“Sudah kutaklukan wilayah dami
wilayah. Laut-laut telah kutaklukan, gunung dan hutan telah kutaklukan. Tidak
ada yang sanggup mengehentikan lajuku. Pedangku yang tajam akan selalu bengis.
Kudaku yang garang akan selalu liar dan bersemangat. Telah kukalahkan
orang-orang untuk membuktikan bahwa aku ini hebat.”
Mata kuda yang merah menyala di
depannya. Dia hunuskan pedang ke muka kuda. Kuda itu tak gentar pada sang
penakluk. Kakinya tak bergerak mundur perlahan. Kuda itu melihatkan giginya
yang besar sambil tertawa mengangkat kaki depan. Sang penakluk mundur perlahan,
kalau kaki itu menendangnya. Tatapan mata yang tajam dan ambisi. Penuh darah
dan luka. Tapi bukan seorang pejuang. Tak dia hiraukan keramaian yang
memandanginya. Membuat panas tanah tandus di situ.
Kuda itu memperlihatkan pantatnya
yang besar dan ketat. Ekornya menarik birahi snag penakluk. Si penakluk
menggoyangkan pedangnya. Memutar gagang pedang berulang-ulang. Melempar
bergantian ke kanan dan ke kiri. Mereka menari. Kuda itu tertawa lagi.
Terbahak-bahak. Mempermainkan si penakluk yang mabuk. Penakluk itu masih
melihat pantat kuda yang besar dan ketat. Dia membuang pedangnya yang bergerigi
dan menakutkan. Berlari ke arah si kuda. Mengarahkan ujung tangannya ke pantat
si kuda. Kuda itu tidak bodoh. Dia buang muka ke depan. Membalikkan badan.
Tersenyum lebar pada penakluk yang berlari. Penakluk itu tidak menghadapi
pantat, tapi senyum. Tangan kuda memukulnya, jatuhlah penakluk.
Geram suasana hatinya. Penakluk
itu dipermalukan kuda. Kuda itu telah mengalahkan penakluk dengan sebuah
pantat. Goyangannya memabukkan penakluk. Geram sekali penakluk itu. Dia merasa
dipermalukan, basah dia dijilati lidah kuda. Dia berdiri lagi. Penakluk itu
berdiri dengan membuang bajunya.
“Aku adalah penakluk. Sudah
kuhabiskan daratan dan lautan. Mereka tunduk dan takluk padaku. Raja-raja,
mengakuiku sebagai penakluk. Dahulu, Gengis Khan telah menaklukan asia
timur dan tengah. Baghdad dibuat luluh lantah, rata dengan tanah. Dia kuasai
api, membumihanguskan rumah-rumah. Aku kini melanjutkan perjuangannya. Dahulu, Genghis
Khan si penakluk. Sekarang, akulah si penakluk.”
Penakluk itu berbicara menghadap
mata angin. Tubuhnya yang kekar dan pedangnya yang kuat berdiri dengan sorot
tajam dan ambisi. Kuda tadi tertawa mendengar perkataan si penakluk. Kakinya
meloncat ke atas. Dia tahu kalo pria tadi hanya membual. Salah satu dari
pasukan si penakluk berbicara.
“Wahai penakluk, kamu telah
taklukan kami. Begitu pula kami takluk padamu. Kau taklukkan istri-istri kami.
Begitu pula mereka takluk padamu. Kami ada di sini, berperang, menaklukan, itu
pun untuk kamu si penakluk. Wahai penakluk, tetapi kamu tidak beri kami makan.
Kamu tidak beri kami rumah. Kamu abaikan kami.”
“Kamu acuhkan hidup sendiri. Aku
menaklukan, kalian ditaklukkan. Jangan bikin aku menjadi penghancur, manusia
bertubuh besar, bermata besar, dan siap menerkam kalian. Kalian berencana untuk
menyudutkanku?”
“Wahai penakluk, lihatlah
sekelilingmu. Kamu akan ditaklukkan. Kamu akan takluk kepadaku. Kamu akan takluk
kepada kami semua. Kamu telah ditaklukan kudamu. Kamu telah ditaklukan
pedangmu. Kamu telah ditaklukan di tanah ini.”
“Tidak ada yang boleh menaklukan
penakluk. Satu peluruku akan menghujam dadamu. Dan masih banyak bom dan peluru
siap untuk menjadikan penaklukanku kembali. Tanah ini akan turut pula
kutaklukan. Kuda itu akan takluk padaku. Kalian akan berkata bahwa aku memang
si penakluk.”
“Wahai si penakluk, lihatlah ke
bawah. Apakah sepatumu masih ada? Tanpa sepatu besi itu kamu bukan penakluk.
Bukti kalau kamu si penakluk adalah sepatu besi itu. Sepatu itu telah
menaklukkan daratan. Kamu bukan sepatu besi itu.”
“Tanpa sepatu besi itu, aku
tetaplah penakluk. Kalian inginkan penakluk lagi? Kalian ingin melihat murka
penakluk? Aku akan meledakkan kalian di sini untuk mati bersamaku. Aku telah
memasang peledak di dada kalian. Kalian telah percaya padaku. Karena itu,
peledak itu bersarang di dada kalian. Kalian akan menjadi debu. Kuda itu akan
menjadi debu. Pedang itu akan menjadi debu.”
“Wahai penakluk, kamu juga akan
menjadi debu. Kamu akan mati juga ketika menyalakan peledak itu. Setiap manusia
yang terlahir ke dunia ini nantinya menjadi debu, seperti kamu si penakluk.
Kamu terlalu arogan dan serakah.”
“Kalian salah. Hanya aku yang
tidak menjadi debu. Aku abadi karena aku memiliki segalanya di dunia ini. Aku
memiliki ilmuwan yang siap membuatkan teknologi untuk membantu keabadianku. Aku
memiliki penyihir yang ahli dalam mengubah penampilanku. Ahli dalam menaklukan
pikiran-pikiran. Kalian akan menajdi debu. Aku akan abadi.”
“Wahai penakluk, kamu terlalu
buta untuk melihat kenyataan. Kamu tuli untuk mendengar ribuan manusia yang
telah kamu taklukkan dengan peluru. Lihatlah, kami di sini bukan lagi
prajuritmu. Aku bukan lagi manusia. Kuda itu bukan lagi kuda. Kami akan
berperang sampai mati melawanmu. Kamu akan kita taklukan. Wahai penakluk, jika
kamu takut berlarilah saja. Pulang ke istanamu.”
“Lakukan saja keinginan kalian.
Hai, kau kuda brengsek. Matilah kau bersama mereka.”
Kuda bermata merah itu semakin
membara kepanasan. Merasa diolok-olok oleh penakluk. Keluar uap panas dari
hidungnya. Sorot matanya menatap tajam si penakluk. Dia melihat penakluk tak
bersama pedangnya. Pedang itu telah berpaling juga dari penakluk. Kuda itu
merasa didukung oleh pemberontakan manusia yang ingin merdeka. Kuda itu melihat
penakluk tertawa. Itu sungguh menjengkelkan. Kuda makin geram. Menghentakkan
kakinya ke tanah. Debu-debu menutup mata. Mereka semua siap menaklukan si
penakluk. Mereka siap menyerang penakluk dengan pedang terhunus. Duor… duorr….
peledak itu benar-benar meledak menghilangkan pasukan manusia dan seekor kuda
yang ingin merdeka. Mereka menjadi debu. Penakluk benar-benar sadis dan kejam.
Dia tertawa lebar setelah mengalahkan mereka semua.
“Itulah kekuatan penakluk. Kalian
tidak akan menaklukan penakluk. Penakluk tetap menaklukan. Kalian sudah menajdi
debu. Aku tetap penakluk di atas dunia ini,” seru si penakluk dengan lantang.
***
Penakluk pulang ke istana. Ingin
melihat selir-selirnya yang memuaskan hati. Dia menaiki sapu terbang pemberian
penyihirnya. Di istana, tidak ada lagi selir. Sepi dan kosong. Ilmuwan dan
penyihir tidak ada. Hanya ada si penakluk. Penakluk berdiri seorang diri. Tak
ada yang menyambutnya dan memujinya sebagai penakluk.
“Wahai selir-selirku, dimanakah
kalian? Aku pulang. Sambutlah aku sebagai penakluk. Telah kutaklukkan kalian.
Kemarilah sebagai yang ditaklukkan,” teriak si penakluk menggema. Tak ada
seorang selir keluar kepadanya. Penakluk itu mulai curiga. Dia berteriak
kembali.
“Aku telah menaklukkan suami
kalian untuk kedua kali. Kini, hanya aku yang kalian miliki. Desa-desa kalian
telah kutaklukkan. Kota-kota kalian telah kutaklukan. Daratan dan lautan kalian
telah kutatklukan. Akulah si penakluk itu,” teriak si penakluk.
Selir-selir yang bersembunyi di
bunker bawah tanah geram mendengar perkataan si penakluk. Mereka merasa
dipercundangi oleh si penakluk. Salah satu dari mereka berkata pada seorang
lelaki yang memegang sebuah tombol peledak.
“Ledakkan sekarang saja istana
busuk itu. Tembak sekarang saja dia. Aku merasa muak dengan semua ini. Segera
kita taklukan si penakluk itu. Kalau tidak, aku sendiri yang akan
menaklukannya.”
Semua yang bersembunyi di bunker
bawah tanah semakin geram dengan perkataan penakluk. Mereka memegang kepalanya
sendiri dan membenturkannya ke tanah. Menggenggam rambutnya sendiri. Meremas
tangannya sendiri. Mereka ingin sekali menaklukan penakluk. Penakluk itu masih
berdiri dengan tenang.
Si penakluk melancarkan tembakan
tanpa arah. Ke udara, ke tembok, ke pohon-pohon. Tembakannya melubangi tembok
istana. Dia marah tak terkendali. Menjelma menjadi raksasa yang lapar dengan
suara menggema. Mengaum ke udara. Menghentakkan kedua kakinya ke tanah.
Menggetarkan sungai-sungai. Menendang tembok-tembok istana yang mulai rapuh.
Salah seorang dari wanita yang
bersembunyi di bawah tanah mulai ketakutan ketika si penakluk berubah menjadi
raksasa. Tanah dibuat gemetar. Kali ini, penakluk benar-benar marah. Dia
mencabut akar-akar pohon dengan membabi buta. melemparkannya ke arah burung-burung
yang terbang bebas di udara. Kemarahannya tak terbendung. Istana menjadi banjir
kemarahannya yang meluap. Penakluk itu semakin buas.
“Bagaimana ini, kita sekarang
terlambat. Sudah dari tadi kukatakan untuk segera mengakhiri si penakluk.
Kalian tidak mendengarkanku. Kita tidak akan tahu, apakah si penakluk itu bisa
diakhiri dengan peledak atau hujan
peluru. Kita terlambat.”
“Jangan berputus asa. Kita telah
bersama-sama nekat untuk menaklukan penakluk. Kita harus siap menghadapi
kenyataan itu. Kita harus menaklukan penakluk bagaimanapun caranya. Kita tetap
akan menaklukan penakluk,” ujar si penyihir.
“Kalian sepertinya tidak tahu,
kalau penakluk itu memiliki tubuh yang keras seperti baja saat ini. Dia meminta
kami untuk mencampurkan unsur zat besi dan genealogis zat baja ke
tubuhnya. Kini dia memiliki tubuh sekeras baja ketika menjadi wujud raksasa
seperti itu,” jelas si ilmuwan.
“Bagaimanapun juga, semua pasti
punya kelemahan. Kita cari kelemahannya. Penakuk itu tetaplah seorang manusia.
Dia tidak abadi. Dia pasti memiliki kelemahannya. Kita cari kelemahannya,” ucap
ilmuwan satunya lagi.
Mereka berunding mencari
kelemahan kekuatan si penakluk. Seorang selir teringat waktu bersama si
penakluk. Mereka habiskan malam itu bersama. Selir itu sudah lama ingin
menaklukan si penakluk yang menaklukannya. Dia menanyakan perihal kemampuan si
penakluk itu, rahasia dia menjadi penakluk. Penakluk itu berkata bahwa dia tak
memiliki kelemahan dan kekurangan. Mereka belum menemukan kelemahan si
penakluk.
“Aku tahu kalo dia penakluk. Tapi
aku tahu, kalau dia manusia. Aku ingat, kalau racun bisa membunuh dengan cepat,
jika racun itu sangat kuat. Mungkin kita bisa coba untuk menakluan penakluk
dengan racun,” ujar ilmuwan itu.
“Kita tidak ada bahan untuk
membuat racun, laboratorium kita dihancurkan penakluk,” jawab ilmuwan satunya.
“Mungkin kita bisa coba cara
lain. Kalau tidak ada racun, kita buat saja sesuatu yang memiliki racun. Aku
akan melemparkan sapuku ke sisi penakluk. Aku akan merubahnya menjadi ular yang
sangat ebracun dengan tubuh yang sebesar penakluk. Aku akan melakukannya dalam
sekejap. Semoga itu bisa berhasil untuk melumpuhkan penakluk,” kata si
penyihir.
“Jenius, itu ide yang cemerlang.
Jenius, aku suka itu. Tidak ada salahnya kita coba,” ucap si ilmuwan.
Selir-selir itu masih ketakutan
dan depresi dengan merangkak ke tanah. Menyembunyikan wajahnya ke tanah.
Mencoret mukanya sendiri dengan lumpur. Mereka cemas dan gelisah.
Penyihir itu melakukan aksinya.
Dia melemparkan sapunya ke atas tanah. Merubahnya menjadi ular yang besar dalam
sekejap. Penakluk itu menghadapi ular raksasa dengan brutal. Dia cekik leher
ular itu. Bersiap menusukkan kukunya yang tajam ke dada ular tersebut. Sebelum
si penakluk itu menusukkan kukunya, ular itu menyemburkan racun ke wajahnya.
Penakluk itu ditaklukkan. Penakluk telah meradang kesakitan. Dia meraung
kesakitan. Semakin membabi buta. Ular tadi telah berubah menjadi sapu kembali.
Penakluk itu berlari mencari air. Meninggalkan istananya yang hancur. Penakluk
itu meradang kepanasan dengan rasa sakit. Dia berlari ke arah lautan. Tetapi
matanya sudah buta. Dia berjalan tak melihat tempatnya berpijak. Dia melangkah
cepat menuju lautan. Penakluk itu tak sadar kalau ujung daratan itu adalah
tebing yang cadas dan curam. Dia berlari tanpa melihat. Mata si penakluk telah
buta. Setelah menghabiskan daratan, penakluk itu terpeleset ke bawah tebing
dengan karang-karang yang tajam dan berapi. Dia terkapar tak bernyawa. Si
penakluk telah ditaklukan.
Pati,
2020
Muhammad Lutfi,
penulis dari Jawa Tengah. Buku cerpennya: Pelaut, Berlayar, Bunga dalam Air.