Penakluk - Muhammad Lutfi


 
Penakluk
 Karya: Muhammad Lutfi

“Sudah kutaklukan wilayah dami wilayah. Laut-laut telah kutaklukan, gunung dan hutan telah kutaklukan. Tidak ada yang sanggup mengehentikan lajuku. Pedangku yang tajam akan selalu bengis. Kudaku yang garang akan selalu liar dan bersemangat. Telah kukalahkan orang-orang untuk membuktikan bahwa aku ini hebat.”

Mata kuda yang merah menyala di depannya. Dia hunuskan pedang ke muka kuda. Kuda itu tak gentar pada sang penakluk. Kakinya tak bergerak mundur perlahan. Kuda itu melihatkan giginya yang besar sambil tertawa mengangkat kaki depan. Sang penakluk mundur perlahan, kalau kaki itu menendangnya. Tatapan mata yang tajam dan ambisi. Penuh darah dan luka. Tapi bukan seorang pejuang. Tak dia hiraukan keramaian yang memandanginya. Membuat panas tanah tandus di situ.

Kuda itu memperlihatkan pantatnya yang besar dan ketat. Ekornya menarik birahi snag penakluk. Si penakluk menggoyangkan pedangnya. Memutar gagang pedang berulang-ulang. Melempar bergantian ke kanan dan ke kiri. Mereka menari. Kuda itu tertawa lagi. Terbahak-bahak. Mempermainkan si penakluk yang mabuk. Penakluk itu masih melihat pantat kuda yang besar dan ketat. Dia membuang pedangnya yang bergerigi dan menakutkan. Berlari ke arah si kuda. Mengarahkan ujung tangannya ke pantat si kuda. Kuda itu tidak bodoh. Dia buang muka ke depan. Membalikkan badan. Tersenyum lebar pada penakluk yang berlari. Penakluk itu tidak menghadapi pantat, tapi senyum. Tangan kuda memukulnya, jatuhlah penakluk.

Geram suasana hatinya. Penakluk itu dipermalukan kuda. Kuda itu telah mengalahkan penakluk dengan sebuah pantat. Goyangannya memabukkan penakluk. Geram sekali penakluk itu. Dia merasa dipermalukan, basah dia dijilati lidah kuda. Dia berdiri lagi. Penakluk itu berdiri dengan membuang bajunya.

“Aku adalah penakluk. Sudah kuhabiskan daratan dan lautan. Mereka tunduk dan takluk padaku. Raja-raja, mengakuiku sebagai penakluk. Dahulu, Gengis Khan telah menaklukan asia timur dan tengah. Baghdad dibuat luluh lantah, rata dengan tanah. Dia kuasai api, membumihanguskan rumah-rumah. Aku kini melanjutkan perjuangannya. Dahulu, Genghis Khan si penakluk. Sekarang, akulah si penakluk.”

Penakluk itu berbicara menghadap mata angin. Tubuhnya yang kekar dan pedangnya yang kuat berdiri dengan sorot tajam dan ambisi. Kuda tadi tertawa mendengar perkataan si penakluk. Kakinya meloncat ke atas. Dia tahu kalo pria tadi hanya membual. Salah satu dari pasukan si penakluk berbicara.

“Wahai penakluk, kamu telah taklukan kami. Begitu pula kami takluk padamu. Kau taklukkan istri-istri kami. Begitu pula mereka takluk padamu. Kami ada di sini, berperang, menaklukan, itu pun untuk kamu si penakluk. Wahai penakluk, tetapi kamu tidak beri kami makan. Kamu tidak beri kami rumah. Kamu abaikan kami.”

“Kamu acuhkan hidup sendiri. Aku menaklukan, kalian ditaklukkan. Jangan bikin aku menjadi penghancur, manusia bertubuh besar, bermata besar, dan siap menerkam kalian. Kalian berencana untuk menyudutkanku?”

“Wahai penakluk, lihatlah sekelilingmu. Kamu akan ditaklukkan. Kamu akan takluk kepadaku. Kamu akan takluk kepada kami semua. Kamu telah ditaklukan kudamu. Kamu telah ditaklukan pedangmu. Kamu telah ditaklukan di tanah ini.”

“Tidak ada yang boleh menaklukan penakluk. Satu peluruku akan menghujam dadamu. Dan masih banyak bom dan peluru siap untuk menjadikan penaklukanku kembali. Tanah ini akan turut pula kutaklukan. Kuda itu akan takluk padaku. Kalian akan berkata bahwa aku memang si penakluk.”

“Wahai si penakluk, lihatlah ke bawah. Apakah sepatumu masih ada? Tanpa sepatu besi itu kamu bukan penakluk. Bukti kalau kamu si penakluk adalah sepatu besi itu. Sepatu itu telah menaklukkan daratan. Kamu bukan sepatu besi itu.”

“Tanpa sepatu besi itu, aku tetaplah penakluk. Kalian inginkan penakluk lagi? Kalian ingin melihat murka penakluk? Aku akan meledakkan kalian di sini untuk mati bersamaku. Aku telah memasang peledak di dada kalian. Kalian telah percaya padaku. Karena itu, peledak itu bersarang di dada kalian. Kalian akan menjadi debu. Kuda itu akan menjadi debu. Pedang itu akan menjadi debu.”

“Wahai penakluk, kamu juga akan menjadi debu. Kamu akan mati juga ketika menyalakan peledak itu. Setiap manusia yang terlahir ke dunia ini nantinya menjadi debu, seperti kamu si penakluk. Kamu terlalu arogan dan serakah.”

“Kalian salah. Hanya aku yang tidak menjadi debu. Aku abadi karena aku memiliki segalanya di dunia ini. Aku memiliki ilmuwan yang siap membuatkan teknologi untuk membantu keabadianku. Aku memiliki penyihir yang ahli dalam mengubah penampilanku. Ahli dalam menaklukan pikiran-pikiran. Kalian akan menajdi debu. Aku akan abadi.”

“Wahai penakluk, kamu terlalu buta untuk melihat kenyataan. Kamu tuli untuk mendengar ribuan manusia yang telah kamu taklukkan dengan peluru. Lihatlah, kami di sini bukan lagi prajuritmu. Aku bukan lagi manusia. Kuda itu bukan lagi kuda. Kami akan berperang sampai mati melawanmu. Kamu akan kita taklukan. Wahai penakluk, jika kamu takut berlarilah saja. Pulang ke istanamu.”

“Lakukan saja keinginan kalian. Hai, kau kuda brengsek. Matilah kau bersama mereka.”

Kuda bermata merah itu semakin membara kepanasan. Merasa diolok-olok oleh penakluk. Keluar uap panas dari hidungnya. Sorot matanya menatap tajam si penakluk. Dia melihat penakluk tak bersama pedangnya. Pedang itu telah berpaling juga dari penakluk. Kuda itu merasa didukung oleh pemberontakan manusia yang ingin merdeka. Kuda itu melihat penakluk tertawa. Itu sungguh menjengkelkan. Kuda makin geram. Menghentakkan kakinya ke tanah. Debu-debu menutup mata. Mereka semua siap menaklukan si penakluk. Mereka siap menyerang penakluk dengan pedang terhunus. Duor… duorr…. peledak itu benar-benar meledak menghilangkan pasukan manusia dan seekor kuda yang ingin merdeka. Mereka menjadi debu. Penakluk benar-benar sadis dan kejam. Dia tertawa lebar setelah mengalahkan mereka semua.

“Itulah kekuatan penakluk. Kalian tidak akan menaklukan penakluk. Penakluk tetap menaklukan. Kalian sudah menajdi debu. Aku tetap penakluk di atas dunia ini,” seru si penakluk dengan lantang.

***

Penakluk pulang ke istana. Ingin melihat selir-selirnya yang memuaskan hati. Dia menaiki sapu terbang pemberian penyihirnya. Di istana, tidak ada lagi selir. Sepi dan kosong. Ilmuwan dan penyihir tidak ada. Hanya ada si penakluk. Penakluk berdiri seorang diri. Tak ada yang menyambutnya dan memujinya sebagai penakluk.

“Wahai selir-selirku, dimanakah kalian? Aku pulang. Sambutlah aku sebagai penakluk. Telah kutaklukkan kalian. Kemarilah sebagai yang ditaklukkan,” teriak si penakluk menggema. Tak ada seorang selir keluar kepadanya. Penakluk itu mulai curiga. Dia berteriak kembali.

“Aku telah menaklukkan suami kalian untuk kedua kali. Kini, hanya aku yang kalian miliki. Desa-desa kalian telah kutaklukkan. Kota-kota kalian telah kutaklukan. Daratan dan lautan kalian telah kutatklukan. Akulah si penakluk itu,” teriak si penakluk.

Selir-selir yang bersembunyi di bunker bawah tanah geram mendengar perkataan si penakluk. Mereka merasa dipercundangi oleh si penakluk. Salah satu dari mereka berkata pada seorang lelaki yang memegang sebuah tombol peledak.

“Ledakkan sekarang saja istana busuk itu. Tembak sekarang saja dia. Aku merasa muak dengan semua ini. Segera kita taklukan si penakluk itu. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menaklukannya.”

Semua yang bersembunyi di bunker bawah tanah semakin geram dengan perkataan penakluk. Mereka memegang kepalanya sendiri dan membenturkannya ke tanah. Menggenggam rambutnya sendiri. Meremas tangannya sendiri. Mereka ingin sekali menaklukan penakluk. Penakluk itu masih berdiri dengan tenang.

Si penakluk melancarkan tembakan tanpa arah. Ke udara, ke tembok, ke pohon-pohon. Tembakannya melubangi tembok istana. Dia marah tak terkendali. Menjelma menjadi raksasa yang lapar dengan suara menggema. Mengaum ke udara. Menghentakkan kedua kakinya ke tanah. Menggetarkan sungai-sungai. Menendang tembok-tembok istana yang mulai rapuh.

Salah seorang dari wanita yang bersembunyi di bawah tanah mulai ketakutan ketika si penakluk berubah menjadi raksasa. Tanah dibuat gemetar. Kali ini, penakluk benar-benar marah. Dia mencabut akar-akar pohon dengan membabi buta. melemparkannya ke arah burung-burung yang terbang bebas di udara. Kemarahannya tak terbendung. Istana menjadi banjir kemarahannya yang meluap. Penakluk itu semakin buas.

“Bagaimana ini, kita sekarang terlambat. Sudah dari tadi kukatakan untuk segera mengakhiri si penakluk. Kalian tidak mendengarkanku. Kita tidak akan tahu, apakah si penakluk itu bisa diakhiri dengan peledak atau hujan  peluru. Kita terlambat.”

“Jangan berputus asa. Kita telah bersama-sama nekat untuk menaklukan penakluk. Kita harus siap menghadapi kenyataan itu. Kita harus menaklukan penakluk bagaimanapun caranya. Kita tetap akan menaklukan penakluk,” ujar si penyihir.

“Kalian sepertinya tidak tahu, kalau penakluk itu memiliki tubuh yang keras seperti baja saat ini. Dia meminta kami untuk mencampurkan unsur zat besi dan genealogis zat baja ke tubuhnya. Kini dia memiliki tubuh sekeras baja ketika menjadi wujud raksasa seperti itu,” jelas si ilmuwan.

“Bagaimanapun juga, semua pasti punya kelemahan. Kita cari kelemahannya. Penakuk itu tetaplah seorang manusia. Dia tidak abadi. Dia pasti memiliki kelemahannya. Kita cari kelemahannya,” ucap ilmuwan satunya lagi.

Mereka berunding mencari kelemahan kekuatan si penakluk. Seorang selir teringat waktu bersama si penakluk. Mereka habiskan malam itu bersama. Selir itu sudah lama ingin menaklukan si penakluk yang menaklukannya. Dia menanyakan perihal kemampuan si penakluk itu, rahasia dia menjadi penakluk. Penakluk itu berkata bahwa dia tak memiliki kelemahan dan kekurangan. Mereka belum menemukan kelemahan si penakluk.

“Aku tahu kalo dia penakluk. Tapi aku tahu, kalau dia manusia. Aku ingat, kalau racun bisa membunuh dengan cepat, jika racun itu sangat kuat. Mungkin kita bisa coba untuk menakluan penakluk dengan racun,” ujar ilmuwan itu.

“Kita tidak ada bahan untuk membuat racun, laboratorium kita dihancurkan penakluk,” jawab ilmuwan satunya.

“Mungkin kita bisa coba cara lain. Kalau tidak ada racun, kita buat saja sesuatu yang memiliki racun. Aku akan melemparkan sapuku ke sisi penakluk. Aku akan merubahnya menjadi ular yang sangat ebracun dengan tubuh yang sebesar penakluk. Aku akan melakukannya dalam sekejap. Semoga itu bisa berhasil untuk melumpuhkan penakluk,” kata si penyihir.

“Jenius, itu ide yang cemerlang. Jenius, aku suka itu. Tidak ada salahnya kita coba,” ucap si ilmuwan.

Selir-selir itu masih ketakutan dan depresi dengan merangkak ke tanah. Menyembunyikan wajahnya ke tanah. Mencoret mukanya sendiri dengan lumpur. Mereka cemas dan gelisah.

Penyihir itu melakukan aksinya. Dia melemparkan sapunya ke atas tanah. Merubahnya menjadi ular yang besar dalam sekejap. Penakluk itu menghadapi ular raksasa dengan brutal. Dia cekik leher ular itu. Bersiap menusukkan kukunya yang tajam ke dada ular tersebut. Sebelum si penakluk itu menusukkan kukunya, ular itu menyemburkan racun ke wajahnya. Penakluk itu ditaklukkan. Penakluk telah meradang kesakitan. Dia meraung kesakitan. Semakin membabi buta. Ular tadi telah berubah menjadi sapu kembali. Penakluk itu berlari mencari air. Meninggalkan istananya yang hancur. Penakluk itu meradang kepanasan dengan rasa sakit. Dia berlari ke arah lautan. Tetapi matanya sudah buta. Dia berjalan tak melihat tempatnya berpijak. Dia melangkah cepat menuju lautan. Penakluk itu tak sadar kalau ujung daratan itu adalah tebing yang cadas dan curam. Dia berlari tanpa melihat. Mata si penakluk telah buta. Setelah menghabiskan daratan, penakluk itu terpeleset ke bawah tebing dengan karang-karang yang tajam dan berapi. Dia terkapar tak bernyawa. Si penakluk telah ditaklukan.

 

Pati, 2020

 

                                               

Muhammad Lutfi, penulis dari Jawa Tengah. Buku cerpennya: Pelaut, Berlayar, Bunga dalam Air.

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak