Banyak diskursus yang membahas
bahwa bumisudah tua, hingga berbagai
penelitian dan kesimpulan menyatakan bahwa dunia seakan-akan sedang memerlukan
tenaga medis serta pengobatan yang serius. Gejala itu sudah sangat tampak di
depan mata, seperti gempa bumi, stunami, gunung meletus longsor, banjir dan
sebagainya. Seperti yang dikutip dalam buku Agus Mustofa berjudul “abad
bencana” bahwa sekurang-kurangnya dunia ini sudah berusia 5 miliyar tahun.
Muncul sebuah pertanyaan yang jika disempurnakan, dari kejadian diatas sebagai
sebab ke-tua-an bumi, maka apakah 5 miliyar tahun yang lalu tidak pernah
terjadi gempa bumi? Stunami? Gunung meletus dan sebagainya?. Justru menurut
penelitian terdahulu juga pernah terjadi hal-hal yang sangatdahsyat bahkan mengalahkan kejadian yang
terjadi belakangan ini, sekitar 200 tahun terakhir ini. Padahal kalau kita pikir-pikir,
sejak awal kedatangan manusia dipermukaan bumi telah membawa kerusakan. Bumi
sedang rusak dansemakin rusak bukan
menua dan semakin tua. Kalau kita bicara kerusakan itu jelas terlihat dihadapan
dalam kehidupan kita, bumi yang subur menumbuhkan apa saja kini seolah-olah
semakin sempit karena pembangunan, air yang melimpah ruah sungainya kini
dilimpahi oleh limbah-limbah pabrik dan seterusnya. Bumi sedang rusak,
perusaknya dalah manusia. Saya melihat bahwa manusia tidak
hanya sebagai perusak tapi juga cenderung melarikan diri sebagai pelaku yang
tidak bertanggung jawab, sehingga isu yang ditebarkan pun tentang tua-nya bumi,
seoalah semua kejadian (bencana) adalah sebab dari usia bumi.lalu wajar kita
bertanya, apa sebenarnya ukuran tuanya bumi? Bumi tidak memiliki pasangan, dia
tidak melakukan regenerasi dalam kehidupan, sehingga kosa kata tua kepada bumi
tidaklah bisa diterima sebagai diskursus akademik. Kalau kita mengatakan bumi
sebagai makhluk, dan seluruh makhluk pasti mati, sebagai konsekuensi pemilik
awal dan akhir, maka bumi pasti memiliki akhir karena memiliki awal, namun bumi
tidak menua. Apakah bumi memiliki waktu istirahat sebagaimana manusia? Apakah
bumi perlu makanan? Tentu kita tidak bisa menjawabnya. Karena jenis kelamin
bumi pun tidak bisa ditentukan. Bagi saya manusia terlalu lembek,
manja dan terbiasa berkeluh kesah dalam kehidupan ini, bukankah agama
mengajarkan kita untuk terus optimis dalam hidup?, bahwa ketika Nabi Muhammad
ditanya oleh para sahabat, kapan teradinya kiamat; beliau menjawab apa yang
sudah engkau persiapkan? Jadi banyak kesalahan cara berpikir yang terjadi jika
mengamini dari kesimpulan bumi sudah tua. Pertama,
jika tua yang dimaksud dilihat dari segi gejala ketuaan yang terjadi pada
manusia, sebagaimana manusia jika sudah masuk pada usia lanjut, dia akan mulai
kehilangan tenaga, rambut memutih, kulit mulai kendor, gigi yang sebelumnya
rapi gugur satu persatu. Kedua, tua berarti pernah mengalami masa muda.
Pernah mengalami masa dimana darah mengalir begitu cepatnya, gampang emosi dan
selalu ingin menang sendiri dan seterusnya. Ketiga, jika bumi sudah tua
maka apakah berhubungan tuanya bumi dengan ajal (batas waktu) yang sudah
ditentukan oleh penciptanya, yakni Allah SWT?. Semakin dipertayakan terkait hal
tersebut, semakin kehilangan rapuh pula argumen logis bahwa bumi termakan usia.
Karena jika diskursus tentang kerentaan bumi ini terus dilajutkan maka, secara
tidak langsung menutup harapan manusia untuk semangat dalam hal berkarya,
bekerja dan apa saja, atau bahkan menutup harapan untuk berbicara masa depan.
Seoalah-olah isi dalam ceramah-ceramah agama hanya ibadah mengingat kematian
saja. “setiap yang hidup pasti mati,
namun hidup bukan untuk mati” Salah satu imajinasi yang muncul
akibat pembicaraan dunia yang sudah tua ini adalah pemahaman akan kiamat
seakan-akan sudah sangat dekat, sehingga melahirkan ketakutan yang berlebihan.
Seperti yang terjadi 09 sepetember 2019 lalu tentang meteor yang melintasi
bumi, padahal jaraknya dari bumi sekitar 6,7 km (liputan 6) dari bumi. Disamping itu, kita juga harus
membangun optimisme dalam hidup. Karena apabila hidup dalam keadaan seolah-olah
akan mati besok, maka akan hilang gairah belajar, bekerja, dan bahkan
percintaan. Merisaukan bumi sedang-akan musnah secara tidak langsung merupakan
perbuatan yang naif, seakan tiada jalan alternatif. *(Kaum
akademisi dan salah satu anggota Komunitas Tikar Merah.