Bumi Sudah Tua: Koreksi Ceramah Akhir Zaman - Firman Panipahan

Foto oleh Curioso Photography dari Pexels


 Bumi Sudah Tua: Koreksi Ceramah Akhir Zaman
Oleh: Firman Panipahan)*
 
Banyak diskursus yang membahas bahwa bumi  sudah tua, hingga berbagai penelitian dan kesimpulan menyatakan bahwa dunia seakan-akan sedang memerlukan tenaga medis serta pengobatan yang serius. Gejala itu sudah sangat tampak di depan mata, seperti gempa bumi, stunami, gunung meletus longsor, banjir dan sebagainya. Seperti yang dikutip dalam buku Agus Mustofa berjudul “abad bencana” bahwa sekurang-kurangnya dunia ini sudah berusia 5 miliyar tahun. Muncul sebuah pertanyaan yang jika disempurnakan, dari kejadian diatas sebagai sebab ke-tua-an bumi, maka apakah 5 miliyar tahun yang lalu tidak pernah terjadi gempa bumi? Stunami? Gunung meletus dan sebagainya?. Justru menurut penelitian terdahulu juga pernah terjadi hal-hal yang sangat  dahsyat bahkan mengalahkan kejadian yang terjadi belakangan ini, sekitar 200 tahun terakhir ini.
 
Padahal kalau kita pikir-pikir, sejak awal kedatangan manusia dipermukaan bumi telah membawa kerusakan. Bumi sedang rusak dan  semakin rusak bukan menua dan semakin tua. Kalau kita bicara kerusakan itu jelas terlihat dihadapan dalam kehidupan kita, bumi yang subur menumbuhkan apa saja kini seolah-olah semakin sempit karena pembangunan, air yang melimpah ruah sungainya kini dilimpahi oleh limbah-limbah pabrik dan seterusnya. Bumi sedang rusak, perusaknya dalah manusia.
 
Saya melihat bahwa manusia tidak hanya sebagai perusak tapi juga cenderung melarikan diri sebagai pelaku yang tidak bertanggung jawab, sehingga isu yang ditebarkan pun tentang tua-nya bumi, seoalah semua kejadian (bencana) adalah sebab dari usia bumi.lalu wajar kita bertanya, apa sebenarnya ukuran tuanya bumi? Bumi tidak memiliki pasangan, dia tidak melakukan regenerasi dalam kehidupan, sehingga kosa kata tua kepada bumi tidaklah bisa diterima sebagai diskursus akademik. Kalau kita mengatakan bumi sebagai makhluk, dan seluruh makhluk pasti mati, sebagai konsekuensi pemilik awal dan akhir, maka bumi pasti memiliki akhir karena memiliki awal, namun bumi tidak menua. Apakah bumi memiliki waktu istirahat sebagaimana manusia? Apakah bumi perlu makanan? Tentu kita tidak bisa menjawabnya. Karena jenis kelamin bumi pun tidak bisa ditentukan.
 
Bagi saya manusia terlalu lembek, manja dan terbiasa berkeluh kesah dalam kehidupan ini, bukankah agama mengajarkan kita untuk terus optimis dalam hidup?, bahwa ketika Nabi Muhammad ditanya oleh para sahabat, kapan teradinya kiamat; beliau menjawab apa yang sudah engkau persiapkan? Jadi banyak kesalahan cara berpikir yang terjadi jika mengamini dari kesimpulan bumi sudah tua.
 
Pertama, jika tua yang dimaksud dilihat dari segi gejala ketuaan yang terjadi pada manusia, sebagaimana manusia jika sudah masuk pada usia lanjut, dia akan mulai kehilangan tenaga, rambut memutih, kulit mulai kendor, gigi yang sebelumnya rapi gugur satu persatu. Kedua, tua berarti pernah mengalami masa muda. Pernah mengalami masa dimana darah mengalir begitu cepatnya, gampang emosi dan selalu ingin menang sendiri dan seterusnya. Ketiga, jika bumi sudah tua maka apakah berhubungan tuanya bumi dengan ajal (batas waktu) yang sudah ditentukan oleh penciptanya, yakni Allah SWT?.
 
Semakin dipertayakan terkait hal tersebut, semakin kehilangan rapuh pula argumen logis bahwa bumi termakan usia. Karena jika diskursus tentang kerentaan bumi ini terus dilajutkan maka, secara tidak langsung menutup harapan manusia untuk semangat dalam hal berkarya, bekerja dan apa saja, atau bahkan menutup harapan untuk berbicara masa depan. Seoalah-olah isi dalam ceramah-ceramah agama hanya ibadah mengingat kematian saja.
 
“setiap yang hidup pasti mati, namun hidup bukan untuk mati”
 
Salah satu imajinasi yang muncul akibat pembicaraan dunia yang sudah tua ini adalah pemahaman akan kiamat seakan-akan sudah sangat dekat, sehingga melahirkan ketakutan yang berlebihan. Seperti yang terjadi 09 sepetember 2019 lalu tentang meteor yang melintasi bumi, padahal jaraknya dari bumi sekitar 6,7 km (liputan 6) dari bumi.
 
Disamping itu, kita juga harus membangun optimisme dalam hidup. Karena apabila hidup dalam keadaan seolah-olah akan mati besok, maka akan hilang gairah belajar, bekerja, dan bahkan percintaan. Merisaukan bumi sedang-akan musnah secara tidak langsung merupakan perbuatan yang naif, seakan tiada jalan alternatif.
 
                                               
*(Kaum akademisi dan salah satu anggota Komunitas Tikar Merah.
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak