Bukan Om Tapi Papa - Rhian D'Kinchai | Suara Krajan

Bukan Om Tapi Papa


Nusyirwan menyapa Sofyan dengan senyumannya yang jenaka ketika ia melewati meja sekretaris redaksi yang masih bujangan itu kendati usianya telah 35 tahun.

“Selamat pagi bung, kelihatannya cerah sekali hari ini. Ada beberapa tulisan untuk edisi Minggu yang masuk, tapi menurutku perlu didaur ulang. Dua dari naskah ini themanya bagus, masih seputar pemogokan buruh tempo hari, tetapi bahasanya kacau,“ kata Nusyirwan sambil menyerahkan setumpuk naskah.

“Terimakasih Wan. Nanti dalam rapat redaksi kau usulkan jadi redaktur karena menurutku kemampuanmu menilai naskah cukup baik. Jadi sayang orang yang punya potensi seperti kamu dijadikan tukang ketik surat tugas dan menghitung honor penulisan saja,“ jawab Sofyan sambil menerima tumbukan naskah naskah itu.

“Alaaah bung ada-ada saja, mana mungkin orang seperti aku bisa jadi redaktur,“ kata Nusyirwan yang memang punya obsesi jadi redaktur kebudayaan.

Sofyan tidak menanggapi kata-kata Nusyirwan. Ia langsung menuju kamar kerjanya yang terpisah dari redaktur edisi harian. Kenyataan itu memang hampir sama pada setiap surat kabar. Edisi minggu setiap surat kabar seperti terpisah dari harian, karena bacaan santai tapi berisi itu kebanyakan ditangani oleh wartawan yang memulai karirnya dari seniman. Dan wartawan yang punya kategori demikian hanya tiga orang di redaksi surat kabar Spirit. Salah satu diantaranya adalah Sofyan.

Dia baru saja selesai mengoreksi tiga buah naskah ketika aiphone di sudut kiri mejanya berdering. Ketika ia mengangkat pesawat penghubung itu, kembali terdengar ketawa Nusyirwan yang lucu dan menggoda.

“Bung harus buang ilmu hitam yang bung miliki. Masa sepagi ini sudah ada wanita cantik yang mencarimu. Atau turunkan saja padaku biar aku tidak bujangan lagi,“ canda Nusyirwan.

“ Jangan bertele-tele Wan, aku sedang sibuk. Apa apa, siapa yang mencari saya,“ jawab Sofyan.

“ Wanita cantik bung, katanya ia sangat rindu bertemu karena telah lama tak bertemu. Ayo cepat keluar dari sarangmu . . haha. .haha. . . .,“ kata Nusyirwan kemudian meletakkan memutuskan hubungan aiphone.

Dengan malas Sofyan keluar dari ruang kerjanya, tapi ia terkejut setengah mati karena melihat siapa yang tengah menunggunya di ruang tamu. Tak pernah ia menyangka akan bertemu dengan wanita itu di ranah Minang yang ia cintai ini, bahkan memimpikannya pun ia enggan karena wanita itu telah menorehkan luka yang dalam di hatinya meskipun sesekali kerinduan menyeruak dalam angan-angannya.

“ Yenny. . . . . kau . . . ??!! “

Wanita itu berdiri dari duduknya ketika namanya disebut Sofyan. Tubuhnya terlihat bergetar dan bibirnya seperti melirihkan sesuatu, tapi tak terdengar sepatah katapun. Seperti ditarik magnit ia langsung Sofyan dan meledakkan tangis di dada pria itu.

Tanpa sadar Sofyan juga balas memeluk wanita itu sambil membelai rambutnya. Tapi tak berlangsung lama karena sadar hal itu telah terlarang bagi mereka, lagi pula ada orang lain. Yaitu, Nusyirwan yang bingung dan tampak seperti orang blo’on melihat kejadian itu sebelum secara diam-diam meninggalkan ruang tamu itu karena merasa ada yang bersifat sangat pribadi yang akan dibicarakan Yenny dengan Sofyan.

“Silahkan duduk Yenny. Kapan sampai di Padang,“ kata Sofyan setelah dapat menguasai perasaannya yang tadi terguncang ketika melihat Yenny muncul di kantornya.

“Aku sudah dua tahun di Padang dan baru tahu kau juga berada di Padang setelah membaca berita auto rally tiga bulan yang lalu. Tapi karena suatu hal yang amat prinsipil baru sekarang aku bisa menemuimu. Apakah kau baik-baik saja? “ jawab Yenny dan balik bertanya sebagai basa-basi untuk menghilangkan rasa kikuk yang tiba-tiba dialaminya.

“Insyaallah baik-baik saja, kau tampak makin cantik, rugi rasanya aku meninggalkanmu,“ kata Sofyan yang mulai timbul sifat jenakanya.

“Sayang ucapan itu baru sekarang kau ucapkan, bila itu kau ucapkan dari dulu, kita tidak akan jadi begini,“ jawab Yenny yang menjadi melankolik karena terpancing oleh ucapan Sofyan.

“Sudahlah Yenny. Sebaiknya kau katakan tujuanmu datang kemari,“ kata Sofyan menetralisir suasana sekaligus untuk menenangkan dirinya sendiri yang terasa tidak stabil menerima kenyataan yang tak pernah diimpikan itu.

“Kau kenal dengan Herman pengusaha real estate dan perkebunan yang berkantor di Jl. Pemuda? “ tanya Yenny.

“ Kenal. Ia dulu pernah menjadi majikanku di Jakarta,“ jawab Sofyan

“ Sekarang ia suamiku,“ kata Yenny dengan perasaan hampa

“ Suamimu. . . .? “ jawab Sofyan sekaligus bertanya.

“ Ya, suamiku. Dialah yang menyelamatkan nama baik keluargaku setelah kau pergi tanpa berita,“ ujar Yenny lagi.

“Lantas apa hubungannya dengan kedatanganmu kemari,“ ketus Sofyan.

“Begitu bencikah kau padaku, sehingga kau tak memberikan waktu bagiku untuk berbicara dengan tenang,“ Yenny memelas.

“Soalnya bukan benci atau tidak. Tapi aku jadi bingung dan tak mengerti,“ kata Sofyan.

“Memang banyak yang tidak bisa dimengerti tapi kita harus menerimanya dengan pasrah. Seperti kenyataan yang kini kita alami. Meskipun kita telah bercerai, ada benang merah yang menyatukan kita dalam kesatuan abadi,“ ujar Yenny pelan.

“Tidak Yenny. Tidak ada lagi benang merah antara kita. Semuanya telah sirna dan kukuburkan setelah aku menyerahkan surat cerai di depan orangtuamu. Meski tak dapat kupungkiri bahwa aku tak mampu melupakanmu, jangan harap kita akan bersatu lagi. Dari itu kuharapkan kau memahaminya,“ bantah Sofyan.

“Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan Sofyan. Kedatanganku kemari bukan untuk mengajakmu kembali padaku. Tapi untuk menjernihkan persoalan yang kelak akan menjadi bumerang dan akan menghantui hidup kita. Aku tahu kini kau telah beristri lagi dan aku sengaja datang kemari agar tidak mengganggu ketentraman rumahtanggamu,“ kata Yenny dengan suara pilu

Sofyan termenung mendengar ucapan Yenny, ada perasaan yang tak pernah ia tahu apa namanya bila melihat wanita itu kelihatan risau dan perasaan itu abadi dalam dirinya. Tapi kendati ia telah memeras otak untuk menganalisa maksud Yenny dari apa yang dikatakan bekas istrinya itu, tak pernah berhasil.

“Baiklah Yenny, aku akan mendengarkannya,“ kata Sofyan dengan suara pasrah.

“Dian Hidayat adalah benang merah abadi yang menyatukan kita. Anak yang lahir dari perkawinan kita meski ia hadir dalam rahimku di penghujung perkawinan itu,“ kata Yenny memulai penjelasannya.

“Tak mungkin Yenny. Kau dalam keadaan suci ketika kutinggalkan. Jangan jadikan aku kambing hitam dalam masalah ini, belum puaskah kau menyiksa diriku? “ tukas Sofyan.

“Aku tak bermaksud mencari kambing hitam dan bukan pula berniat menyiksamu. Hanya ingin menjernihkan persoalan, demi masa depan Dian, anak kita. Percayalah padaku, apa yang aku katakan bukan cerita rekaan dan rasa berdosa akan selalu menghantui bila hal ini tak kujelaskan padamu. Sepeninggalmu aku hamil. Semula aku mengira keterlambatan waktu menstruasi hanya karena masalah kondisi tubuhku yang terlalu lelah. Tapi ketika memasuki bulan kedua belum juga mendapatkan menstruasi, aku jadi cemas. Kecemasanku itu bertambah ketika memeriksa kelainan itu ke dokter. Dokter itu mengatakan aku positif hamil,“ tutur Yenny.

Sampai disitu Yenny menghentikan ceritanya. Ia menarik nafas panjang, seolah ingin mengambil kekuatan dari udara yang dihirupnya. Sementara itu Sofyan diam bagai patung, meski dadanya terasa bergemuruh mendengar apa yang diucapkan Yenny.

“Kucari kau ke rumah kakak angkatmu dan ke tempat kau biasa nongkrong, tapi tak aku kutemui. Hingga akhirnya aku menerima tawaran ayahku menikah dengan Herman untuk menyelamatkan nama baik keluarga. Setelah bayi itu lahir, kuberi nama Dian Hidayat, nama yang kau rencanakan untuk anak kita bila ia laki-laki sewaktu kita masih bersatu dulu “ Yenny kembali melanjutkan ceritanya setelah Sofyan mengangguk ketika ia meminta persetujuan apakah ia boleh melanjutkan ceritanya dengan bahasa isyarat.

“Benarkah semua itu Yenny?” kata Sofyan yang merasa ragu pada apa yang diucapkan bekas istrinya itu.

“Apa yang aku katakan adalah yang sebenarnya. Terlalu panjang ceritanya bila kuceritakan sekarang. Lebih baik kita cari waktu yang baik untuk membicarakannya dan sebaiknya suamiku dan juga istrimu ikut menjernihkan persoalan ini “ jawab Yenny

“Akan kupertimbangkan saran yang kau berikan. Akupun perlu waktu dan pemikiran untuk menerima kenyataan yang tak pernah kuharapkan ini,“ keluh Sofyan yang merasa kepalanya berat memikirkan hal itu.

“Baiklah, aku juga harus menjemput Dian karena tadi aku pesan pada sopir antar jemput TK Baiturrahmah, Dian akan kujemput sendiri hari ini. Selamat siang “ kata Yenny sambil berdiri dari duduknya.

Sampai mobil sedan Corolla merah hati hati hilang di bengkolan Jl. Thamrin, Sofyan masih saja berdiri di pintu pagar kantornya. Ada yang terasa hilang dari dirinya ketika mobil itu menghilang di tikungan Jl. Thamrin tapi sisi hatinya yang lain merelakan kehilangan itu karena tempatnya telah diisi oleh Netty, istrinya. Ia kembali masuk ke ruangan kerjanya, tapi ketika tak ada satupun naskah yang sempurna dikoreksinya, iapun kembali meninggalkan ruangan itu untuk mencari secangkir kopi.

ooo000ooo

Meskipun musim hujan telah berakhir, sesekali hujan lebat masih saja mengguyur bumi. Seperti pagi itu, hujan yang turun sejak azan Subuh mulai dikumandangkan orang baru reda sekitar pukul 9.00 WIB. Itupun masih menyisakan gerimis dan angin timur laut seperti mengundang penduduk kota Padang agar memakai jaket, karena mentari masih diselimti awam tebal.

Diantara renyai gerimis sebuah mobil sedan Corolla berwarna merah hati meluncur dengan santai menyusuri Jl. Veteran menuju Air Tawar. Di prapatan setelah melewati pasar Ulak Karang mobil berbelok ke kiri menuju komplek perumahan wartawan, yang telah dikenal dengan nama Wisma Warta.

Di depan sebuah rumah mungil menghadap ke laut mobil itu berhenti. Seorang wanita muda tanpa make up yang sedang membersihkan halaman yang penuh dengan aneka macam bunga menghentikan pekerjaannya ketika melihat sepasang suami istri turun dari mobil diikuti seorang anak kecil berusia enam tahun. Mereka adalah Herman, Yenny dan anaknya, Dian.

“ Betulkah ini rumah saudara Sofyan? “ tanya Herman.

“Tepat sekali. Silahkan masuk, kak Sofyan sedang memperbaiki sumur di belakang “ kata wanita itu sambil membuka pintu pagar.

Setelah tamunya duduk di kursi tamu yang terletak di beranda rumah itu, ia segera ke belakang untuk memanggil suaminya yang sedang memperbaiki bak kamar mandi.

Masih dengan bercelana pendek, Sofyan keluar menemui tamunya itu. Ia sedikit terkejut ketika mengetahui yang datang itu adalah keluarga Herman karena ketika menelepon beberapa hari yang lalu Herman tidak mengatakan kapan ia akan datang selain bermaksud datang bertamu ke rumahnya.

“Maaf kalau saya kelihatan kurang sopan dengan celana pendek melayani tamu terhormat. Soalnya tidak memberi tahu lebih dulu sih,“ kata Sofyan sambil menyalami bekas majikan dan istrinya yang tampak sedikit kaku.

“apa-apa, anggap saja seperti dulu. Kok pakai merasa sungkan segala. Oh ya, ini anak kami Dian. Salaman dong sama om Sofyan,“ jawab Herman sambil menyuruh anaknya menyalami Sofyan yang tampak terkesima melihat anak itu.

Ada tekanan suara yang terasa janggal ketika Herman mengucapkan kata-kata ‘anak kami ‘ tadi. Baik Sofyan maupun Yenny merasa kejanggalan itu.

Seperti sudah kenal lama, setelah bersalaman Dian langsung merapat ke tubuh Sofyan. Tubuh lelaki itu bergetar ketika matanya bertemu dengan mata anak kecil itu. Sofyan merasa mata itu adalah duplikat matanya dan ia seperti melihat diriya sendiri di depan kaca.

Untung saat itu Netty, istrinya, muncul dari belakang. Kesempatan itu digunakannya untuk menghilangkan rasa gugup dengan memperkenalkan istrinya kepada Herman dan Yenny.

“Kenalkan. . . . .ini istriku. Netty, ini om Herman bekas majikanku di Jakarta dan istrinya, Yenny “ kata Sofyan

“Tak kusangka kau bisa punya istri begini cantik “ puji Herman sambil mengambil uluran tangan Netty.

“ Alaaah. . . . . . bisa saja. Secantik-cantiknya saya belum seujung kuku Mbak Yenny “ jawab Netty.

“Anda memang cantik Netty. Tidak rugi Mas Sofyan memilihmu sebagai istri,“ tukas Yenny pula dan itu adalah pujian yang tulus.

Memang sukar mengatakan mana yang lebih cantik dari kedua wanita itu. Wajah Netty agak bulat dengan hidung agak mancung dan kulitnya putih bersih. Sementara itu Yenny memiliki wajah oval, meski hidungnya tak semancung hidung Netty, ia punya daya tarik tersendiri. Kalau ada kesamaan di antara mereka adalah kulit mereka yang sama-sama putih bersih.

“Ngomong-ngomong apakah kedatangan kami ini tidak akan mengganggu acara keluargamu. Soalnya siapa tahu kalian punya acara pada hari Minggu ini “ kata Herman kepada Sofyan setelah berbicara ngalor ngidul.

“Sama seperti dulu, ungkapan ‘ rumahku adalah sorgaku’ masih menjadi semboyan hidup saya. Jadi kedatangan Om merupakan kebahagiaan dan rahmat tersendiri bagi kami “ jawab Sofyan.

“Sebelum kemari tadi kami sempat berbelanja untuk keperluan dapur. Dari itu kalau tidak keberatan kita masak di sini saja “ kata Yenny.

“Betul apa yang dikatakan Yenny. Tadinya kami tidak punya maksud kemari, dari itu kami berbelanja alakadarnya untuk makan siang. Entah angin apa yang membawa, akhirnya kami sampai disini,“ sambung Herman.

“Saya jadi malu, kok tamu yang membawa bahan makanan untuk kami “ jawab Netty

“Tak usah sungkan-sungkan. Ayo Netty, Yenny silahkan ke dapur untuk memasak makan siang kata,“ kata Herman dengan sikap kebapakan, seperti berada di rumahnya sendiri.

Kedua wanita cantik itu tak membantah. Beriringan mereka menuju mobil untuk mengambil bahan makanan yang dibawa Yenny. Ada rasa kikuk Yenny memainkan sandiwara yang dirancang Herman. Tapi demi hidup dan masa depan anaknya ia berusaha tampil sebaik mungkin memainkan babak sandiwara kehidupan itu.

Setelah kedua wanita masuk dapur, Sofyan dan Herman mulai serius membicarakan tujuan utama kedatangan keluarga Herman ke rumah itu. Sementara Dian seperti tak peduli pada suasana yang tegang yang melanda mereka karena asyik bermain dengan ikan mas dalam kolam mini di halaman.

Ikan-ikan di dalam kolam pun seperti senang atas kehadiran anak itu. Potongan roti yang dilemparkan Dian ke kolam tak segera dimakan, tapi dipermainkan lebih dahulu sehingga anak itu merasa gemas dan melempar lebih banyak potongan roti ke dalam kolam.

Kedua wanita rupanya tidak hanya cantik dan anggun tapi juga mampu menghidangkan makanan kesukaan Sofyan dan Herman. Kedua pria itupun saling pandang dengan senyum penuh arti dan membuat Netty dan Yenny merasa dirinya dipermainkan.

“Ada apa sih kok senyum-senyum kayak perawan baru kena cium “ celetuk Yenny

“ Ada deh. . . . , mau tahu saja urusan orang,“ jawab Sofyan.

“Ayo mulai makan, aku sudah tak tahan ini,“ sambung Herman dan langsung menyendok nasi ke piringnya.

Sambil bercanda mereka menyantap hampir semua masakan yang masih mengepulkan asap itu. Yang paling lahap adalah Sofyan dan Herman karena di atas meja terletak goreng udang dan ‘samba lado mudo‘ khas Padang yang dibuat Netty.

Setelah selesai makan Herman mulai mengarahkan kedua wanita itu kepada hal-hal yang menjadi tujuan utama kedatangannya ke rumah itu. Sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya karena terlalu banyak makan samba lado mudo‘ , ia berkata

“Sudah saatnya aku berbicara tentang tujuan utama kedatangan kami kemari. Tapi sebelumnya kuminta kebesaran jiwamu menerima kenyataan yang mungkin tak pernah kau bayangkan sebelumnya Netty “

“Maksud Om. . . . ? “ jawab Netty

“Pernahkan Sofyan berbicara tentang kami sebelum kedatangan hari ini ?”

“, tapi hanya selintas. Selain itu kak Sofyan juga pernah menceritakan kalau pernah menikah dan gagal. Tapi ia tak bercerita banyak tentang istrinya itu. Mengenai Om, selain menceritakan bahwa om pernah menjadi majikannya ketika masih di Jakarta, ia juga menceritakan bahwa Om punya istri yang sangat cantik dan itu memang benar karena telah kulihat sendiri,“ kata Netty sambil melirik ke arah Yenny.

Yenny hanya tersenyum mendengar ucapan Netty kendati hatinya berdebar kencang karena Herman telah memulai masuk ke permasalahan yang selama ini menghantui dirinya.

“Jangan kaget kalau kau tahu siapa bekas istri Sofyan. Dia adalah Yenny dan Dian adalah anak mereka,“ kata Herman.

Ada perubahan tekanan suara Herman ketika mengucapkan kata-kata ‘anak mereka’ , Sofyan dan Yenny sangat merasakan hal itu. Nada suaranya terdengar getir karena saat itulah pertama kali mengatakan kalau Dian bukanlah anak kandungnya.

“Om tidak main-mainkan? “ tanya Netty seperti tak percaya pada apa yang didengarnya.

“Benar Netty, malahan masalahnya tidak sesederhana itu. Hal ini perlu kau ketahui bahwa Sofyan belum percaya sepenuhnya kalau Dian adalah anaknya “ lanjut Herman

“Kok bisa begitu?” Kata Netty yang merasa seperti dihadapkan pada sebuah teka-teki yang sanga rumit.

“Panjang ceritanya Netty. Tujuan kami kemari selain memberitahukan masalah sebenarnya kepadamu, juga untuk meyakinkan Sofyan karena ia masih ragu -ragu ketika Yenny menceritakannya tiga bulan yang lalu. Kau mau mendengarkannya? “

Sebelum menyetujui tawaran Herman, Netty melirik ke arah Sofyan. Ketika dilihatnya Sofyan mengangguk lemah tanda setuju, iapun meminta Herman untuk bercerita lebih panjang.

“Menarik sekali, tak kusangka hidup itu begitu penuh dengan misteri dan kenyataan yang tak pernah diangankan hadir di pelupuk mata tanpa diduga. Silahkan Om, aku sudah siap menerima kenyataan sepahit apapun,“ kata Netty dengan sikap tabah.

“Sekitar tujuh tahun yang lalu aku bertemu dengan salah satu relasi dagangku. Saat itu ia sedang panik memikirkan masalah keluarga yang bakal ditimpa aib yang memalukan bila masalahnya tidak bisa dicarikan jalan keluar.

Betapa tidak, putri tunggalnya telah hamil tiga bulan. Malangnya kehamilan itu terjadi setelah ia bercerai dengan suaminya. Anak relasiku itu tak menyadari kalau ia telah mulai hamil ketika menerima surat cerai dari suaminya. Semula keterlambatan menstruasi yang dialaminya hanya masalah biasa karena sering mengalaminya.

Tapi ketika telah dua bulan terlambat ia kaget karena dokter yang memeriksanya mengatakan dia positif hamil. Mengetahui keadaan itu ia berusaha mencari bekas suaminya. Namun setelah mencari kemana-mana pria tak kunjung bertemu, sementara kandungannya semakin besar.

Relasiku itu meminta saranku dalam menyelesaikan masalah itu. Aku menyarankan agar ia mencari seorang pria yang mau menikahi anaknya untuk menutup aib itu. Saran itu diterimanya tapi masalah barupun muncul. Sebagai keluarga terhormat tentu tak sembarang orang yang pantas menjadi suami anaknya, meski hanya untuk sekedar menutup aib.

Semula aku iseng mengatakan bahwa aku mau jadi suami anaknya yang hamil itu, karena kebetulan aku telah lebih setahun ditinggal istriku yang meninggal karena penyakit kanker. Rasa iseng itu akhirnya menjadi hal yang serius. Kupikir apa salahnya aku menikahi wanita yang telah hamil itu. Bukankah selama ini aku mendambakan seorang anak yang lahir dari perkawinanku?

Keinginan itu makin menggebu-gebu setelah sadar bahwa aku tak mungkin mempunyai keturunan karena dokter memastikan aku mandul. Perbedaan usia kami yang sangat menyolok membuat keluarga relasiku itu menolak keinginanku, terutama anaknya yang hamil itu. Tapi karena waktu semakin kasip akhirnya keinginanku dikabulkan dengan beberapa syarat. Diantarnya kami tidak boleh bergaul sebagai suami istri sebelum anak yang dikandungnya lahir.

Dengan senang hati aku menerima segala persyaratan yang diberikan. Kalau dulu aku merasa rendah diri bila rekan-rekanku bicara masalah anak-anaknya, hal itu akan sirna. Karena bila anak itu lahir, secara hukum dia adalah anakku. Dan kebanggaan dipanggil papa akan menghiasi hidupku.

Tentu kau ingin tahu siapa wanita yang kunikahi secara resmi dalam keadaan hamil itu bukan? Dia adalah Yenny dan anak itu adalah Dian Hidayat. Yennylah yang memberi nama itu. Katanya nama itu adalah nama yang direncanakan oleh ayahnya yang sebenarnya untuk anak yang lahir dari perkawinan mereka sebelum wanita itu kunikahi “ kata Herman

Keringat digin membasahi tubuhnya, tapi matanya bersinar cerah seolah bebas dari sebuah derita yang belenggu dirinya. Netty, Sofyan, maupun Yenny tampak tegang dan tak mampu berkata sepatahpun .

Melihat semuanya diam, Herman kembali melanjutkan ceritanya yang merupakan kunci pembuka tirai kemelut yang menyungkup keluarganya itu.

“Kebahagiaan kami nikmati sampai enam bulan yang lalu. Setelah Yenny mengetahui Sofyan kini berada di Padang karena kebetulan melihat gambar Sofyan ketika menerima hadiah pada auto rally sebagai juara umum.

Mungkin secara hukum aku bisa bersikeras mengatakan bahwa Dian adalah anakku dan itu akan dibenarkan. Tapi aku tersiksa sepanjang hidupku bila tak menjelaskan duduk persoalannya kepada Sofyan, ayah kandung Dian. Selain aku amat mengenalnya, aku juga harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan kelak. Dari itu hanya satu yang kupinta. Yaitu Sofyan mengakui Dian sebagai anaknya, karena hal itu amat penting artinya dalam perkembangan jiwa anak itu.

Aku tak tahu bagaimana jadinya kelak bila perihal dirinya diketahui dari orang lain. Karena sekali lagi kumohon kebesaran jiwamu Sofyan. Akuilah Dian sebagai anakmu. Kurasa permintaanku tak terlalu berat dan pengakuan yang tulus akan menjadi penguak tirai dan kabut yang selama menyelimuti keluargaku “ kata Herman mengakhiri ceritanya.

Keringat dingin juga membasahi sekujur tubuh Sofyan. Ia yakin bekas majikannya itu tidak berbohong tapi lidahnya terasa kelu dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Setelah beberapa saat menghimpun tenaga dengan menyebutkan kalam Illahi akhirnya ia mampu berbicara, kendali seperti orang berbisik.

“Terimakasih. Om telah menyadarkan diriku dari kealpaan yang panjang dan penyebab derita tak berujung bagi Yenny. Maafkan aku Yenny karena telah berburuk sangka ketika kau menemuiku di kantor tiga bulan yang lalu. Dan kumohon pengertian dan maaf darimu Netty, atas sikapku yang tak pernah berterus terang tentang masa laluku yang hitam kepadamu,“ kata Sofyan.

Sehabis mengucapkan kata-kata itu mata Sofyan terlihat makin sayu dan akhirnya tubuh lelaki itupun jatuh dan pingsan, karena tekanan bathin dan penyesalan yang tak tertahankan.

Suasana yang tadi yang mencekam kini berubah menjadi sebuah kesibukan. Melihat suaminya jatuh pingsan, Netty pun jadi histeris. Untung Herman cepat tanggap dan menyadarkan wanita dari kekhilafan. Setelah itu segera membopong Sofyan ke dalam kamar dan membasahi ubun-ubunnya dengan air dingin agar Sofyan segera sadar.

Setengah jam kemudian secara perlahan Sofyan mulai sadar.

Dari bibirnya terdengar erangan yang lirih.

“Apa yang terjadi. Mengapa aku sampai disini, bukankah tadi kita berada di ruang tamu ? ‘’

“Tenanglah Kak, semuanya sudah berlalu. Semua persoalan telah selesai. Aku akan tetap mencintaimu meski seburuk apapun kau pada masa lalu. Aku tak peduli pada masa lalumu yang hitam. Yang aku tahu kau adalah Sofyan yang sekarang, pria yang mencintaiku dengan segala kelebihan dan kekurangannya,“ kata Netty menenangkan suaminya, sekaligus dirinya sendiri.

Sofyan tampak mulai tenang mendengarkan ucapan Netty tadi. Ditatapnya wajah istrinya lekat-lekat, kemudian beralih pada Yenny dan Herman. Tak ada kata yang terucap pada suasana mengharukan itu. Namun tiba-tiba suara Dian terdengar memecah keheningan yang syahdu itu.

“ Om Yan sakit tante? “ tanyanya pada Netty

“Ya. Om Yan tadi jatuh dari kursi,“ jawab Netty membelai rambut anak itu dengan penuh kasih sayang.

“Kasihan Om Yan. Tadinya kata papa mau mengajak Om Yan dan tante sekalian main ke Taman Wisata Yoga,“ kata Dian lagi dengan nada lucu.

Mereka semua tersenyum, juga Sofyan meski senyum itu terasa pahit. Mungkin dengan pengakuannya tadi mendung yang menyelimuti keluarga Herman, terutama Yenny telah sirna. Tapi menyisakan kepedihan yang dalam di hati Sofyan. Ya. Ada sembilu yang teras mengiris hatinya dan hanya ia yang tahu apa penyebabnya.

Sampai mentari tenggelam di ufuk barat Yenny dan Herman masih di rumah itu. Rasa suka cita dilampiaskan Yenny dengan menarikan jarinya yang lentik di atas piano yang terletak di sudut ruang tamu mungil namun tertata rapi itu.

Cinta yang pernah dilabuhkannya ke hati Sofyan bersemi kembali dalam bentuk lain, yaitu melalui ikrar persaudaraan yang mereka ucapkan. Cinta itu akan abadi, baik di hati Netty maupun Sofyan, seabadi musik klasik yang bergema selepas azan Maghrib dikumandangkan orang Masjid yang tak jauh dari rumah itu.

Tak ada lagi bias sang surya ketika mobil keluarga Herman meninggalkan perkarangan rumah mungil menghadap ke laut lepas itu. Meski ucapan “ Da… dada … . dada ….. om … “ yang diucapkan Dian tak lagi terdengar dan lambaian tangannya tenggelam dipagut gelapnya malam, gemanya abadi di relung hati Sofyan.

Ingin ia menjeritkan atau membisikkan ke telinga Dian menjelang anak itu hilang dari pandangannya. Tapi mereka telah sepakat untuk merahasiakan kemelut yang baru saja reda sampai Dian dewasa. Selama itu pula Sofyan akan disiksa sebuah keinginan meski hanya untuk mengucapkan selarik kata. Ya . Selarik kata yang akan membebaskannya dari sembilu yang menyayat dadanya. Yaitu, “Bukan Om nak. . . . . tapi papa ! “ .**

Padang 1999.



Rhian D’Kincai, telah menulis puisi, cerita pendek, artikel dan esai sejak akhir dekade 60-an. Cerpen pertamanya, “Takicuah Den” dimuat pada Mingguan Singgalang pada tahun 1970 dan puisi pertamanya, “bimbang” dimuat Harian Indonesia Raya pada tahun 1969. Cerita bersambung, cerita pendek, essai, artikel dan karya tulis lain Rhian D’Kincai pernah dimuat di Harian SKH Semangat (Padang). Dinamika (Manado), Harian Pelita, Sinar Harapan, Republika, Majalah Kartini, Femina dan Mingguan Remaja (Jakarta). Beberapa puisi nya juga pernah diterbitkan bersama beberapa penyair lain dalam beberapa Antologi Penyair Sumatera Barat, Jakarta dan kota lainnya, selain dalam Kumpulan Puisi Rhian D’Kincai, “Miang” (1991) dan “Lara Senja” (2018). WA/HP 081266181223

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak