika mulutku terbuka, lebar-lebar mirip
mulut gua, bau busuk mulut ini pun sanggup meninabobokan seisi pasar.
***
Tidak ada keanehan. Seperti biasa, Sarkoni,
tukang ojek kampung, mengantarku ke pasar. Aku tinggal di lereng bukit Serayu
Utara. Medan terjal, jalanan berbatu, berkelok-kelok adalah santapan harian di
perjalanan yang biasa aku lewati. Dari rumah gubuk reot menuju pasar. Di kanan
kiri jalan selebar bentangan sajadah, di bibir jurang dan ngarai yang dalam dan
curam. Siap mencaplokku menjadi mayat, bila aku lengah barang sedetik pun, lalu
jatuh. Tamat riwayat, menjadi hantu-hantu bergentayangan di siang bolong.
Tidak ada keluhan. Bahkan aku bersyukur dengan
keadaan seperti ini. Istriku, Sukilah buta sejak kecil, karena penyakit
katarak. Tidak mampu disembuhkan. Keluarga miskin yang hidup dari memburuh
serabutan, hasilnya cuma cukup untuk dimakan sehari-hari. Itu pun
dicukup-cukupkan. Kurang. Untuk makan sehari-hari saja mencekik leher,
boro-boro untuk biaya berobat Sukilah yang sakit katarak.
Tidak masalah. Walaupun istriku, tuna netra, tapi
istriku sangat mencintaiku. Aku pun demikian. Kami layaknya pasangan suami
istri idaman. Bagai pasangan Raden Arjuna dan Dewi Subadra. Ini membuat banyak
tetangga di sekitar rumah, iri pada kami. Nah, ini akan menjadi masalah besar
di kelak kemudian hari.
***
“Teman-temanku. Es teh manis sudah aku
sediakan. Silakan diminum.” Begitulah, biasa aku traktir teman-temanku di
beranda pasar. Es teh manis-es teh manis itu aku beli dengan uang yang sengaja
aku sisihkan, aku tabung di celengan gogok. Aku ambil sediikit tiap kali
akan berangkat mengemis di pasar. Ini ikhtiarku sebagai tabungan amalan kelak.
“Mba Sri, monggo diminum es teh manisnya.” Ucapku
pada Sri, penjual bunga.
Sri berkenalan denganku tanpa sengaja. Jadi,
sehari-harian aku mengemis di beranda pasar ini, kadang-kadang juga di pasar
itu. Pasar ini, pasar itu. Rumahku yang di lereng gunung, banyak bunga di
gunung yang sering kupetik. Aku menyuruh orang untuk memetiknya, terutama
bunga-bunga Edelweis.
Sembari mengemis, aku titipkan bunga-bunga
Edelweisku ke Sri, untuk dijual. Jujur sebenarnya aku tak sekadar menitip jualan
bunga pada Sri. Tetapi, dari lubuk hatiku terdalam, aku menaruh hati padanya,
pada Sri. Walaupun, ini satu langkah pengkhianatan cintaku pada Sukilah, istriku.
Biasa kan, laki-laki melihat daun muda yang lebih kinclong, aku pun terpesona
dengan kemolekan Sri.
Rambutnya yang panjang terurai berkibaran
diterpa semribit angin. Bibir Sri yang merah merona, dihiasi ketebalan gincu.
Jenjang-jenjang kaki indahnya, panjang menjuntai. Pleding pahanya kuning
bersih berkilauan terkena kilatan cahaya. Bulu mata lentik, mata belo indah
merona. Hidung mbangir. Sepasang tangan nggendewa pinenthang. Dan cara
berjalan yang mblarak sempal adalah daya tarik Sri sebagai seorang
perempuan. Sri.
“Kembang..Kembang..Kembang gunung,” Teriakan
Sri melumat hati seluruh pengunjung pasar. Pasar ini, pasar itu, mungkin juga
pasarmu, sabar kusinggahi. Cuma untuk mengemis. Meminta belas kasihanmu. Dengan
demikian, bukankah engkau dan mereka, orang-orang yang hilir mudik di pasar
bersedekah, menabung amalan lewat aku di kelak kemudian? Insya Allah.
***
Hujan lebat. Sungguh lebatnya. Sri memayungi
tubuhku dengan payung berwarna hitam yang disana-sini bolong-bolong. Di emperan
pasar ini, kami mengais rezeki. Tubuhku menggigil kedinginan. Sri mengelap
wajahku yang basah dengan sapu tangan jadul. Sapu tangan ungu. Diperasnya sapu
tangan yang menyerap air dari wajahku. Berkali-kali. Ratusan kali. Ribuan kali.
Tak terhitung berapa kali lagi.
“Duar! Duar! Duar!” Guntur menggelegar. Sore
yang basah, seisi pasar di dataran rendah, kota ini digenangi air yang nyaris bagai
bah Nuh. Lama kelamaan, pasar pun tak nampak lagi. Ditelan air bini
***
Ketika sapu tangan ungu Sri tak terhitung
sudah berapa kali diperas airnya, air yang menyapu wajahku. Sri berinisiatif memanggil
ojek online, lantas kami, aku dan Sri buru-buru pulang ke rumah, meninggalkan
pasar yang pasti dalam hitungan menit, ditelan banjir bah. Rumahku dan Sri
bertetanggaan, beda desa. Sri dari Desa Nggerotan Kretek. Aku dari Desa Posong.
Di sepanjang jalan, Sri disibukkan dengan memunguti bunga-bunga gunung
jualannya yang belum laku, lalu dibawa pulang. Tukang ojek online tergesa-gesa,
aku yang di jok tengah, sedangkan Sri di jok belakang. Aku dan Sri
terbanting-banting di jalanan gunung, berbatu-batu, belak-belok mengular, naik
terjal, turunan tajam di kanan kiri jalan ialah jurang. Lengah sedikit, siap
menerkam nyawa kami bertiga.
Bunga-bunga Sri, satu persatu berjatuhan. Satu
dipungut, ojek berjalan, jatuh satu bunga lagi. Terus begitu berulang-ulang.
Kabut gunung makin tebal. Kabut menutup jarak
pandang kami. Kabut seperti menutup rekah hatiku, hatimu, atau hati kami yang
penuh kemelut.
Sempat-sempatnya, aku berpuisi dalam situasi
seperti ini. Dengan lantang, di atas jok motor terdengar oleh tukang ojek
online yang menggerutu ngomel-ngomel oleh ulahku. Dan, Sri cengar-cengir,
senyummu indah menusuk-nusuk jantung hatiku.
KABUT
Hari berkabut/Menutup rekah hatimu yang penuh
kemelut/Aku pun kalut
Kalang kabut/Memper pukat harimau diterjang
torpedo//“Blar! Blar! Blar!”/Hari berkabut/Bahkan semakin tebal/Makin
tebal!//Na..na..na..na..Hopla!/Na.. na..na..na..Plung!/Na..na..na..na..Lap!/Na..na..na..na..Plas!//Kabut/Lenyap/Musnah//Blar//
Dalam hitungan sepersekian detik, bertepatan musnahnya
kabut, tukang ojek online, Gimin Sentulkenyut dan Sri raib. Tertelan masuk ke
dalam hape masing-masing, dan pindah tempat melewati dimensi ruang dan waktu.
Mereka menghuni kota yang sedang dimulai pembangunannya sebagai ibukota negara,
yang baru di satu pulau. Di luar Pulau Jawa!***
Seperti biasa, diperlakukan tidak terjadi
apa-apa. Pasar ini ramai dikunjungi orang. Transaksi jual beli berjalan sedia
kala.
“Gimin Sentulkenyut, pengemis disabilitas dan
Sri, kembang gunung tidak terlihat batang hidungnya, beberapa Minggu ini!”
Teriakan Warsini, bakul cenil lopis.
“Iya. Kemana mereka, ya?” Bakul-bakul yang
lain, balik bertanya. Semua orang di pasar ini, saling berpandangan. 1001
dugaan terbersit di kepala masing-masing. Mungkinkah, raibnya Gimin
Sentulkenyut dan Sri berhubungan dengan kunjungan presiden dan gubernur beserta
rombongan ke pasar ini, Pasar Kretek tempo hari. Untuk mengecek langsung
produksi bawang dari petani di daerah asal penanaman bawang oleh petani di Parakan?
Masing-masing orang terus bertanya-tanya,
kemanakah gerangan perginya, hilangnya Gimin Sentulkenyut dan Sri. Gimin
Sentulkenyut dan Sri, menjadi sosok yang paling dicari oleh orang-orang seisi
pasar.
Di tempat berbeda, di waktu yang sama. Masih
sama-sama Waktu Indonesia bagian Barat. Gimin Sentulkenyut, sedang asyik
menghitung uang. Ia tampil berdasi, kemeja kantoran, berjas dan sepatu disemir bersih,
rambut disisir rapi model kalangan atas.
“Jadi meeting hari ini selesai. Salam sehat,
selamat weekend dan berbahagia bersama keluarga.” Kata penutup Mr. Sugimin
Sentulkenyut Prawironegoro, nama dan panggilan beliau kini.
“Baik, Pak Manager. Oke, Pak Bos. Terima kasih
Bapak Gimin Sentulkenyut Prawironegoro.” Semua staff dan karyawan di ruangan
meeting satu perusahaan money changer penukaran uang, berdiri hormat, kedua
tangan mengatup di dada sikap hormat menyembah, dan menekuk badan ke depan 90
derajat. Tiap-tiap orang, bawahan di perusahaan itu, menahan tawa geli ketika
menyebut nama Gimin.
Dengan santun dan santai, aku keluar ruangan
meeting. Berjalan tegap dan penuh wibawa, sebagai seorang big bos. Kutemui
istriku, dua istriku: Sukilah dan Sri di ruang lobby. Kemudian, kugandeng
Sukilah di sebelah kananku, Sri di sebelah kiriku, berjalan ke luar kantor. Di
depan kantor, mobil Limousine disopiri oleh bekas tukang ojek onlineku di desa,
dulu sudah menunggu. Kutinggalkan kantor money changer megahku, dengan
mobil Limousine super mewah yang melaju. Menderu***Purbalingga, April 2022.
Lintang Alit Wetan adalah nama pena
dari Agustinus Andoyo Sulyantoro lahir di Kalialang, Kemangkon,
Purbalingga 13 Mei. Alumni S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP
Yogyakarta (UNY) 1997. Karya cerpen dan puisinya pernah diterbitkan berbagai media cetak dan online, serta
dibukukan dalam kumpulan bersama. Tahun 2021, ia tampil di Ubud Writers &
Readers Festival, Bali. Cerpennya Seseorang dan Langkah Misterius Itu masuk
NOMINE Anugerah Sastra LITERA, sehingga cerpen ini masuk di buku kumpulan puisi
dan cerpen pilihan Memancing di Tubuh Ibu (Kerja sama antara LITERA dengan
Badan Bahasa Kemendikbud RI, 2021). Sedangkan cerpennya Tuyul Pikmars (Piknik
ke Mars) Naik UFO menjadi cerpen pilihan Mbludus.com. Buku antologi puisinya
yang sudah terbit Lingkar Mata di Pintu Gerbang (2015), kumpulan esai Banyumas
dalam Prosa Nonfiksi (2016), menyunting buku antologi sajak Perjamuan Cinta
(2015), kumpulan esai Manusia Jawa Modern (2016), kumpulan puisi Para Penuai
Makna (2021), kumpulan sajak & cerpen Tuan Tanah Kamandaka (2021).